Jurus Menghindari Jebakan Komoditas Ala Raja Beras Van Palembang
Keringat dingin kerap mengucur dari para produsen mana kala produk mereka telah masuk ke dalam jebakan komoditas. Artinya, produk mereka dipandang tidak lagi memiliki perbedaan yang signifikan dengan produk lainnya di pasar. Ujung-ujungnya adu kuat banting harga hingga berdarah-darah pun terjadi demi merebut perhatian konsumen. Dalam kondisi demikian, pepatah kalah jadi abu menang jadi arang pun tak salah disematkan ke para pelaku perang harga.
Kejadian serupa sesungguhnya hampir saja menimpa keluarga Bujung asal Palembang yang memulai bisnis jual beli beras sejak tahun 1977 di Palembang. Keluarga pedagang beras itu sempat megap-megap usahanya lantaran persaingan harga yang berdarah-darah antara para pedagang beras besar di Palembang. Untung saja, ketika itu generasi kedua mencetuskan ide cemerlang, yang merupakan sebuah terobosan di zamannya, yakni memberikan merek untuk produknya. “ Itu adik saya yang mencetuskan untuk kasih merek,” ujar Sukarto Bujung anak tertua dari 10 bersaudara dari pasangan suami istri Bujung-Oey Kim Hong.
Tidak disangka dari ide sesederhana itu, akhirnya keluarga Bujung kini bisa menjadi raja beras di pasar modern di tingkat nasional dengan payung PT Buyung Poetra Sembada (BPS). Sukarto Bujung sendiri kini menjadi CEO BPS.
Lebih lanjut Sukarto menuturkan, pemberian merek perdana tahun 1990 itu dilakukan setelah keluarganya melakukan mekanisasi produksi. Hasilnya, beras produksi keluarga Bujung memiliki kualitas yang lebih baik dan konsisten. Nah, pemberian merek dilakukan agar pembeli bisa dengan jelas membedakan mutu beras produksi mereka dengan beras pedagang lainnya. Selanjutnya, diputuskan Topi Koki dan Belida menjadi dua merek awalnya. “Topi Koki artinya beras pilihan para koki, jadi posisinya terhormat. Sementara Belida, dari ikan belida khas Palembang,” Sukarto menerangkan.
Kedua merek itu pun berbeda jenisnya, Topi Koki yang merupakan beras IR 64 merupakan beras pulen. Sementara Belida yang notabene beras IR 42, atau dikenal dengan beras pera, teksturnya lebih kaku, dan kering, yang sebenarnya sangat cocok dibuatkan nasi goreng, ketupat, lontong dan dimakan bersama hidangan berkuah. “Jadi ini sebenarnya soal selera dan jenis hidangannya. Beras Belida, itu cocoknya dibuat nasi goreng sama masakan yang kuahnya banyak. Jadi meski dicampur kuah, dia teksturnya tidak jadi bubur, namun tetap nasi,” ujar Sukarto.
Strategi tersebut ternyata jitu membuhul kesetiaan konsumen. Masyarakat mulai mengenali mereknya dan terus membeli ulang Topi Koki dan Belida di berbagai pedagang beras di daerah masing-masing. Meski harganya sedikit lebih tinggi dari beras lainnya, namun penduduk kelas menengah di daerah Palembang, Jambi dan Riau ternyata menerimanya dengan baik. Adapun penjualan terbesar mereka di antaranya berlokasi di di Jambi dan Riau, atau daerah-daerah yang notabene non penghasil beras.
Ketika tiba waktunya generasi kedua memimpin perusahaan, inovasi pun semakin gencar bergaung. Tahun 2003, tepatnya tanggal 16 September, keluarga Bujung mendirikan perusahaan PT Buyung Poetra Sembada (BPS) yang beralamat di Pasar Induk Cipinang, Jakarta Timur, yang menjadi sentra perdagangan beras nasional. “Awalnya untuk pantau harga dan beli beras, jadi sekalian buka kantor di sana,” urai Sukarto yang bersama tujuh adiknya menjadi pemegang saham di BPS.
Belakangan, peluang untuk merambah pasar modern muncul di tahun 2005. Kala itu seorang teman Sukarto mengajak untuk mendistribusikan Topi Koki di jaringan Alfa. Ternyata, dari target penjualan Rp500 juta dalam waktu 6 bulan, justru tembus Rp2 miliar.
Keberhasilan ini pun menandai ekspansi BPS ke kanal ritel modern dan berlanjut ke Hypermart, Carrefour, Hero, Giant, Superindo, Lottemart, Yogya, Tip Top, Naga Swalayan, Ramayana, Indomaret dan lain sebagainya. Selain menggunakan merek sendiri, BPS turut menyediakan beras private label ke para pengelola pasar modern tersebut.
Untuk meluaskan cakupan pasar, lini merek pun ditambah dengan mengeluarkan merek Limas dan BPS yang menyasar segmen menengah bawah. Jenis beras yang ditawarkan pun semakin bervariasi dengan penambahan beras rojolele, pandan wangi, serta menjual beras menir atau broken rice, yang cocok untuk pembuatan bihun.
Pemasaran pun turut digencarkan dengan membuat aneka promosi below the line di gerai-gerai minimarket, supermarket sampai hypermarket. Undian dan kupon berhadiah merupakan dua taktik penjualan yang kerap diusung BPS. “ Hadiahnya bisa pulsa Rp20 ribu, uang Rp5 juta, Rp10 juta, sampai mobil. Ada juga beli satu kemasan beras, dapat 1 kupon. Kumpulin 20 kupon bisa ditukar sama beras Rp 75 ribu,” jelas Sukarto.
Tak cuma lini produk dan promosi yang digenjot, jangkauan distribusinya pun diperluas dengan membuka kantor cabang di Surabaya pada tahun 2013. “Kami perlu untuk melancarkan distribusi ke area timur Indonesia,” Sukarto menambahkan, Sarjana Akuntansi dari Universitas Tarumanegara, Jakarta itu. Selain itu tangan-tangan penjualan pun diperbanyak dengan membuka jaringan reseller bernama Mitra Topi Koki sejak tahun 2014.
Pusat distribusi itu pun sekaligus dilengkapi dengan mesin-mesin berteknologi tinggi asal Jepang, Taiwan dan Vietnam. Terdapat mesin pembersih beras, mesin pemisah gabah, mesin pemoles agar beras terlihat putih, pemisah batu kerikil, pemisah beras pecah atau menir, sampai mesin penyaring warna yang mampu memisahkan beras berwarna buruk. Adapun pasokan berasnya diperoleh dari 200 mitra pemasok se-Indonesia, mulai dari Palembang, Garut, Subang, Sumedang, Indramayu, Pati, Solo, Sragen, Jember hingga Makassar.
Profesionalitas dan pengelolaan perusahaan yang baik memang sangat ditekankan Sukarto dalam bisnisnya. Ini, antara lain, ditunjukkan dengan meraih sertifikasi ISO 9001-2008 manajemen mutu di pertengahan tahun lalu.
Visi BPS yang jelas, menyediakan beras berkualitas tinggi untuk masyarakat Indonesia, berpadu dengan strategi yang tepat dan eksekusi yang baik, terbukti menjadi ramuan sukses nan jitu. Terbukti, dari tahun ke tahun BPS menunjukkan peningkatan penjualan yang signifikan. Dari total penjualan, merek BPS seperti Topi Koki, Belida, Limas dan BPS menyumbangkan hingga 60% dari total penjualan. Sementara sisanya disumbangkan dari penjualan private label milik mitra pasar modern BPS, seperti Indomaret, Hypermart, Giant, Lotte dan lain sebagainya.
Bahkan, berdasarkan data AC Nielsen di tahun 2015 lalu, BPS berhasil menjadi pemimpin pasar beras bermerek di pasar modern dengan pangsa mencapai 35%, meningkat pesat dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 27%.
Melihat kinerja yang positif plus keinginan untuk berkembang lebih pesat, BPS pun berancang-ancang melepas 30% sahamnya, di Bursa Efek Indonesia. “Kebutuhan beras saat ini mencapai 36 juta ton per tahun, atau Rp 300 triliun. Produksi kami saat ini kurang dari 1 juta ton setahun. Jadi peluangnya masih sangat besar. Kami mau menangkap peluang itu dengan pendanaan dari IPO. Kami targetkan kembali tahun ini akan IPO. Perusahaan sudah siap. Manajemen sudah professional, good corporate governance berjalan baik,” tegas Sukarto.
Kunci Sukses BPS
Twitter: @bungiskandar