Berita BCA

Bisnis Kuliner pun Ada Aturan Mainnya Sendiri

Bisnis Kuliner pun Ada Aturan Mainnya Sendiri

Nama Anke Dwi Saputra mungkin masih terdengar asing di telinga banyak orang. Namun, nama ini sudah cukup terkenal di kalangan para pengusaha, khususnya bisnis waralaba. Pria inilah yang membidani lahirnya Eat Republic dan Nachos Hot.

Meski ada bisnis yang langgeng dan tidak, namun pria ini terus berjalan dan membuat bisnis-bisnis baru. Terbaru, ia sedang sibuk dengan Bakso Bom. Pada 2015 lalu, Anke pun mendirikan Sentra Waralaba Indonesia (SWI).

Source: smart-money.co

Untuk itu, Smart-Money melakukan wawancara dengan Anke terkait kiprahnya di dunia bisnis. Berikut petikannya.

Apa itu SWI?

Sentra Waralaba Indonesia kami dirikan sebagai wadah inkubasi startup waralaba di Indonesia supaya bisa memiliki standardisasi untuk bermain di level nasional dan internasional. Karena tidak semua orang memiliki pengetahuan, network, untuk bisa mewaralabakan bisnisnya.

Di satu sisi, kami yang merupakan konsultan di SWI sudah berpengalaman dalam bisnis, baik waralaba maupun nonwaralaba. SWI sudah dari 2015 dan merupakan perubahan nama dari You brand. You brand sendiri lebih ke konsultan bisnis, dan merupakan cikal SWI dari 2008.

Di 2008, kita bergerak di Marketing Communication Consultant kemudian ingin beralih ke satu konsep agar punya produk dan terbentuklah SWI sebagai inkubasi pendampingan UKM dengan layanan lengkap termasuk kekuatan mengakuisisi UKM sehingga dari segi permodalan, pemasaran, strategi, branding, dan mewaralabakan didukung SWI. UKM hanya mempersiapkan produk saja.

Alasan akuisisi Bakso Bom Pak Suparmin pada 2008?

Sebelumnya kita punya produk Nachos sampai 80 cabang tapi kemudian sisa 10 cabang. Kita tertarik dengan bakso karena itu makanan sepanjang masa. Kemudian kita lakukan pendekatan ke beberapa pemain UKM bakso.

Kebetulan yang produknya cocok dengan bayangan kita dan dapat chemistry dari pemiliknya adalah Pak Suparmin. Pak Suparmin kita jadikan mitra dalam produksi. Dia memimpin produksi, kita (SWI) menyempurnakan produk.

Tapi kita di tim SWI lebih fokus ke pengembangan dari sisi pemasaran, branding, dan waralaba. Jadi dari beberapa calon mitra, akhirnya kita pilih Pak Erwin (nama beken Suparmin).

Mengapa yakin bakso bisa bertahan di pasaran?

Saya pernah ketemu Pak Bondan di Eat Republic. Saya tanya bisnis makanan apa yang bisa di waralabakan secara internasional. Setelah setengah jam berpikir, dia bilang cuma ada empat makanan, nasi goreng, sate, soto, dan bakso.

Untuk orang bule, makan pecel lele juga susah karena pedas dan lidahnya tidak cocok. Oleh karena itu kita tertarik bakso karena ada banyak peminatnya, makanan sepanjang masa, rentang usia lebih banyak dari anak kecil sampai dewasa.

Saat dunia bakso digoyang isu dicampur daging babi, banyak mengandung bahan pengawet, atau diisukan pakai boraks. Kita melihat hal itu sebagai peluang, sebab itu menimbulkan keresahan, dari keresahan itu kita masuk dengan bakso bom ini.

Jadi kalau orang makan bakso bom, maka dia tak usah resah. Di sini tidak pakai vetsin, tidak pakai bahan pengawet, tidak pakai boraks, tidak pakai campuran daging lain selain sapi, bahkan di sini tidak pakai campuran telur.

Kalau bakso di tempat lain mungkin ada yang memakai telur. Namun, kadang ada yang alergi telur. Ada juga yang menggunakan soda agar kelihatan gendut dan waktu direbut menjadi besar, pas dimakan menjadi kempis. Ini yang menjadi Alan kami masuk ke bakso alami.

Perkembangan Bakso Bom pasca akuisisi SWI?

Banyak perubahan, hampir 90% sudah berubah. Pertama dari sisi produk, sudah tidak pakai vetsin. Varian pun berubah. Konsistensi produk pun dijaga, besar kecil bakso sudah memiliki ukuran standar. Jadi gram bakso sudah diatur. Jadi meski masih menerapkan cara manual, tetap ada standardisasi.

Misalnya, bakso kecil takarannya 10 gram, dan besar 25 gram. Konsep gerai juga sudah modern, tidak terlihat mewah tapi mengedepankan kebersihan dan kenyamanan. Harga diatur di level menengah Rp20 ribuan dan tidak lebih dari 25 ribu. Untuk bakso beranak baru di atas Rp30 ribu. Jadi segmennya luas.

Kenapa memilih ‘Bakso Bom’ sebagai merek?

Merek Bakso Bom Mas Erwin itu punya saya. Nama awalnya sebelum Bakso Bom adalah Pondok Bakso Suparmin. Peralihan nama terjadi begitu kita kerja sama. Seperti Magnum dengan Unilever. Unilever tidak buat produk sendiri. Bakso bom pun begitu, yang bikin Pak Suparmin.

Tapi pemilik merek Bakso Bom tetap kita termasuk standardisasi.

Strategi pemasaran Bakso Bom terkenal unik, bisa dijelaskan?

Kita punya banyak promo. Promo makan untuk ibu hamil selamanya masih berlaku. Kemudian kalau kita buka cabang biasanya gratis 100 porsi pertama. Kemudian ada promo untuk pelajar, mahasiswa, beli 3 bayar 2. Jadi kita sering ada promo.

Kalau strategi pemasaran lebih ke media sosial, misalnya bulan ini bikin kontes penulisan untuk food blogger. Makanya kalau lagi dicari banyak yang menulis. Kemudian setiap 3 bulan sekali kita mengeluarkan varian-varian baru.

Misalkan bakso selimut tetangga, nanti habis lebaran kita keluarkan lagi. Jadi kita punya simpanan menu yang sudah kita riset. Semua strategi untuk semua cabang sama, namanya waralaba harus sama. Hanya saja, ada beberapa harga (di cabang) beda tipis sesuai lokasi dan biaya sewa ruko.

Kita sudah memiliki 14 cabang, plus ada cabang baru seperti di Ciputat, Blok M, Depok, dan Kelapa Gading.

Ada batas jumlah waralaba Bakso Bom?

Untuk waralaba, seleksi kita ketat. Tidak semua orang bisa mengambil. Misal ada suami-istri yang bekerja tidak bisa mengambil waralaba karena bakso bom bukan bisnis sampingan yang bisa ditinggal-tinggal.

Mereka juga harus lolos tes wawancara. Bagi mereka yang tidak pernah berbisnis, kita tidak akan terima. Pokoknya mereka harus pernah dagang apapun, dagang kecil-kecilan, terus pernah rugi atau belum, kalau belum pernah rugi juga tidak boleh.

Kalau rugi makin besar, makin diterima. Apalagi yang pernah rugi Rp100 juta, itu justru bagus, tapi kalau ruginya baru Rp10 juta belum diterima. Karena makin sering orang rugi, makin sering ia belajar. Jadi rasa kehilangan itu berkorelasi dengan komitmen.

Bagaimana kontrol kualitasnya?

Konsistensi adalah strategi kita. Dulu saya pernah punya beragam restoran, sangat susah menjaga konsistensinya. Misalnya, menu ayam bakar. Untuk menjaga konsistensi rasa ayam, harus menjaga kematangan, rasa manis pedas, dan itu susah sekali.

Belum lagi kalau di dalam satu restoran ada 25-50 menu. Jadi kalau rasa (makanan) berubah-ubah itu tolong dimaklumi karena (menjaga rasa) tidak gampang. Makanya sekarang kita fokus di fast food industry dengan memilih salah satu menu dan kita jaga konsistensinya.

Cara menjaga konsistensi di bakso bom ini ini ada di satu central kitchen. Itu mungkin baru kita sama merek-merek besar yang sudah melakukannya.

Bagaiaman cara menjaga stabilitas harga bila harga bahan baku melonjak?

Kita tidak pernah mengurangi kualitas dan sudah mempersiapkan margin jika terjadi fluktuasi harga. Kenaikan sebesar 5%-10% masih oke. Tapi kalau ganti harga, belum sampai ke arah sana. Saat Idulfitri atau lebaran yang biasanya harga tinggi, ibaratnya saya rugi tidak apa-apa. Jadi saya tidak naikkan harga.

Tapi kalau sudah sangat terpaksa seperti tahun lalu, kita naik Rp 1.000 dan kita kasih info pada pelanggan karena situasi tertentu, jadi bukan ganti daftar harga.

Punya bagi mereka yang ingin buka usaha?

Pertama, jangan latah buka usaha. Sekarang memang musim restoran mie, semua ingin bikin restoran mie. Bisnis makanan adalah bisnis yang susah. Saat seminar, banyak orang saya tanya mau bisnis apa, 9 dari 10 orang mengatakan mau bisnis makanan.

Karena orang selalu beranggapan bahwa cukup dengan modal orang bisa masak enak atau tinggal cari koki kemudian menyediakan tempat dan bisa ditinggal, tidak bisa seperti itu. Setelah masuk bisnis makanan, perlu SOP rinci, waspada kecurangan (dari pesaing) dan isu.

Saya belajar, bisnis ini harus sangat rinci dan tak bisa dianggap mudah, karena itu terkait makanan yang masuk ke perut orang. Bisnis makanan harus memiliki keunikan. Sekarang kecenderungan orang bisnis makanan cuma mengandalkan tema seperti rumah sakit atau penjara tapi tidak membangun kompetensi inti di kualitas produk.

Nama mie penjara memang memiliki konsep unik, baru, dan bikin orang mau datang. Tapi, yang membuat orang mau datang lagi bukan konsep penjaranya, melainkan mie memang enak. Apalagi kalau sudah kunjungan kedua, ketiga, dan seterusnya sudah tidak terkejut lagi, rasa makanan menjadi pertimbangan.

Banyak orang gagal di bisnis makanan karena ia terlalu fokus di pembuatan tema-tema atau konteks, bukan pada konten makanan itu sendiri. (Adv.)

Source: smart-money.co


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved