Business Research Trends

Bagaimana Perbedaan Perilaku Berbelanja Millenials 1980-an dan 1990-an?

Bagaimana Perbedaan Perilaku Berbelanja Millenials 1980-an dan 1990-an?

Generasi Millenial, atau mereka yang lahir antara 1980-an dan 1990-an telah mencuri perhatian industri marketing dunia. Mereka sangat berbeda dari generasi-generasi sebelumnya karena nilai-nilai baru mereka serta kefasihannya dalam teknologi digital. Pendekatan marketing tradisional tampaknya semakin tidak sesuai untuk menjangkau mereka.

Millenial sangat dominan di negara-negara ASEAN, namun demikian merujuk ke pergeseran sosial-ekonomi yang dinamis di negara ASEAN belakangan ini, sulit untuk mendefinisikan sebuah rentang usia yang sangat lebar tersebut ke dalam satu entitas tertentu. Hal ini mendorong Hakuhodo Institute of Life and Living ASEAN (HILL ASEAN), lembaga pemikir yang didirikan di Thailand pada Maret 2014 oleh Hakuhodo Inc., melakukan riset sei-katsu-sha di negara-negara ASEAN.

Penelitian yang dipresentasikan dengan judul “ASEAN Millenials: One Size Fits All? A Generation Gap in ASEAN” di Jakarta ini dilakukan kepada enam negara ASEAN (ASEAN-6) yaitu Thailand, Indonesia, Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Filipina.

Farhana Devi, Executive Director of Strategy Hakuhodo Network Indonesia, mengatakan, Hakuhodo telah melakukan riset tentang perbedaan gap pada generasi millineal tersebut dengan mensurvei sebanyak 8.100 orang dari 7 negara, dan divalidasi pada 1.800 orang. ”Bahkan kami juga melakukan home visit untuk mendapatkan hasil maksimal dan membuktikan sendiri fenomena tersebut,” ujar Devi.

Dalam studi ini, HILL ASEAN membagi generasi tersebut ke dalam kelompok yang lahir di tahun 1980-an dan 1990-an. Analisis dari riset ini menyimpulkan ada sebuah kesenjangan perilaku di antara kelompok usia tersebut, di antaranya bagaimana mereka menjalankan kehidupan dan bekerja, penggunaan teknologi digital, dan perilaku belanja.

Devi menjelaskan, Hakuhodo menyebut Millenial yang lahir di tahun 1980-an sebagai Curator 1980s. Mereka menggunakan internet sebagai panggung untuk menciptakan sebuah pesona yang berbeda yang dapat diakui orang lain.

“Millenial 1980an dipengaruhi oleh masa lalu yang sulit, dan juga masa depan yang menjanjikan. Ketika mereka berbelanja, mereka ingin memilih barang yang terbaik untuk menciptakan pesona. Jadi, mereka selalu membandingkan produk di dua platform pembelanjaan (online & offline) untuk mendapatkan barang yang terbaik, dengan kata lain fase perbandingan ini sangatlah penting,” ujar Devi.

Sebaliknya, lanjut Devi, Millenial yang lahir pada 1990-an hanya ingin bekerja sesuai dengan apa yang dirasa cocok dan sukai tanpa memisahkan kedua elemen itu. Kata kunci utama pada Millenial ini adalah ‘pengalaman’, Devi menyebut mereka sebagai Convergenator 1990, karena gaya berbelanja mereka yang tidak linear.

“Generasi 1990-an tidak memiliki kesenjangan dua platform itu, digital hanyalah bagian dari kehdiupan sehari-hari mereka, sehingga mereka lebih jujur menampilkan diri mereka apa adanya. Mereka cenderung berbagi pengalaman pasca belanja. Gaya belanja mereka tidak lagi linear namun membentuk suatu lingkaran proses. Kami menyebut mereka Convergenator 1990 an, yang secara sederhana ingin mengerjakan pa yang mereka sukai dan berbagi momen dan perasaan kepada orang lain, juga berbagi pengalaman dan evaluasi secara jujur baik terhadap dunia sebenarnya maupun virtual,” papar Devi.

Oleh karena itu, papar Devi, para produsen perlu memahami tren konsumen iklan sudah banyak berubah, millenial tidak bisa dijangkau dengan pendekatan marketing tradisional, bahkan lebih jauh lagi masih terbagi-bagi ke dalam segmen-segmen yang lebih khusus tersebut.

Editor : Eva Martha Rahayu


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved