Trends Economic Issues zkumparan

Core: Pertumbuhan Ekonomi Triwulan I/2018 Tertahan di 5%

Core Indonesia memprediksikan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I/2018 masih berada pada kisaran 5%/. Apabila tidak ada perbaikan kebijakan secara signifikan, pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun akan sulit mencapai 5,2%. Core Indonesia melihat tantangan besar dihadapi negara ini untuk mencapai target tersebut, salah satunya adalah potensi pelemahan kinerja ekspor-impor yang mengakibatkan kontribusi net ekspor terhadap pertumbuhan PDB (Pendapatan Domestik Bruto) tahun ini.

Mohammad Faisal, PhD Direktur Eksekutif Core Indonesia memaparkan Core Quaterly Review di Hong Kong Cafe (24/04/2018) yang menjadi catatan penting pertama konsumsi swasta yang belum pulih. “Konsumsi swasta pada triwulan pertama 2018 belum menunjukkan indikasi pemulihan. Bhkan proporsi pendapatan yang dibelanjakan masih cenderung menurun. Tapi disisi lain proporsi tabungan meningkat,” ujarnya. Ia menyebut proporsi pendapatan rumah tangga untuk tabungan selama triwulan pertama 2018 sebesar 21,6%, lebih tinggi dibanding tahun lalu yang sebesar 19%. Sementara pendapatan yang dibelanjakan menurun pada triwulan pertama menjadi 64,1%, walau tidak terlalu signifikan dibanding periode yang sama pada tahun 2017 sebesar 65,2%.

Melihat kondisi ini, Core Indonesia memperingatkan pemerintah untuk mendorong kebijakan yang dapat meningkatkan daya beli dan memberikan stimulus terhadap belanja masyarakat, atau setidaknya menerapkan kebijakan yagn justru berpotensi menekan tingkat konsumsi. “Memang pemerintah tahun ini sudah merespon dengan program-program terkait peningkatan daya beli golongan masyarakat menengah bawah, seperti meningkatkan anggaran program bantuan sosial, mempertahankan tarif dasar listri serta meluncurkan program padat karya tunai dalam pembangunan infrastruktur desa. Walau begitu tetap harus ada upaya mendorong kebijakan untuk meningkatkan daya beli masyarakat,” terangnya.

Faktor penting dalam perbaikan daya beli masyarakat adalah tingkat inflasi yang terkendali. Meskipun selama dua tahun sebelumnya pemerintah berhasil menjaga tingkat inflasi pada kisaran 3-3,5%, inflasi berpotensi meningkat tahun ini. Triwulan pertama 2018 inflasi akan lebih rendah dibanding tahun lalu di periode yang sama tahun lalu dengan perbandingan 0,99% banding 1,19%. “Triwulan berikutnya inflasi berpotensi lebih tinggi karena dorongan inflasi volatile food maupun administered price, khususnya kenaikan harga BBM yang dilepas di pasar. Inflasi volatile food mencapai 2,62%, jauh lebih tinggi dibandingkan triwulan pertama tauun lalu yang mengalami deflasi 0,31%,” terangnya.

Ahmad Akbar Susamto Ekonom Core Indonesia menyoroti hasil riset yang menunjukkan realisasi belanja bansos yang meningkat sangat pesat hingga 88% dibanding tahun lalu pada kuartal pertama tahun ini. Kebalikannya, realisasi belanja modal yang justru menurun `8%. “Harusnya bansos bukan sekadar bagi-bagi kupon, harus ada perencanaan jelas, apalagi itu dibagikan menjelas Pemilu 2019,” sergahnya.

Faisal lebih lanjut menyoroti ditengah kondisi anjloknya surplus perdagangan pada triwulan pertama tahun ini setidaknya didorong oleh dua faktor. Pertama pelebaran difisit migas dan penyempitan surplus non migas. Pelebaran difisit migas lebih dipicu oleh harga minyak dunia yang meningkat. Surplus anggran perdagangan selama Januari-Maret 2018 hanya mencapai US$ 0,3 miliar jauh dibawah periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$ 4,1 miliar.

Core Indonesia juga menyoroti pertumbuhan ekspor non migas yang melemah, ditengah impor non migas yang mengalami peningkatan sangat tajam dari 7% di kuartal pertama 2017 menjadi 24% di periode yang sama tahun ini. Malah impor barang konsumsi naik dari 2,7% menjadi 21,8% di triwulan pertama 2018. Pada periode yang sama impor barang modal naik dari 6,3% menjadi 27,5%. “Peningkatan impor non migas ini bukan dipicu oleh impor bahan baku dan bahan penolong tetapi karena barang konsumsi dan modal,” terangnya.

