Management Strategy

Misi Besar di Microsoft

Misi Besar di Microsoft

Demi strategi business upscaling, raksasa peranti lunak ini menarik orang dari luar industri. Apa yang tengah dilakukan, dan sejauh mana kemajuannya?

“Leadership is not magnetic personality – that can just as well be a glib tongue. Leadership is lifting a person’s vision to high sights, the raising of a person’s performance to a higher standard, the building of a personality beyond its normal limitations.”

Pemegang saham Microsoft tampaknya menghayati betul business wisdom dari begawan manajemen dunia Peter F. Drucker itu. Seorang pemimpin bisnis – utamanya CEO – eksis bukan semata karena karisma atau pengaruhnya bagi orang lain, tetapi juga lebih karena kemampuannya membawa timnya ke arah standar dan kinerja yang tinggi.

Setidaknya keyakinan Microsoft itu tampak dari pemilihan Sutanto Hartono sebagai CEO Microsoft Indonesia (MI) sejak setahun terakhir. Bagi banyak orang, keputusan itu cukup mengejutkan. Sutanto tak punya latar belakang mengelola bisnis TI. Dia memang termasuk CEO terbaik Indonesia – pernah terpilih sebagai Best CEO versi SWA-Dunamis-Synovate – tetapi portofolio pengalaman bisnis yang dikelolanya lebih mengarah ke bisnis entertainment (CEO Sony Music Indonesia) dan multimedia (CEO RCTI). Dunia TI? Cukup jauh darinya.

Kontan saja, publik bisnis di Indonesia banyak yang bertanya-tanya tentang apa yang terjadi di Microsoft Indonesia. Jangan-jangan sedang ada masalah kinerja yang tak sesuai dengan harapan CEO sebelumnya. Atau ada misi lain yang sedang dipersiapkan sehingga perlu menunjuk eksekutif non–TI?

“Waktu diajak bergabung saya juga bertanya-tanya kenapa kok saya, karena banyak jago TI di pasar,” kata Sutanto. Ternyata setelah berdialog dengan pemegang saham, jawabannya bukan karena ada masalah. “Nothing is wrong. Bahkan CEO pendahulu saya sudah melakukan superjob untuk membawa Microsoft Indonesia ke level yang lebih baik. Beliau mendapatkan beberapa award karena kesuksesannya,” Sutanto memaparkan.

Tampaknya jawaban atas pertanyaan itu menjadi penjelasan tentang keunggulan Microsoft dibanding perusahaan sejenisnya. Mereka punya visi dan kalkulasi potensi pasar yang lebih cermat dan berani berinvestasi di depan untuk menindaklanjuti visinya itu. Raksasa peranti lunak ini melihat pasar Indonesia sangat menjanjikan, sesuai dengan hitungan statistiknya. Pertumbuhan bisnis di Indonesia masih akan mampu tumbuh cepat, sebagaimana pasar Cina, sehingga bisnis Microsoft di Indonesia dinilai masih bisa ditingkatkan ke level yang lebih tinggi dari yang sudah dimiliki. “Sebenarnya pertumbuhannya selama ini sudah bagus, tapi mereka melihat potensinya bisa lebih bagus lagi. Mereka menyebutnya strategi upscaling. Kalau sebelumnya omset 50 harusnya bisa dibawa ke level 100,” Sutanto menjelaskan misi yang diembannya.

Kehebatan lain Microsoft, mereka sadar bahwa untuk melompatkan skala bisnis tak mungkin dipaksakan dengan kapasitas organisasi dan infrastruktur yang ada. Umumnya perusahaan cenderung memaksakan diri dengan genjot sana-sini dan menetapkan target tinggi. “Itu jelas tak cukup. Kalau Microsoft justru bertanya: apa sih infrastruktur yang dibutuhkan untuk meningkatkan skala bisnis menjadi 100?” ujarnya. Alasan ini pula yang membuat Sutanto didapuk jadi CEO.

