Profile

Harry Mawardi, Desainer Bermodal Bambu

Harry Mawardi, Desainer Bermodal Bambu

Keseharian Harry Mawardi disibukkan dua hal. Pertama, mengajar mata kuliah Desain Produk di Jurusan Desain Produk, ITB. Kedua, menjalankan bisnis kerajinan bambu yang dilabeli brand Amygdala Bamboo. Meski harus membagi konsentrasi untuk dua dunia yang berbeda itu, tetapi pria lulusan Desain Produk, ITB tahun 2009 itu mengaku dia mencintai keduanya. Terbukti, bisnisnya diganjar penghargaan dari Wirausaha Muda Mandiri tahun 2015, sebagai Juara I Best of The Best Wirausaha Muda Mandiri. Apa dan bagaimana Harry membangun bisnisnya? Berikut kutipan wawancara reporter SWA Online, Arie Liliyah, saat menemuinya dalam pameran Indonesia Furniture and Craft Fair 2016 di Balai Sidang Jakarta.

Harry mawardi

Bagaimana awalnya Anda membangun bisnis ini ?

Awalnya ketika saya dan beberapa rekan dosen serta mahasiswa jurusan Desain Produk, ITB meneliti soal kerajiannan bambu, tetapi waktu itu kami tidak fokus ke bambu saja, ada keramik, dan lainnya. Seiring berjalannya waktu, yang paling mengena dengan kami adalah bambu. Dengan beberapa teknik khusus, bambu ini bisa dijadikan macam-macam bentuk dan tekstur dasar, tidak hanya yang dipotong-potong seperti tabung atau diiris-iris untuk anyaman saja, tetapi bisa lebih dari itu. Dari hasil penelitian desain kami menemukan beragam teknik yang lebih banyak. Tetapi kan umumnya hasil penelitian hanya berakhir di kampus, atau hanya berakhir di jurnal saja. Nah, saya pribadi kurang sreg, karena yang mendapat keuntungan dari hasil penelitian itu hanya dosen dan mahasiswanya, sedangkan pengrajinnya tidak dapat impact apapun.

Prinsip saya pengrajin juga harus dapat sesuatu yang lebih dari pelatihan. Nah, kalau pengrajin diminta memasarkan pasti bingung, tapi saya ingin si desainer juga ikut memikirkan pasarnya. Maka saya putuskan untuk memasarkan sendiri, dari situ berlanjut, Alhamdulillah, sekarang sudah dua tahun jalannya. Dan bisa bertahan dan ada pertumbuhan yang cukup signifikan.

Berapa banyak permintaannya per bulan?

Kalau permintaan itu rata-rata 100 jenis produk per bulan. Jumlah dari masing-masing jenis mulai dari satu unit sampai puluhan unit. Ordernya datang dari beragam klien baik dari proyek maupun perorangan yang beli langsung. Jadi memang kami masih banyak kerjakan produk-produk proyek yang customized. Permintaannya lebih banyak daru lokal atau dari luar negeri?

Dua-duanya, tetapi sekarang masih lebih banyak yang lokal. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandungg, Bali dan Makasar. Kalau luar kami sempat kirim ke Australia, Jepang, Singapura dan Korea Selatan.

Waktu, awal memutuskan untuk menekuni pekerjaan ini menjadi bisnis, apakah Anda menjalankan sendiri atau ada tim?

Jadi waktu itu ada program dana hibah untuk membisniskan hasil-hasil penelitian di ITB. Tetapi bisnisnya harus di bawah pengawasan kampus dan memakai standar mereka. Jadi ada batasan dan syarat yang ditentukan dari kampus misalnya, setiap desain dan produk yang akan diluncurkan harus inovatif, dabn beberapa syarat lainnya. Maka pertumbuhan nya jadi lambat. Kalau desainnya hanya main di visual saja, tidak diterima, padahal kan bisnis harus cepat merespon pasar. Maka saya putuskan saya bikin sendiri saja.

Dengan jalan sendiri saya jadi lebih leluasa, tidak harus selalu inovatif, cukup satu teknik bisa di aplikasi untuk hasilkan beberapa jenis produk. Cukup dengan memainkan varian, misalnya tema sesuai musim tertentu Jadi setelah memutuskan jalan sendiri, berarti modalnya harus “merogoh” kantong sendiri?

Iya hehe… kan sebenarnya diawal ada modal dari dana hibah itu, tetapi itu karena bisnis baru jalan dan saya belum “pintar” mengelola modal, jadi peruntukkannya jadi kurang jelas, maka habis. Akhirnya saya rogoh kantong sendiri. Kemudian mulai cari pengrajin sendiri, dari situ mulai berdatangan orderan.

Dulu pertama dapat orderan dari mana dan berapa banyak?

Dulu pertama dapat orderan dari klien kami sebuah cafe di Jakarta, dia memesan 11 set vas bunga ( 3 buah per set). Itu lumayan hasilnya untuk diputar lagi jadi modal. Dari situ ada beberapa coffeshop yang liat produk kami dan tertarik untuk pesan.

