Jalan Panjang Alexander Foe Mentransformasi Nagatex
Tak mudah memang mengubah kondisi perusahaan yang tengah terpuruk seperti yang dialami oleh PT Nagasakti Kurnia Textile Mills (Nagatex) yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat. Pengelolaan manajemen tanpa sistem yang jelas dan serbuan tekstil dari China memperparah situasi. Untung saja Alexander Foe datang di saat yang tepat. Putra pendiri Nagatex Harry Kuntara Foe itu yang pada akhirnya membawa Nagatex ke jalur yang tepat, dan berhasil membalikkan kondisi perusahaan yang sebelumnya nyaris karam.
Persinggungan Alex, sapaannya, dengan perusahaan yang dirintis sang ayah tersebut dimulai tahun 2003. Saat itu Alex baru selesai kuliah dari Jurusan Manajemen Industri Purdue University, Amerika Serikat. Meski anak bos, Alex tidak langsung ditunjuk sebagai komandan tertinggi perusahaan yang didirikan bersamaan dengan tahun kelahirannya (1982) itu. Anak kedua dari tiga bersaudara ini justru menempati jabatan lapangan, yaitu manajer produksi.
Posisi itu tersnyata menjadi berkah tersendiri. Pasalnya, dirinya bisa memetakan dengan jelas persoalan kronis yang membelit Nagatex. “Keadaan perusahaan cukup mengenaskan buat saya. Bagaimana bisa pabrik seluas 5,6 ha, memiliki 1.000 karyawan, dan beroperasi puluhan tahun tidak memiliki standard operation procedure (SOP) dan laporan keuangan? Bagaimana saya tahu kinerja perusahaan jika tidak ada laporan keuangan?” ungkap Alex ketika diwawancara SWA di Bandung, beberapa waktu lalu.
Kondisi itu sendiri tidak hanya ditemui di perusahaan ayahnya. Alex mengungkapkan, salah satu kondisi yang jamak terjadi di perusahaan tekstil di dalam negeri adalah pendirinya tidak memiliki latar pendidikan formal yang tinggi. Akibatnya perusahaan dibesarkan dengan manajemen yang amburadul, tanpa acuan kinerja (KPI) dan perincian pekerjaan bagi karyawan, serta kerap kali berpola one man show. Praktik nepotisme pun menjadi kelaziman tersendiri.
Kondisi itu pun diperburuk dengan situasi industri tekstil nasional. Tahun 2003 industri tekstil dan produk tekstil Indonesia tengah terpuruk lantaran dihajar produk sejenis dari China. Alex sadar, kondisi itu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Ibaratnya, sel kanker telah menyebar ke berbagai sendi perusahaan. Jika tidak segera diambil tindakan serius, bisa dipastikan nama besar Nagatex akan tinggal kenangan. “Ketika saya masuk, kendalinya dipegang oleh Papa. Tapi saya bilang jika tidak ada perubahan dan inovasi, ujungnya malah petaka. Karena kami tidak akan mungkin bersaing dengan perusahan yang dikelola secara profesional,” katanya mengenang.
Sebagai anak lelaki tertua, Alex sadar akan kewajiban yang tersampir di pundaknya. Maka, satu-satunya pilihan yang tersedia adalah bertransformasi total demi mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan. Posisi Alex sendiri perlahan-laham meningkat di perusahaan. Dari manajer produksi bagian tenun, dia lantas menjadi kepala pabrik, dan akhirnya presdir tahun 2010.
Untung saja Harry berhasil mendidik Alex dengan sifat rendah hati. Tanpa ragu, lulusan universitas bergengsi di AS itu mengawali misinya dengan berpeluh-peluh di pabrik. “Hal yang pertama saya lakukan adalah belajar. Sepintar-pintarnya orang, setinggi-tingginya orang menuntut ilmu, jika tidak mampu beradaptasi di lingkungan yang berbeda akan bahaya,” katanya menegaskan.
Alex pun menyadari, untuk membenahi bisnis tekstil dia harus memulainya dari kepala para pemimpinnya, alias pola pikirnya. “Jika sudah suudzon (berprasangka buruk), strategi yang dia rencanakan akan jelek, tidak agresif dan tidak berusaha untuk mencari peluang baru. Nah, pemain yang berpikir positif, pabriknya masih ada hingga sekarang,” dia menjelaskan.
Berangkat dengan pikiran yang positif membuat Alex mampu melihat berbagai permasalahan dengan jernih. Yang terpenting, Alex menetapkan laju bisnis Nagatex ke dalam visi dan misi perusahaan. “Sekarang visi kami adalah menjadi perusahaan produsen seragam yang mendistribusikan produk ke seluruh dunia dengan kualitas kelas dunia,” ungkapnya.
Keputusan fokus menggarap segmen kain seragam pun telah dipertimbangkan Alex secara masak. “Kultur kedua segmen itu berbeda jauh. Perusahan yang fokus di seragam harus big quantity, small margin, dan efisien. Sementara fashion, high margin. Tetapi jika sudah lewat musim, produknya tidak terpakai, malah bisa dijual di bawah harga produksi, jadi main cepat, tetapi jadi kasihan mesinnya. Selain itu, jika fokus dengan kain fashion akan rentan dihajar produk dari China yang sudah jadi,” Alex membeberkan analisisnya.
Hasil analisis itu lantas dijadikan pedoman strategi perusahaan. Komposisi produksi pun dijungkirbalikkan Alex. Mayoritas kapasitas produksi Nagatex diperuntukkan buat kain seragam, sedangkan produk fashion tinggal 10%.
Satu per satu persoalan yang membelit manajemen pun diurainya. Bahkan, tanpa sungkan dirinya terjun ke berbagai divisi untuk menelusuri akar permasalahannya. Tak ketinggalan Alex menyusun daftar prioritas untuk menentukan urutan penyelesaiannya. “Kemudian saya buat sistemnya, SOP, KPI, dan audit baik internal maupun eksternal. Saya tempatkan juga right man on the right place,” Alex memaparkan.
Organisasi perusahaan pun tak luput dari sentuhan Alex. Dia merombak struktur yang ada agar setiap karyawan memiliki posisi dan jabatan yang jelas. Produk-produk baru diluncurkan. Manuver Alex tak berhenti di urusan produksi, SDM, dan organisasi, melainkan melebar ke bagian distribusi. Dia menangani bagian distribusi di Jabodetabek. Sementara penyaluran produk di luar Pulau Jawa diserahkan ke adiknya, Agustinus Foe.
Tentu berbagai perubahan yang diusungnya itu tidak serta-merta diterima orang-orang di sekitarnya. Bahkan sang ayah pun mempertanyakan langkahnya. Untung saja Harry berbesar hati memercayai anak keduanya itu untuk menjalankan ide-ide pembaruan. Tak sedikit pula orang lama yang tersingkir karena tak mau berubah lantaran nyaman dengan kondisi yang ada. Untung saja berkat konsistensi dan ketegasannya, kini masa sulit berhasil dilalui Nagatex. Hampir sewindu dibutuhkan Alex untuk mentransformasi total perusahaan kebanggaan keluarganya itu. “Butuh 7 tahun saya men-turnaround perusahaan ini menjadi perusahaan yang dikelola secara profesional. Dan saya tidak menyangka akan habis-habisan seperti ini,” ungkapnya.
Hasilnya cukup menakjubkan. Selain kehadiran sistem manajemen yang jelas, Nagatex pun kini bertumbuh empat kali lipat dibanding sebelumnya. Dari produksi 600 ribu meter per bulan, kini Nagatex memproduksi tak kurang dari 3 juta meter tekstil per bulan. Bahkan tanpa ragu Alex mengaku perusahaannya kini menjadi produsen nomor wahid tekstil seragam. “Sedangkan secara umum kami tiga besar untuk semua segmen tekstil,” ujar Alex.
Kemajuan yang diperoleh Nagatex dan keberhasilan Alex dalam mentransformasi perusahaan rupanya mendapat apresiasi khusus dari sang ayah. Dalam pembicaraan singkat melalui perpesanan instan, Harry mengaku dirinya percaya pada kemampuan Alex dalam menakhodai perusahaan keluarga. “Dengan perubahan fokus, SOP dan KPI yang diterapkan, kini Nagatex bisa menjadi salah satu pemain terbesar kain seragam. Saya hanya berharap, moga-moga dia bisa lebih sukses dari bapaknya,” ujar Harry.
Strategi Alex Mengubah Nagatex
perusahaan.
job description, SOP, KPI, audit internal dan
eksternal.
Perbandingan Keadaan
Sebelum dan Sesudah
Reportase: Maria Hudaibyah Azzahra
Riset: Sarah Ratna Herni