Bulan Madu Obligasi Belum Berakhir
Tepuk tangan hadirin masih terus membahana, meski Ida Lunardi sudah mengakhiri presentasi public expose-nya beberapa menit lalu. Bos PT Federal International Finance (FIF) itu tak mampu menyembunyikan rasa sukacitanya dengan aplaus itu. Rona merah mewarnai wajah wanita setengah baya itu. Ya, hari itu 7 Desember 2004, Ida dan timnya patut bangga, karena sukses menawarkan obligasi FIF yang ke-5 (FIF-V) senilai Rp 1 triliun. Respons investor antusias?
Bisa jadi begitu. Istilahnya FIF ini ketagihan menerbitkan surat utang. Lihat saja, sepanjang tahun 2004 sudah mengeluarkan obligasi tiga kali, yakni FIF-III senilai Rp 500 miliar, FIF-IV Rp 500 miliar secara bullet payment dan Rp 1 triliun untuk FIF-V. Padahal, sebelumnya FIF juga sudah dua kali menawarkan obligasi, tepatnya tahun 2003 senilai Rp 750 miliar dan tahun 2002 senilai Rp 300 miliar secara amortisasi.
Ida merasa bersyukur lantaran investor memberikan kepercayaan yang tinggi atas performa perusahaan pembiayaan motor milik Grup Astra itu. Itulah sebabnya, pihaknya berjanji tidak akan mensia-siakan duit segar hasil emisi obligasi tersebut. “Rencananya dana itu akan kami manfaatkan untuk ekspansi kredit pembiayaan motor yang permintaannya terus meningkat,” ujar Ida dengan nada optimistis.
Wahzary Wardaya, Dirut Danareksa Sekuritas tidak menampik soal masih legitnya potensi pasar obligasi. Dikatakannya, sepanjang suku bunga masih rendah, maka obligasi tetap diburu pemilik modal berkantong tebal. Tidak hanya terpaku obligasi negara (Surat Utang Negara), tapi juga obligasi korporasi. Sementara itu, investornya masih didominasi oleh institusi.
Apakah maraknya pasar obligasi mendorong para investor meningkatkan porsi investasinya? “Logikanya memang demikian,” tambah Wahzary. Buat apa lari ke instrumen lain yang return-nya lebih kecil atau tingkat risikonya lebih tinggi. Bagaimanapun, obligasi mempunyai daya tarik bunga yang besarnya di atas deposito, tapi risikonya jauh di bawah saham. Sementara itu, soal likuiditas perihal tingkat likuiditasnya tergantung kualitas kinerja emiten dan struktur obligasi itu sendiri.
Sebagai fund manager yang mengelola reksa dana, terutama jenis fixed income, Rizka Baely lebih suka menempatkan mayoritas portofolionya di obligasi. “Sekitar 90% portofolio kami di obligasi. Dari jumlah 90% itu rinciannya 95% di obligasi pemerintah dan 5% korporat,” papar Presdir PT Corfina Capital itu. Ia mengungkapkan, dibanding tahun 2003, alokasi dana obligasi tahun 2004 meningkat signifikan. Pada 2003 (awal perusahaan dirintis), ia menaruh dananya 50% di obligasi dan sisanya di pasar uang.
Lain halnya pengalaman Satino. Meski sama-sama mewakili investor institusi, Satino tidak bisa serta-merta mengatrol porsi investasi obligasinya dalam jumlah besar. Maklumlah, dana yang dikelolanya milik dana pensiun, sehingga mesti hati-hati melangkah. “Semua ada aturan mainnya dan kami harus mengikuti kebijakan Depkeu. Untuk tahun 2004, alokasi investasi kami 78% di obligasi korporasi atau senilai Rp 170 miliar. Rencanannya kami akan tingkatkan maksimum 80%, sedangkan obligasi negara hanya 10% ,” Dirut Dana Pensiun Jasa Marga itu menguraikan.