Langkah diversifikasi yang disarankan Faisal bukanlah untuk menahan tujuan utama ekspor. Tujuan utama ekspor Indonesia saat ini adalah Asean, Tiongkok, Amerika, Jepang, India, dan Uni Eropa. Faisal memandang masalahnya tujuan ekspor di luar tujuan utama itu lambat sekali tergarap. “Kita masih terlalu fokus pada negara tujuan utama, mengingat dampaknya pada pendapatan ekspor kita besar sekali,” tambahnya. Ia memandang di luar lima tujuan utama ekspor kita sebenarnya ada yang sudah mulai membesar dan berpotensi seperti Nigeria, populasi besar dan kelas menengahnya juga sudah mulai tumbuh. Sayangnya kita kurang berkomunitasi dengan negara-negara di Afrika.

“Tidak terlalu fokus sehingga tindak lanjutnya tidak cepat. Demikian juga dengan negara-negara Asia Tengah dan Amerika Latin. Kuncinya adalah menawarkan keunggulan produk-produk ekspor kita yang benar-benar dibutuhkan mereka. Mengingat negara-negara ini bukanlah negara maju,” paparnya. Negara kita itu lebih banyak competitive advantage dibanding comparative advantange kalau dengan negara-negara seperti Asia Tengah dan Amerika Latin. Ada beberapa yang sama, tapi tidak semua yang sama, inilah yang kita gali.

“Untuk manufaktur peluangnya masih ada di tekstil dan kaos kaki, yang jelas keunggulannya harus harga murah. Sedangkan otomotif bisa masuk dengan tipe LCGC (low cost green carrier) yang sudah masuk ke Myanmar dan Filipina,” ujarnya. Kekuatan kita untuk ekspor ke negara-negara non tujuan utama adalah CPO (minyak sawit). Memang ada upaya pengganti minyak sawit di Eropa, tapi tetap saja CPO itu lebih unggul selain prosesnya lebih murah. Bahkan dibanding minyak kacang kedele, minyak sawit dikatakan Faisal menganggap lebih ramah lingkungan di beberapa studi luar menyebutkan.

Meningkatnya nilai tukar dolar terhadap rupiah dibenarkan Faizal makin membuat pelaku bisnis dengan bahan baku imbuh amat besar jumlahnya. “Pelemahan rupiah itu, Rp 14 ribu itu sudah masuk batas psikologis, membuat kepanikan pelaku bisnis, terutama yang paling terancam adalah industri farmasi karena bahan bakunya banyak dari impor,” tuturnya. Walau demikian ia melihat ada upaya peralihan bahan baku, dengan membangun industri asalnya di Indonesia, walau tetap butuh waktu sehingga porsi impor bahan baku tetap ada. Ia menyayangkan kurangnya dukungan Pemerintah pada pelaku bisnis untuk membangun pabrik bahan baku. “Tidak sesuaian kebijakan perdagangan, membuat pelaku bisnis frustasi membangun industri hulunya di sini,” katanya.

Dr. Piter Abdullah Direktur Penelitian Core Indonesia mengapresiasi upaya Bank Indonesia menahan suku bunga acuan tetap rendah guna memacu pertumbuhan ekonomi. Hanya saja, menurutnya keberhasilan upaya Bank Indonesia tersebut akan bergantung pada laju pertumbuhan kredit. Walaupun Bank Indonesia berupaya menahan suku bunga tetap rendah, laju pertumbuhan kredit pada tahun 2018 diperkirakan akan mengalami lonjakan sekitar 11-11,5%. Hingga akhir 2018 diperkirakan kebijakan moneter akan lebih diwarnai oleh upaya menahan kenaikan suku bunga.

Bank Indonesia terhadap fundamental ekonomi nasional sangat terlihat di bulan Maret yaitu dengan menahan suku bunga acuan tersebut di angka 4,25% di saat The Fed menaikkanFFR (Fed Fund Rate) sebesar 25 bps menjadi 1,75%. “Tidak adanya kekhawatiran akan berkurangnya interset rate differential akan mendorong capital outflows dan mengancam nilai tukar rupiah. Bank Indonesia sekali lagi menunjukkan keyakinannya akan kekuatan funamental ekonomi nasional,” ujarnya. Kenaikan suku bunga acuan FFR diperkirakan akan direspon secara hati-hati oleh Bank Indonesia dengan tetap mengupayakan suku bunga rendah guna mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa mengabaikan kestabilan makro.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved