Gaya Imam Mengembangkan BNI Syariah
Di antara bank-bank syariah yang ada di Indonesia, kinerja PT Bank BNI Syariah termasuk yang paling moncer belakangan ini. Dari tahun ke tahun, laba dan pendapatannya tumbuh melebihi rata-rata industri. Terlebih dalam dua tahun terakhir: sembilan bulan pertama 2016, laba bersihnya Rp 215,23 miliar, meningkat hingga 37,42% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Kinclongnya pamor BNI Syariah dalam tiga tahun terakhir tak bisa dilepaskan dari peran Imam Teguh Saptono, sosok yang sejak Februari 2016 menjadi Direktur Utama BNI Syariah. Ya, Imam banyak memberi warna di bank ini. Dan, ini bisa dipahami karena pada 2012-16 dia menjabat direktur bisnis di sini.
“Pada umumnya bank syariah masih dipandang sebagai pembiayaan mahal dan bunga tabungan yang rendah. Karena itu, pendekatan kami bukan pada konsep produk, namun lebih ke value dan benefit sebagai bank syariah,” ujar Imam. Pendekatan itu dijalankan terhadap nasabah ataupun ke internal karyawan. “Kami berusaha membangun konsep bank syariah sesuai khittahnya,” ujar lelaki yang bergabung dengan Grup BNI sejak 1996 ini. Menurutnya, konsep syariah memiliki lima maksud: memperbaiki agama, memperbaiki akal pikiran, memperbaiki keturunan, memperbaiki dan menyelamatkan jiwa, serta memelihara harta kekayaan.
Konsep itulah yang kemudian ditindaklanjuti dalam bentuk produk dan program yang ingin memosisikan BNI Syariah menjadi Hasanah Lifestyle Banking. Sementara bank konvensional menyediakan produk untuk gaya hidup, bank syariah mendefinisikan layanan berdasarkan apa saja kebutuhan seorang Muslim dari lahir sampai meninggal. Contohnya, produk baru BNI Syariah dengan nama Waqaf Hasanah, menyasar usia 40 tahun ke atas. Program terobosan ini memberikan kesempatan nasabah usia di atas 40 tahun dalam berkontribusi ke orang lain. Misalnya, dia melakukan wakaf Rp 1 juta, BNI Syariah kemudian menyalurkannya ke aset produktif seperti pembangunan sekolah atau rumah sakit yang bisa menghasilkan pendapatan berkelanjutan.
Lalu, ada produk Tapcash Hasanah, kartu yang bisa dipakai untuk perjalanan kereta api commuter line dan Trans Jakarta. Kemudian, produk Kartu Haji yang diluncurkan paa 2015, produk bank asuransi (di dalamnya terdapat polis asuransi jiwa, wakaf dan pendidikan), dan saat nasabah meninggal nanti bisa ikut membangun sebuah masjid sebagai contoh. Juga, Kartu Kredit Hasanah yang saat ini memiliki 250 ribu anggota dengan pembiayaan per tahun sudah mencapai Rp 400 miliar dan jumlah transaksi Rp 1 triliun. “Pertumbuhan produk ini sangat baik karena banyak yang berhijrah dari kartu kredit konvensional ke kartu kredit bank syariah,” kata Imam, kelahiran Jakarta 1969.
Dalam memimpin BNI, Imam mengajak timnya untuk fokus pada penguatan community based. “Kini tolok ukur pertumbuhan kami diihat dari seberapa banyak komunitas yang bisa kami rangkul. Contohnya, komunitas UMKM dan pebisnis online. Kami lakukan pembinaan ke berbagai komunitas,” kata alumni Institut Pertanian Bogor ini. Yang pasti, untuk pebisnis properti, pihaknya sengaja tidak mendekati pemain besar, tetapi ke kalangan pengembang kecil yang membangun townhouse hanya 10 rumah. BNI Syariah memperbanyak jumlah mitra pengembang dan membangun komunitasnya.
Pemerhati bisnis Yuswohady melihat strategi BNI Syariah dalam menggarap pasar sudah lebih tepat dibandingkan bank syariah lain, khususnya dengan terobosannya menggelindingkan konsep wakaf sebagai sumber fundrising. Demikian pula produk kartu haji, kebutuhan masyarakat Indonesia yang melakukan ibadah haji banyak dan kompleks sehingga produk itu bisa menjadi kanal alternatif. “BNI Syariah jeli melihat dan memanfaatkan peluang ini. Tinggal bagaimana nantinya fitur baru itu dikembangkan sehingga nasabah ini semakin loyal,” kata Yuswo.(*)