Kepemimpinan dalam Merger dan Akuisisi
Merger dan Akuisisi (M&A) lazimnya digunakan untuk mencapai tujuan memaksimalkan nilai saham perusahaan sebagai salah satu cerminan atau indikator kesehatan perusahaan. Disamping itu, terdapat beberapa tujuan fundamental yang mendasari transaksi M&A, antara lain meliputi; Tujuan pertumbuhan atau diversifikasi usaha; Sinergi baik dari aspek operasional dan finansial; Peningkatan kemampuan manajerial atau teknologi; Pertimbangan pajak; Serta sebagai salah satu mekanisme pertahanan terhadap upaya pengambilalihan perusahaan, dan agency problems.
Terdapat banyak studi dan penelitian yang telah dilakukan untuk mengevaluasi kinerja proses M&A, seperti Mercer (1996), Coopers & Lybrand (1996), A.T. Kearney (1998), KPMG (1999 dan 2001), dan McKinsey (2000) yang mendokumentasikan bahwa terdapat tingkat kegagalan sekitar 50-80% dari proses M&A dimana kegagalan tersebut berkisar dari tidak adanya pertumbuhan usaha maupun kinerja saham yang lebih rendah dibandingkan dengan industri.
Kegagalan menunjukkan bahwa perusahaan yang melaksanakan M&A tidak bisa memanfaatkan sinergi yang berasal dari perusahaan atau unit yang baru dibentuk dengan beberapa indikasi penurunan usaha, antara lain adalah performa harga saham yang lebih rendah, penurunan profitabilitas, penurunan pangsa pasar, menurunnya atau berkurangnya dukungan dari pemangku kepentingan, kehilangan beberapa karyawan kunci, dan menurunnya hubungan dengan pemasok dan pelanggan.
Salah satu alasan mendasar dari suatu kegagalan dalam proses M&A dikaitkan dengan kurangnya fokus perusahaan terhadap faktor-faktor yang terkait dengan soft factors ataupun personnel problems, dan pada umumnya kegagalan M&A bukan berasal faktor-faktor luar seperti persaingan pasar, tingkat keterkaitan antara kedua organisasi atau perusahaan, atau adanya masalah leverage yang berlebihan. Berdasarkan Shelton (2002), masalah terkait personil dipandang sebagai salah satu alasan utama dari adanya performa keuangan yang mengecewakan di lebih dari setengah pelaksanaan M&A.
Dalam hal ini, peran kepemimpinan menjadi hal yang penting untuk dapat mengelola secara efektif soft factors selama pasca integrasi M&A dan memiliki peran yang penting selama perubahan transformasional di M&A. Kesuksesan suatu proses M&A membutuhkan lebih dari sekedar manajemen yang efektif yang mengelola pelaksanaan strategi dan kegiatan.
Integrasi M&A dimulai dengan membangun visi untuk mengembangkan masa depan, mengkomunikasikan visi tersebut, membuat komitmen di dalam anggota organisasi, membangun faktor budaya, dan membina hubungan manajemen dan operasional, serta tidak hanya berfokus pada pengelolaan penciptaan nilai tetapi juga pada bagaimana memberikan inspirasi dan mempengaruhi seluruh anggota organisasi untuk memberikan komitmen terhadap pencapaian manfaat sinergis dari M&A.
Adanya keseimbangan antara manajemen dan kepemimpinan menjadi salah satu faktor penting untuk mencapai tujuan dari proses M&A. Berbagai teori kepemimpinan dapat digunakan untuk membangun suatu kepemimpinan yang solid dalam menjalankan suatu perubahan dari proses M&A. Teori kepemimpinan seperti contigency, transactional, transformational, dan participative leadership dapat digunakan untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang efektif bergantung dari aspek situasional yang terjadi dan dapat digunakan untuk memberikan inspirasi dan motivasi bagi setiap elemen yang terkait untuk mencapai tujuan-tujuan yang ingin dicapai dari suatu proses M&A.
Terdapat beberapa faktor terkait soft issues yang menjadi kunci kesuksesan dari suatu proses M&A, antara lain perusahaan harus memiliki suatu visi dan nilai-nilai baru yang terkomunikasikan secara menyeluruh terhadap setiap karyawan atau elemen dalam proses M&A, selain itu perusahaan harus memiliki suatu strategi komunikasi yang efektif untuk menyampaikan visi, nilai, serta keputusan strategis dari setiap proses M&A kepada setiap stakeholder perusahaan, dan perusahaan harus membangun kapabilitas dari setiap unit fungsional bisnis melalui suatu susunan organisasi yang efektif sehingga dapat berfungsi dan siap terhadap setiap perubahan yang terjadi terkait keputusan-keputusan strategis yang dihasilkan dari proses M&A.
Untuk membangun hal-hal tersebut, dibutuhkan suatu proses due diligence yang dapat digunakan sebagai proses penyaringan secara sistematis dan alat evaluasi yang strategis akan nilai-nilai sinergi jangka pendek maupun jangka panjang yang dapat diberikan dari masing-masing kandidat perusahaan atau unit terkait dalam proses M&A.
Salah satu proses due diligence adalah HR due diligence yang digunakan sebagai fase awal untuk menginvetaris isu-isu terkait masalah personel dan menjadi alat tolak ukur atas tingkat keterbukaan dari masing-masing kandidat perusahaan terhadap setiap perubahan yang akan dihadapi dalam proses M&A. HR due diligence menjadi alat tolak ukur dalam mengevaluasi kesiapan serta tingkat kesesuaian dari masing-masing perusahaan untuk mencapai visi serta nilai dan sinergi dalam proses M&A.
Proses HR due diligence tersebut memberikan kontribusi dalam mengukur kompleksitas dari suatu proses M&A dan memberikan estimasi awal mengenai sumber daya yang dibutuhkan dan jumlah waktu yang dibutuhkan pada fase integrasi. Asumsi yang keliru mengenai HR due diligence adalah proses tersebut lebih menitikberatkan kepada isu terkait pensiun, cost-cutting, maupun masalah legal terkait pengaturan kontrak kerja karyawan maupun bentuk hukum pendirian perusahaan baru.
Carleton dan Lineberry (2004) memberikan gambaran mengenai isu-isu personel yang harus dievaluasi dalam proses due diligence, antara lain budaya organisasi yang memiliki pengaruh yang besar dalam proses integrasi. Budaya organisasi dapat menjadi faktor penentu kesuksesan atau kegagalan proses M&A. Masalah dalam budaya organisasi dapat timbul bila terjadi ketidaksesuaian antara sistem nilai maupun perbedaan visi antara pemimpin senior dari beberapa perusahaan yang terlibat dalam proses M&A.
Isu lainnya adalah budaya kerja maupun kebijakan HR dari masing-masing perusahaan. Evaluasi terkait budaya kerja perusahaan dapat dilakukan dengan mengecek dokumen-dokumen antara lain SOP kerja, survei karyawan, statistik retensi karyawan, laporan tuntutan dari karyawan (employee lawsuits).
Selain itu, isu lainnya yang mendasar adalah kebijakan atas kompensasi kesehatan dan kesejahteraan karyawan dari masing-masing perusahaan. Hal seperti klaim-klaim yang belum dibayar dapat menyebabkan masalah keuangan secara material ketika proses integrasi dilaksanakan. Dokumen-dokumen pendukung yang dapat digunakan untk mengevaluasi kebijakan kesehatan dan kesejahteraan karyawan dapat dilihat pada dokumen rencana kompensasi maupun laporan keuangan dari masing-masing unit maupun vendor asuransi yang digunakan oleh masing-masing perusahaan.
Kebijakan perusahaan terkait dengan kebijakan pensiun pun merupakan salah satu isu kritis dalam proses HR due diligence. Kewajiban atas rencana pensiun dapat menjadi isu ketika rencana pembayaran kewajiban melebihi nilai keuangan secara materi dari proses M&A. Hal tersebut dapat diantisipasi dengan melakukan evaluasi terhadap dokumen-dokumen seperti benefit plan.
Secara keseluruhan proses HR due diligence dapat digunakan sebagai dasar pembentukan struktur manajemen dan fungsional perusahaan dengan komposisi dan kapasitas yang tepat. Evaluasi terhadap masalah kompensasi dapat menjadi landasan untuk suatu sistem kompensasi yang baru yang sesuai dengan visi dari perusahaan yang terbentuk dari proses M&A.
Adapun kepemimpinan yang efektif juga berperan sebagai kerangka dasar untuk mengelola perubahan selama proses M&A. Untuk dapat mengelola proses transisi M&A yang efektif selain diperlukan pembentukan suatu kerangka kerja perubahan yang terencana juga diperlukan adanya pengukuran efektifitas pelaksanaan M&A secara berkala seperti dengan melakukan pengukuran internal atas kepuasan organisasi, meminta umpan balik maupun dengan menggunakan balance scorecard sebagai model pengukuran kinerja M&A.
Oleh : Lufina Mahadewi M.M., M.Sc. – Core Faculty PPM School of Management