Rusdi Raisa, Bermodalkan Rp 50 Ribu, Kini Beromset Rp 4,8 Miliar
Kreativitas Rusdi Raisa mengembangkan bisnis kerajinan kulit premium patut diacungi jempol. Dia mengawali usahanya itu dari limbah kulit. Modal usaha Rusdi hanya Rp 50 ribu ketika memulai bisnis kerajinan kulit pada 2006. Modal yang minim ini tidak cukup membeli kulit lembaran karena harganya Rp 12 ribu per kaki. Dia menemukan solusinya, yaitu membeli limbah kulit sebanyak 2 kg dari sisa-sisa pengrajin kulit di Garut, Jawa Barat. Rusdi tidak perlu menguras isi dompetnya karena harganya Rp 20 ribu. Sisa modal digunakan untuk membeli peralatan, seperti lem dan jarum.
Agar bisa mengolah limbah kulit, Rusdi belajar menjahit pada sahabatnya. Dia mengatakan, limbah kulit itu bisa dibuat menjadi sarung telepon seluler sebanyak 70 unit. Produk ini berbeda dari produk sejenis yang beredar di pasaran karena dijahit menggunakan benang kulit. Produknya laris manis dibeli teman-teman kampusnya di Universitas Islam Bandung. Pria yang hobi memancing ini meraup keuntungan lebih dari Rp 1 juta. Lantas, dia memutar keuntungan untuk mengembangkan bisnis kulit. “Alhamdulillah, usaha ini berkembang selama 10 tahun,” katanya.
Rusdi membubuhi merek D’Russa untuk produknya, yang merupakan singkatan dari nama panjangnya, Rusdi Raisa. Agar mencitrakan merek yang keren, dia menyematkan kata D di depan Russa.
Saat ini, dia berhasil mengembangkan varian produk D’Russa yang terdiri dari tas, dompet, jaket, dan aneka aksesori. Harganya berkisar dari Rp 100 ribu hingga Rp 6 juta. Omset ratusan juta rupiah berhasil digenggamnya dalam sebulan. “Rata-rata omset kami mencapai Rp 400 juta setiap bulan,” ungkap Rusdi. Berarti, setahun sekitar Rp 4,8 miliar.
Produk D’Russa sudah tidak mengandalkan limbah kulit, tetapi kulit lembaran berkualitas premium. Rusdi mampu memproduksi tas, dompet, jaket dan aneka macam aksesori kulit untuk pasar ritel dan korporasi. Menurutnya, tas dan dompet adalah produk yang difavoritkan pelanggan. Guna menjaring konsumen dan mendongkrak merek D’Russa, dia gencar mempromosikan produknya di berbagai pameran dalam negeri dan internasional, antara lain Inacraft, Trade Expo Indonesia, Hanoi Gift Show (Vietnam), Fukuoka Gift Show dan Tokyo Gift Show (Jepang). Pameran di sejumlah pusat perbelanjaan pun disambanginya. “Target pasar D’Russa yaitu konsumen di kota-kota besar di Indonesia, perusahaan untuk pengadaan merchandise, dan beberapa negara seperti Australia, Jepang dan Kanada,” dia menerangkan.
Perusahaan yang pernah digaet D’Russa sebagai pelanggan adalah PT Tugu Pratama Indonesia, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., PT Dimension Data, PT Ahendo Inti Perdana, PT Bakrie Pipe Industries, PT Sari Husada, serta instansi pemerintahan, seperti Kementerian Keuangan dan Kementerian Sekretariat Negara. Tak hanya itu, Rusdi mendapat pemesanan dari sejumlah merek yang memercayakan produksinya ke D’Russa. Untuk memenuhi pemesanan konsumen, dia mengandalkan pasokan bahan baku dari penyedia kulit di Ja-Bar.
Setiap bulan, rata-rata kebutuhan kulit lembaran yang dibutuhkan Rusdi sebanyak 4 ribu-7 ribu kaki. “Dari jumlah itu, sebanyak 70% berasal dari kulit sapi, 20% kulit kambing, dan sisanya kulit ular, kerbau, buaya dan kanguru,” ujarnya. Proses produksi dikerjakan oleh 30 pegawai D’Russa.
“Keunggulan produk kami adalah menggunakan kulit berkualitas premium dengan harga terjangkau yang diolah di rumah produksi milik D’Russa. Keaslian, kualitas dan desain klasiknya dijamin karena dijahit oleh penjahit berpengalaman,” katanya setengah berpromosi. Target D’Russa dalam tiga tahun mendatang adalah menambah jaringan toko di sejumlah kota, meningkatkan fasilitas produksi, dan memperluas pasar luar negeri.
Sebelum menorehkan pencapaian seperti itu, Rusdi harus tertatih-tatih di fase awal dalam memulai usaha. Dia pernah tertipu, tidak dibayar, membayar ganti rugi, atau produknya dicela konsumen. Contohnya, dia membayar ganti rugi sebesar Rp 24 juta kepada konsumen karena tak sanggup memenuhi pemesanan dalam jumlah besar. Rusdi terpaksa melego barang pribadinya, seperti sepeda motor, untuk menambal kerugian itu. Dia pun nyaris gulung tikar. Namun, pengalaman yang tak mengenakkan itu dianggapnya sebagai guru bisnisnya. “Mentor bisnis, bagi saya, adalah pengalaman pahit dan kegagalan yang saya pelajari untuk lebih baik ke depannya,” ucap kelahiran Garut pada 6 Juni 1987 ini. (*)
Riset: Yulia Pangastuti