Sekarang berapa orang pengrajin yang bergabung?

Pengrajin yang jadi karyawan tetap ada 8 orang. Tetapi kami kalau terima orderan besar, kami sudah ada sekitar 100 pengrajin yang di kontrak berdasarkan proyek. Mereka ada di satu desa di Garut.

Bagaimana caranya mendapatkan pengrajin yang bisa mengeksekusi desain anda dengan hasil yang memuaskan?

Iya kami kan mulai sejak 2011 itu, saat itu kami sudah punya pengrajin. Kami bayar dimuka, tetapi produknya lama pengerjaannya, molor dari deadline. Nah, akhirnya saya cari ke Garut. Mereka yang di Garut ini mindsetnya, pengrajin itu profesi dan sumber penghasilan utama mereka. Mereka juga sudah biasa terima orderan besar dengan batas waktu. Maka ketika diajak jadi mitra kami, mereka benar-benar serius dan disiplin dalam waktu. Sekarang kami mau coba rekrut lagi mitra pengrajin di Tasikmalaya dan di Bogor. Sekarang bagaimana produktivitas pengrajinnya ?

Mereka mampu mengerjakan 100 jenis produk per bulan, dan masing-masing jenis jumlahnya sekitar 20 buah, maka totalnya sekitar 2 ribu buah produk per bulan. Mereka bisa mengerjakannya dengan cepat dan rapih.

Saat ini pemasarannya lewat mana saja ?

lewat online, seperti marketplace tetapi khusus untuk produk dekorasi ruang, seperti livasa.com dan decadeco.com, kalau offline kami jual titip jual di beberapa art shop di Bali dan Jakarta. Awal mulai pemasarannya kami mengandalkan WOMM dan jaringan teman saja. Bagaimana dengan respons pasar luar negeri ?

Mereka banyak yang suka tetapi lebih banyak yang bertanya, bagaimana keamanan pengirimannya, apakah tidak akan rusak, apakah ada kandungan kimia dalam proses pembuatannya. Apakah tahan jamur, dan sebagainya. Banyak pertimbangannya karena kan raw materialnya bambu. Kendalanya masih disitu, tetapi kami sudah usahakan dengan pakai anti jamur dan obat pengawet.

Selama dua tahun membangun bisnis ini, apa saja tantangan yang dihadapi ?

Tantangan jatuh bangunnya lebih banyak dikarenakan saya sendiri tidak punya latara belakang bisnis, ilmu saya hanya seputar desain. Jadi teknis bisnis dan manajemen usaha itu di awal-awal masih berantakan, tetapi saya berdua dengan isteri terus belajar dan pelan-pelan merapikan semuanya. Selain itu, untuk menentukan harga sebuah karya seni, agak sulit, karena sebagian ada yang bilang terlalu murah, ada lagi yang bilang terlalu mahal. Hal-hal semacam itu yang membuat saya harus terus belajar. Tantangan lainnya adalah ‘merawat’ semangat. Karena bisnis itu kan harus terus stabil, sedangkan manusia kadang kan semangatnya naik turun.

Jadi produk-produk Anda dijual dengan kisaran harga berapa ?

Mulai dari Rp 300 ribu sampai jutaan rupiah.

Inspirasi desainnya dari mana ?

Inspirasi saya banyak melihat dari referensi dari luar (luar negeri-red), dari pameran juga. Kemudian mahasiswa juga kadang memberikan masukan.

Bahan bakunya berasal dari mana saja?

Bahan bakunya bambu, itu asalnya dari Garut, ada beberapa jenis bambu yang kami pakai yakni bambu apus dan bambu tali, dan bambu betung.

Sumber bahan bakunya masih tersedia banyak ?

Saat ini emang masih cukup banyak, tetapi sudah mulai ada tanda-tanda berkurang, sebab banyak juga petani bambu yang jual lahannya dan beralih profesi. Selain itu juga diseputaran Garut banyak pabrik sumpit dan tusuk gigi yang beli bahan bakunya jauh lebih besar dari kami. Alhasil kami merasa seperti harus kompetisi untuk bisa dapat bahan baku yang bagus.

Saat ini sudah punya tim manajemennya ?

Iya tetapi masih kecil sih, mereka sebenarnya keluarga sendiri, yakni isteri dan saudara saya. Mereka membantu untuk administrasi dan keuangan.

Belum terpikirkan untuk merekrut tenaga profesional ?

Belum, karena sebenarnya bisnis di industri seni dan kerajinan ini kan cukup ‘rawan’, ada masa-masanya melambat tetapi juga ada masanya melaju cepat.

Apa rencana dan target kedepan ?

Kami mau buka galeri di Bandung, karena kami sudah ada di artshop di Jakarta dan Bali, tetapi Bandung yang notabene rumah sendiri malah kami belum ada hehe……Kami juga ingin membangun kebun bambu sendiri, kami masih dalam proses mencari lahan. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved