PP Masuki Bisnis Energi dan Kelistrikan
Untuk pengembangan bisnis, PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk. atau PP melirik sektor kelistrikan. BUMN ini mengambil peluang dari pengembangan listrik 35 ribu MW yang dicanangkan oleh pemerintah.
Menurut Direktur Utama PT Pembangunan Perumahan Tbk., Tumiyana, roadmap PP sejalan dengan program pemerintah. Selain itu, pertimbangan lain adalah kelistrikan merupakan bisnis dengan tingkat throughtput paling tinggi, di atas Rp1.200 triliun per tahun.
Dalam menjalankan bisnis kelistrikan ini, PP menghadirkan dua model bisnis. Pertama, sebagai kontraktor Engineering, Procurement, and Construction (EPC). Kedua, sebagai pengembang dan pemilik pembangkit listrik milik sendiri yang menjual daya listriknya ke PLN. “Pada model EPC, PP hanya menjalankan konstruksi di proyek milik pihak lain, dan setelah selesai diserahkan ke pemiliknya. Setelah itu PP ikut menjalankan layanan Operation and Maintenance (O&M),” jelasnya.
Pada penerapan model bisnis kedua, PP secara aktif membangun pembangkit milik sendiri yang pengerjaan konstruksinya digarap sendiri pula. Pembangkit listrik yang dimiliki PP saat ini, antara lain PLTU Lampung Tengah 2 x 7 MW, PLTG Talangduku 56,6 MW, dan beberapa lainnya yang masih dalam proses akuisisi. “Di bisnis EPC, kontribusi PP cukup masif. Hingga saat ini pembangkit listrik yang telah dibangun PP sebagai kontraktor EPC tak kurang dari 2.720 MW,” ungkap Tumiyana.
Proyek EPC yang masih berjalan sebesar 550 MW, di antaranya yang mulai dikerjakan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan sebesar 72 MW milik Equis Energy (PT Energy Bayu Jeneponto). Total seluruh nilai kontrak atau order book perseroan hingga Februari 2018 sebesar Rp63,3 triliun dan sektor EPC menyumbang 15% dari total nilai kontrak, atau sekitar Rp9 triliun.
Tumiyana mengakui bahwa PP kini lebih fokus sebagai EPC dalam rangka membantu pemerintah mencapai akselerasi target 35 ribu MW. “Namun nantinya, jika target kelistrikan telah tercapai, PP akan beralih fokus pada pekerjaan O&M. Jadi pada saat EPC turun, bisnis O&M kami akan naik,” paparnya.
PP masih speed-up bisnis EPC dengan menargetkan setahun mencapai 1.00 MW atau setara nilai kontrak dalam setahun Rp10 triliun. Sebagai independent power producer, PP telah memiliki pembangkit listrik sendiri dengan total kapasitas 120 MW di beberapa lokasi.
Dalam lima tahun ke depan, PP menargetkan bisa memiliki 3.000 MW milik sendiri. Caranya? Mereka akan banyak berkerja sama dengan PT Indonesia Power (anak usaha PLN) dan mengakuisisi beberapa pembangkit swasta.
Di bisnis kelistrikan ini, PP akan menggarap pembangkit tenaga batubara (geothermal power) atau renewable energy. Keseriusannya ini dilakukan dengan mengembangkan anak usahanya yang khusus bermain di bisnis energi, yakno PT PP Energi yang baru berdiri tiga tahu lalu. Kinerja PP energi telah menyelesaikan sekitar 2.800 MW. “Itu hasil kecepatan kami dalam mengakselerasi melalui 25 proyek,” bangga Tumiyana.
Pertumbuhan pesai PP ini karena menjalin aliansi dengan beberapa mitra, menciptakan transfer pengetahuan, serta mengejar pertumbuhan dengan lebih cepat. Portofolio PP sebelumnya didorong oleh induk perusahaan hampir 89% sebagai kontraktor. Sekarang porsi EPC sudah mencapai 16%, properti 14%, PP Presisi 12%, dan induk 52%. “Kami juga menargetkan kontrak sebesar Rp101 triliun dan konsesi laba sebesar Rp2,15 triliun nett hingga akhir 2018,” jelasnya.
Dengan potensi yang dimiliki, Tumiyana optimistis PP dapat mencapai target, mempercepat laju pertumbuhan bisnis energi dan kelistrikan, serta menjadikan PT PP Energi go-public.
Reportase: Jeihan Kahfi Barlian
www.swa.co.id