Pemegang saham melihat lelaki berkacamata ini cocok untuk menjalankan strategi upscaling itu, karena sebelumnya walau datang dari industri berbeda, ia pernah memimpin bisnis dengan skala yang lebih besar. Sebagai CEO RCTI misalnya, ia memimpin stasiun televisi ini menjadi market leader di bisnis yang kompleks.

Dia juga sukses melakukan change management karena waktu itu RCTI sempat dipepet Indosiar yang sedang meroket karena kuatnya pamor Akademi Fantasi Indosiar. Plus menguatnya kuda hitam Trans TV dan SCTV yang juga inovatif. Microsoft pun tertarik karena Sutanto mampu men–set up bisnis Sony Music di Indonesia dari nol yang kemudian sukses memberi warna baru di industri musik. Hal itulah yang menjadi pertimbangan sehingga dia dinilai cocok membawa jagoan peranti lunak ini dalam skala bisnis yang lebih kompleks.

Sutanto sendiri melihat tantangan yang dihadapinya sebagai CEO MI memang tak mudah. Dia harus mendalami dunia yang menuntut pemahaman product knowledge yang canggih. Banyak produk teknikal seperti ERP, virtualisasi, dan lain-lain yang tak bisa dipelajari hanya dengan common sense. Belum lagi portofolio bisnis Microsoft juga sangat lengkap. Dari aplikasi enterprise solution yang paling canggih, hingga aplikasi sederhana yang sehari-hari dipakai seperti Windows, Explorer, dan lainnya. Dari sisi organisasi pun cukup kompleks karena punya organisasi matriks, selain kebakuan prosedur.

Belum termasuk tantangan yang melekat di TI itu sendiri yang memang sarat perubahan. Khususnya perubahan dari sisi teknologi yang luar biasa cepat dan dari sisi orang. Industri TI dikenal punya turnover SDM paling cepat. Dan kebetulan, ketika Sutanto masuk, beberapa eksekutif keluar. “Mungkin juga ada sedikit orang yang keluar karena kurang nyaman akibat ada perubahan. Tapi itu wajar di mana-mana kalau puncak diganti pasti ada perubahan dan satu-dua yang kurang nyaman.” Selain itu, timing saat Sutanto masuk bertepatan dengan Indonesia mulai pemulihan dari krisis 2008. “Waktu itu pasar di Indonesia sedang naik. Ada sebuah perusahaan yang tiba-tiba mengambil empat orang eksekutif dari Microsoft. Sehingga ketika itu saya kehilangan orang lebih dari biasanya.” Lalu, apa yang dia lakukan?

Langkah pertama tentu saja mengisi dan mencari SDM yang dibutuhkan. Dalam mengambil orang baru, dia mencari orang yang bisa mengelola size bisnis yang lebih besar, sesuai dengan rencana upscaling. “Jadi saat direkrut orang ini punya kapasitas mengelola bisnis dengan nilai 100. Mungkin saat direkrut bisnisnya sendiri baru omset 50. Tapi oke, karena memang kami butuh orang yang bisa menjalankan organisasi dengan size omset 100 itu,” dia menegaskan.

Pada tahun pertama, yang dilakukan Sutanto lebih banyak menciptakan penyesuaian dan dinamika antara SDM baru dan lama. Termasuk penyesuaian (adjustment) antara dirinya dan seluruh karyawan. “Di mana pun leader baru pasti berbeda dari leader sebelumnya dan butuh penyesuaian. Nomor satu, tim saya mesti seiring dulu dengan saya. Adjustment dua arah ini yang saya lakukan,” tuturnya.

Dia banyak melakukan komunikasi untuk menjelaskan arah perubahan. Berbagai pertemuan dilakukan, baik di forum maupun secara pribadi. Tiap bulan sekali Sutanto mengumpulkan semua karyawan guna sharing perkembangan perusahaan, misalnya bagaimana angka-angka pencapaian perusahaan, sekaligus menampung saran yang masuk. Pada forum itu semua staf yang jumlahnya 150 orang ikut masuk di ruangan rapat. Ini juga ditambah pertemuan personal. “Saya punya kegemaran mendengarkan unek-unek bawahan.” Pada pertemuan itu dia menjelaskan pula agenda perubahan. “Saya komunikasikan bahwa saya punya agenda apa saja dan menjelaskan program perusahaan apa saja.”