Pemodal perorangan pun tak mau kalah. Simak penuturan Lisa Soemarto, misalnya. “Selama ini komposisi portofolio investasi pribadi saya 75% saham dan 25% obligasi. Tapi sejak 2004 ada peningkatan sekitar 10% untuk porsi obligasi disebabkan ada penambahan dana yang saya injeksikan juga,” tutur Lisa yang mengenal seluk-beluk obligasi sejak 1997. Ia kepincut membiakkan uangnya di obligasi sebab ingin mencari investasi pendapatan tetap, tapi imbal hasilnya yang di atas deposito. Maka, ia memutuskan obligasi sebagai jawaban atas kebutuhan wahana investasi itu.
Wanita 41 tahun itu sadar bahwa investasi obligasi membutuhkan modal gede. Asal tahu saja, satuan terkecil harga obligasi berkisar Rp 1 miliar. Jalan keluarnya, ia berpatungan dana dengan beberapa kawan. Kalau soal transaksi, lanjut Lisa, bisa dilakukan di pasar perdana ataupun sekunder.
Para investor setuju, bermain obligasi di pasar primer lebih menguntungkan ketimbang pasar lapis kedua. Sayang, tidak semua orang beruntung meraih kesempatan membeli obligasi di pasar perdana karena pasokan terbatas. Toh, itu tak menciutkan nyali. “Tapi kalau dasarnya obligasi itu bagus saya kejar di pasar sekunder. Meski harganya sedikit mahal tidak apa-apa, karena saya yakin beberapa lama kemudian harganya juga akan terdongkrak,” Lisa berusaha menyakinkan.
Hal senada dilakukan Satino, yang punya kiat khusus meski obligasi yang dibelinya di pasar sekunder agak mahal. “Tinggal bagaimana kami memprediksi suku bunga. Artinya jika tren suku bunga masih turun, berarti masih ada potensi kenaikan harga obligasi. Pokoknya jangan ragu untuk beli obligasi yang kalkulasi yield-nya masih terukur,” saran Satino. Adapun strategi Satino agar mampu memprediksi arah suku bunga lebih tepat dengan cara mengikuti pidato pejabat negara, informasi sektor industri dan makroekonomi dan bagaimana tren suku bunga.
Bagi Wahzary, main obligasi di pasar perdana ataupun sekunder, tergantung tujuan investasi tiap orang. Menurut eksekutif yang rambutnya memutih itu, investor yang membeli di pasar primer berharap bunga yang ditawarkan lebih menarik dan tujuannya jangka panjang, sehingga disimpan sampai maturity. Sebaliknya, pemodal di pasar sekunder ingin capital gains yang cocok dan bermaksud spekulasi.
Para investor mengaku yield obligasi tahun 2004 masih kalah dibanding 2003. Sebagai gambaran, Satino menerangkan, tahun lalu yield obligasi miliknya berkisar 12%-16%, tapi tahun ini cuma 11%-13%. Sementara itu, Lisa mengungkapkan, tahun 2004 return obligasi yang digenggamnya rata-rata kurang dari 14%. Ia menambahkan, sebetulnya bunga obligasi yang digenggamnya mencapai angka tertinggi di tahun 2001, yakni 20%. Namun, Lisa pun pernah rugi juga gara-gara bermain obligasi. Peristiwa nahas itu terjadi tahun 1998 saat krismon, yang mana harga obligasi dibeli pada 90%, tapi tiba-tiba anjlok menjadi 40% nilainya.
Di luar force majeur krismon, sesungguhnya jika investor disiplin menerapkan strategi memilih obligasi yang jitu, investasinya bakal aman-aman saja. Perhatikan tip yang disodorkan para pelaku investasi obligasi ini. Wahzary menyarankan agar investor memperhatikan beberapa faktor penting yang memengaruhi naik-turunnya harga obligasi. Antara lain: kondisi sektor industrinya, reputasi emiten yang bersangkutan, berapa besar size obligasinya (berpengaruh terhadap likuiditas), bagaimana tren suku bunga dan bagaimana struktur obligasi itu (rating, tenoor, yield). Sementara itu, Satino menambahkan, emiten yang bagus adalah di sektor infrastruktur (perusahaan yang bergerak di sektor telekomunikasi, kelisrtikan, pembangunan jalan dan sebagainya), pegadaian, bahan makanan, lembaga pembiayaan (karena ada jaminan tagihan ) atau bank yang sehat.
Bagi Lisa, iming-iming jaminan obligasi yang ditawarkan emiten bukan tiket sukses memilih obligasi yang tepat. Ia membandingkan andaikan ada dua opsi obligasi. Pertama, obligasi Indosat tanpa jaminan dan kedua, obligasi Astra Sedaya Finance dengan garansi. Peringkat kedua obligasi itu sama-sama A. Mana yang dipilih? “Saya tetap pilih Indosat karena bagaimanapun nama besar perusahaan penerbit obligasi masih lebih penting dan itu terbukti,” Lisa menegaskan.
Tidak hanya return obligasi korporat yang menarik. Analis obligasi dari Mandiri Sekuritas Donsyah Yudhistira mengatakan, imbal hasil obligasi pemerintah menunjukkan kenaikan tajam setahun terakhir. “Sejak Juni 2003 hingga sekarang yield Surat Utang Negara naik 20%,” katanya.
Donsyah mengungkapkan, sejatinya obligasi Pemerintah RI tidak hanya denominasi rupiah yang menarik. Obligasi pemerintah berbasis valas pun ciamik. Bahkan dibanding obligasi US$ dari negeri asalnya — yaitu yang diterbitkan Pemerintah Amerika Serikat — lebih menarik obligasi US$ yang dikeluarkan Pemerintah RI. Mengapa? Tentu saja alasan besaran return. “Selisih yield obligasi US$ Pemerintah RI dan AS mencapai 2,5%-3%. Sedangkan yield obligasi US$ yang diterbitkan korporasi RI malah di atas 3% dibanding obligasi korporasi AS,” papar Donsyah.
Opini Suresh Narang, Kepala Cabang Deutsche Bank di Indonesia, kian mempertegas hal itu. “Sekarang persepsi investor asing terhadap Indonesia cukup baik. Itu bisa dilihat dari harga obligasi dalam mata uang US$. Meski rating Indonesia masih B+, harga obligasinya sudah mencapai BB+,” katanya sebagaimana dikutip Kompas. Suresh menerangkan, selama tahun 2004 total volume obligasi US$ yang diterbitkan di Indonesia senilai US$ 1,85 miliar. Dari jumlah itu yang emisinya dijamin bank asal Belanda itu sebesar US$ 1,3 miliar. Rinciannya: US$ 1 miliar diterbitkan Pemerintah RI dan US$ 300 juta dikeluarkan oleh Bank Danamon.
Menurut Donsyah, beberapa perusahaan di Indonesia menerbitkan obligasi dengan mata uang asing karena berbagai hal. Bisa jadi, emiten itu sebagian atau mayoritas pendapatannya dalam mata uang US$, kebutuhan untuk bayar utang atau ekspansi dalam US$. Meski demikian, lanjutnya, bagi investor tidak selalu menguntungkan membeli obligasi US$. Pasalnya, obligasi US$ juga mengandung risiko exchange rate. Maka, investor harus siap menanggung potensi risiko dari fluktuasi suku bunga dan dampak perubahan kurs.
Bagaimana prospek pasar obligasi tahun 2005? Akankah rencana kenaikan harga BBM tahun depan memengaruhi? Menariknya, rata-rata investor masih menggelantungkan harapan tinggi. Memang kenaikan harga BBM akan memengaruhi infilasi. Namun, bukan berarti pesona investasi obligasi memudar. Bagi Lisa, kenaikan BBM tidak berpengaruh langsung terhadap pasar obligasi. Apalagi, kebijakan pengenaan pajak reksa dana baru diberlakukan tahun 2006. Jadi, masih ada peluang setahun lagi untuk menggenjot return dari instrumen obligasi.