Yang lebih penting, juga menjelaskan pergantian model bisnis dan arah pengembangan yang mesti dilakukan. Sutanto merinci, masa depan bisnis Microsoft itu ada pada cloud computing (komputasi awan). “Ini bukan hanya teknologinya yang baru, tapi juga akan membawa perubahan model bisnis Microsoft,” katanya.

Kalau saat ini model bisnis Microsot lebih banyak menawarkan office license untuk Windows, misalnya, dengan tarif sekian dikalikan jumlah komputer dan bisa dipakai sampai kapan pun, maka model bisnis itu mulai bergeser dan mengarah ke model subskripsi (langganan). “Misalnya tiap PC membayar langganan sekian dolar, nanti kalau ada software update baru, langsung otomatis di–update tanpa bayar lagi. Kalau dulu hanya jualan software sekarang juga jualan infrastruktur, sehingga klien tak perlu lagi punya server. Semua infrastruktur dari kami. Termasuk di dalam paket harga. Analoginya, kalau dulu jualan handset HP, sekarang seperti jualan BlackBerry yang perlu subskripsi,” Sutanto menguraikan.

Nah, perubahan model bisnis itu jelas membawa implikasi ke organisasi karena mesti pula bergeser ke cloud. Kalau dulu mitra bisnis adalah perusahaan integrator sistem, implementor, jaringan, dan lainnya, sekarang tambah satu lagi, yakni operator telko. Telko wajib menjadi mitra karena akan bicara konektivitas. Maka, “Saya harus punya SDM yang biasa dialog dan negosiasi dengan orang telko. Kami menyiapkan diri menghadapi model bisnis yang baru itu. Jadi akan berubah partnernya, pricing, pemasaran, dan lainnya.”

Tahapan kedua Sutanto setelah penyesuaian dengan tim ialah membangun organisasi agar cocok dengan sistem komputasi awan tadi, termasuk membangun skill baru yang dibutuhkan. Bila sebelumnya melihat industri telko sebagai klien, sekarang sebagai mitra untuk bisnis bareng. “Kami ajak mereka datang ke klien.”

Di bidang pemasaran, Sutanto memperkenalkan timnya pada nuansa baru dalam mengedukasi pasar. Di antaranya, mengajak anak buahnya dengan pertanyaan: “Ada tidak sesuatu di kita yang bisa diubah, atau membuat perbaikan dalam mengerjakan bisnis?” Salah satunya yang diajak untuk dipikirkan ulang adalah pembajakan software. “Apakah cara-cara kita sudah tepat? Apa mungkin kita harus merangkul mereka sebagai konstituen?”

Bagi Sutanto, kini tak zamannya lagi berseteru. Karena itu perusahaan harus melibatkan sejumlah asosiasi seperti Apkomindo, Aspiluki, dan Kadin. “Saya sudah mulai masuk di sana dan sowan ke mereka,” katanya. Memperbanyak silaturahmi itu pun dilakukan ke sebanyak mungkin orang untuk menghilangkan salah persepsi terhadap Microsoft.

“Dari sisi pemasaran, karena saya dari industri media, saya merasa bisa melakukan banyak hal,” Sutanto menjelaskan keyakinannya. Sejauh ini dia cukup aktif melakukan komunikasi melalui forum di luar perusahaan. Contohnya melakukan talk show di acara musik Dahsyat RCTI, kemudian melalui forum dialog. “Saya akan banyak bicara ke publik untuk menjelaskan Microsoft.” Langkah ini tentu saja sangat relevan karena selama ini Microsoft memang punya banyak “musuh” termasuk dari kalangan pencipta virus.

Di bidang pemasaran, dia juga mengajak tim pemasaran berbicara ke pasar dalam bahasa yang lebih ngepop, kecuali menghadapi orang teknis. “Waktu masuk saya bilang ke tim, ‘kalian kalau jualan jangan njlimet karena kebanyakan klien itu awam seperti saya’. Makanya saya mengajak mereka untuk bicara benefit dan fitur ke pelanggan ketimbang bicara spesifikasi produknya. Jadi justru kurang teknikal.”

Tak ditampik Sutanto, resistensi karyawan terhadap perubahan selalu ada. “Yang penting kami harus melakukan komunikasi secara terbuka, tanpa agenda tersembunyi,” katanya. Kebetulan sebelum di Sony Music, dia pernah berkarier di konsultan dunia, Booz–Allen Hamilton yang salah satu spesialisasinya perubahan organisasi. “Saya tahu dalam setiap upaya perubahan selalu ada change cycle, ada kurun grafik menurun dan kemudian naik lagi. Yang harus dipastikan bahwa setelah perubahan, efektivitasnya lebih tinggi dari sebelum perubahan,” dia menandaskan.

Bagaimana hasilnya dalam setahun ini? “Saat ini arahnya sudah menuju ke posisi yang diinginkan, sudah jelas positif. Walau dari sisi pencapaian belum mencapai titik ideal,” ujarnya mengklaim. Sutanto yakin bisnis MI mampu tumbuh dua digit dalam beberapa tahun ke depan. “Kami diharapkan tumbuh high growth dan diharapkan dobel dalam beberapa tahun. Nggak sampai empat tahun,” Sutanto menerangkan tanpa menyebut angka pastinya. Selama ini di Indonesia, Microsoft sudah punya empat segmen bisnis yang kontribusinya merata: enterprise, small medium business, sektor publik dan edukasi, serta OEM (manufaktur). “Ke depan MI akan meningkatkan fokusnya dalam menggarap segmen produk level berikutnya, seperti platform dan produk kolaborasi seperti produk Lync yang belum lama diluncurkan atau produk aplikasi sekelas business intelligence.”

Sudimin Mina, Manajer Bisnis MI punya penilaian atas Sutanto. “Beliau datang dari industri yang berbeda, dari end user sehingga tahu suka-dukanya pelanggan. Kami banyak belajar dari beliau. Misalnya masalah pembajakan. Beliau banyak strategi di konsumer dan ritel. Apalagi nantinya teknologi yang akan diluncurkan Microsoft banyak mengarah ke ritel,” tuturnya. “Pak Sutanto memiliki high standar untuk performa, ingin segala sesuatunya lebih baik dan cepat.”

Budi W. Soetjipto, Direktur Sekolah Bisnis IPMI, melihat cara yang dilakukan Microsoft dengan merekrut orang luar industri sebagai CEO untuk menjalankan strategi upscaling sangat tepat. “Kalau dari orang dalam, nanti cuma muter-muter di skala bisnis itu saja,” ucapnya. Toh dia juga melihat bukan tak mungkin ini ada kaitannya dengan pasar ceruk (niche market) di mana Microsoft akan masuk. “Mungkin saja Microsoft mau masuk di konsumer atau ritel seperti Apple dengan iPhone dan iPad yang sukses itu. Jadi mereka butuh orang yang mengerti multimedia dan ritel. Karena itu mereka nggak merekrut CEO dari perbankan, misalnya. Mereka akan masuk di wilayah yang unknown sehingga butuh orang luar,” ujarnya menganalisis.

Sutanto pasti tahu analisis seperti itu. Dia juga tahu memerlukan waktu untuk benar-benar membuat MI sukses melakukan upscaling. Fondasi krusial, setidaknya telah dibuat: komunikasi dan penyelarasan tim dengan perubahan strategi.

BOKS:

Pertaruhan Microsoft

Menempatkan eksekutif non-TI membuat Microsoft meletakkan pertaruhan besar. Kendati demikian, Sutanto adalah jagoan di dunia hiburan dan ritel. Misi yang diembannya: business upscaling.

Langkah Menjawab Tantangan

Untuk mengemban misi, Sutanto melakukan:

Komunikasi intens: formal dan personal.

Penyesuaian iklim organisasi, terutama dengan tim top dan tim pemasaran.

Menyamakan persepsi tentang sejumlah perubahan yang diambil, khususnya dalam cloud computing.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved