Pemimpin Otentik Dibangun Melalui Pengalaman
Oleh: Dr. Ningky Sasanti Munir, MBA – Ketua Sekolah Tinggi Manajemen PPM
Demam Pilkada yang memilih 171 kepala daerah Juni lalu masih belum reda. Tentu kita berharap bahwa yang kita pilih adalah pemimpin yang genuine, yang seperti iklan politiknya, yang konsisten antara apa yang dikatakan dengan yang dia kerjakan. Dengan kata lain, kita berharap agar yang kita pilih tersebut adalah betul-betul pemimpin yang otentik.
Berbeda dengan teori kepemimpinan lama, yang berorientasi pada “gaya” kepemimpinan, termasuk teori tentang “tokoh besar” (the great man theory) dan kepemimpinan berbasis kompetensi (competency-based leadership), kepemimpinan otentik ini lebih banyak dijelaskan melalui proses (transformasi) dalam pembentukan atau pengembangannya.
Dalam monograf mengenai kepemimpinan otentik yang terbit tahun 2005, Alvolio, Gardner, dan Walumbwa (2005) bersepakat bahwa kepemimpinan otentik adalah pendekatan terhadap kepemimpinan yang menekankan pentingnya membangun legitimasi pemimpin melalui hubungan yang jujur dengan pengikut, yang menghargai masukan mereka, dan dibangun di atas landasan etika. Margarita Mayo, seorang profesor ahli kepemimpinan dalam bukunya, Yours Truly (2018), mengatakan bahwa pemimpin otentik adalah orang-orang positif dengan konsep diri yang jujur yang mempromosikan keterbukaan.
Bill George, profesor dari sekolah bisnis Harvard dan penulis buku Authentic Leadership (2004) secara sederhana mendefinisikan kepemimpinan otentik sebagai kepemimpinan yang punya hati nurani. George yang pernah menjadi CEO sebuah perusahaan terkemuka, kemudian menerbitkan buku best seller berjudul True North Pada tahun 2007 dan diperbarui pada tahun 2015. Dalam bukunya tersebut George mengatakan pula bahwa pemimpin yang otentik itu sesungguhnya adalah pemimpin yang EQ (Emotional Quotient) nya tinggi. Dengan EQ manusia yang bisa terus bertumbuh dan berkembang, pemimpin otentik juga dapat terus mengembangkan kepemimpinannya.
Karakteristik Kepemimpinan Otentik
Kepemimpinan otentik, memiliki setidaknya beberapa ciri atau karakteristik. Pertama, pemimpin yang otentik itu menyadari dirinya dan “apa adanya” atau asli (genuine). Mereka mengaktualisasi diri, dan sadar akan kekuatan, keterbatasan, dan emosi-emosinya. Mereka juga menunjukkan siapa dirinya yang asli kepada pengikut atau bawahannya. Mereka tidak bersikap lain di lingkungan pribadi atau di tempat umum. Mereka sadar bahwa mengaktualisasikan diri merupakan proses yang tidak pernah berakhir.
Kedua, para pemimpin otentik itu digerakkan oleh misi (mission driven) dan berfokus pada hasil. Mereka menempatkan misi dan tujuan organisasi di atas kepentingan pribadinya. Mereka melaksanakan pekerjaannya untuk mencapai hasil, tidak mencari kekuasaan, kekayaan atau memuaskan egonya.
Ketiga, para pemimpin otentik memimpin dengan hatinya, tidak hanya dengan pikirannya. Dalam menghadapi situasi yang dinamis, mereka tidak takut menunjukkan kewaspadaan dan kekhawatirannya, dan menyampaikan kepada karyawannya. Tidak berarti mereka lemah. Tetapi mereka tidak cuma menjaga citra (image). Kalau suatu tugas itu ada risikonya, dia perlu berempati pula kepada staf yang diberi tugas.
Terakhir, pemimpin otentik berorietasi jangka panjang–pastinya–tidak hanya untuk kepentingan terpilih sebagai pemimpin saat Pemilu. Para pemimpin otentik tidak hanya berpikir mejalankan tugas-tugas yang berjangka waktu bulanan, triwulanan, tetapi berjangka panjang. Dia peduli dan memikirkan organisasi, perusahaan, daerah atau wilayah administratif yang dipimpinnya dalam jangka panjang. Termasuk berpikir tentang inovasi-inovasi yang perlu dilakukan untuk menghadapi perubahan jangka panjang.
Dalam situasi saat ini, kondisi politik dan ekonomi bisa berubah setiap saat dengan disrupsi teknologi dan digitalisasi ekonomi. Perilaku pasar atau masyarakat pada umumnya juga cepat berubah, akibat beralihnya dominasi generasi baby boomers kepada generasi milenial, yang lebih demokratis, ingin berperan aktif (partisipatif), mencari yang unik, organik, dan lokal. Dengan situasi seperti ini tentu kita tidak berharap, atau percaya, pada pemimpin yang hanya mengobral pidato, karisma, dan sok yakin tentang masa depan. Yang kita perlukan dalam situasi saat ini justru pemimpin yang punya kepercayaan diri, bervisi jangka panjang ke depan, tetapi sekaligus cukup realistis untuk mengakui bahwa dia dan kita semua memang sedang menghadapi situasi yang menjanjikan peluang, tetapi juga penuh tantangan ketidak pastian.
Bagaimana Para Pemimpin Mengembangkan Otentisitasnya?
Sambil mengetik artikel ini saya memikirkan beberapa buku dan artikel ilmiah yang memperdebatkan teori mengenai kepemimpinan, termasuk kepemimpinan otentik. Namun daripada ribut dengan definisi, ada pertanyaan yang luar biasa penting. Bagaimana seorang pemimpin mengembangkan otentisitasnya? Apakah suatu program pengembangan kepemimpinan dapat membangun otentisitas pemimpin?
Para ahli kepemimpinan di sekolah bisnis Harvard pernah melakukan interviu kepada 172 pemimpin yang dipandang memenuhi kriteria sebagai pemimpin yang otentik. Kesimpulannya, otentisitas tidak bisa dibentuk seketika, melainkan melalui proses praktik kepemimpinan yang melalui pergulatan mengatasi berbagai persoalan dan tantangan.
Hasil studi mengenai kepemimpinan otentik menunjukkan bahwa proses terbentuknya kepemimpinan otentik merupakan proses belajar, bertumbuh dan berkembang dari si pemimpin tersebut.
Dalam proses tersebut, kandidat pemimpin otentik mengintegrasikan pengalaman-pengalamannya dalam sebuah proses konstruksi diri yang membuatnya memandang situasi dan kondisi sekitarnya dengan pemahaman atau makna yang berbeda. Dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai pemimpin, mereka juga mengembangkan pemahaman atas dirinya dan mengalami proses berdamai dengan dirinya. Sehingga terbentuklah otentisitas dirinya.
Jadi, pembentukan pemimpin otentik melewati perjalanan sepanjang hidup, dengan setiap tingkatan menyingkap lapis berikutnya, seperti orang mengupas bawang. Dalam proses konstruksi dirinya, pemimpin otentik mengupas dirinya, lapis demi lapis, dan terus menyadari diri “sejati”nya.
Hasil studi juga menunjukkan pemimpin otentik melakukan refleksi dan introspeksi setiap hari. Hal ini dilakukan secara formal dengan meditasi, berdoa, salat, atau ritual lainnya, atau sekedar duduk sebentar melakukan perenungan. Kuncinya ialah mereka keluar sebentar dari rutinitas kesibukan, termasuk melepaskan diri dari gawai dan interaksi dengan media sosial (FB, twitter, WA, dst), atau baca berita, untuk bisa melakukan refleksi diri. Intinya mereka menunjukkan bagaimana mereka bisa hidup serasi dengan kesibukan kerjanya, tanpa terhanyut oleh kesibukan tersebut.
Para pemimpin otentik senantiasa mencari umpan-balik yang apa adanya, jujur dari kolega, teman-teman, maupun anak buah tentang dirinya dan praktik kepemimpinannya. Mereka mengakui bahwa hal yang sulit ialah untuk mendapatkan umpan-balik tentang “bagaimana orang-orang melihat dirinya”, yang harus dia bedakan dengan “bagaimana aku ingin dilihat, dinilai oleh orang-orang”. Untuk itu dia mengamati “real-time feedback”, mencatat respons langsung saat dia berkomunikasi dengan orang-orang, bawahannya.
Pemimpin otentik selalu berupaya memahami tujuan kepemimpinannya, sehingga dia bisa mengajak orang-orang di sekitarnya untuk menuju tujuan bersama. Tujuan bersama memungkinkannya mengenali potensi dan keunikan masing-masing orang yang dia pimpin. Dengan begitu dia dapat menyerasikan keunikan dan peran tiap orang dalam mencapai tujuan bersama. Aspek ini jauh lebih penting untuk memfokuskan semua orang berkontribusi mencapai tujuan, daripada memfokuskan mereka pada sekedar ukuran kuantitatif seperti jumlah uang, ketenaran, dan kekuasaan. Walau tentu saja ukuran kinerja tersebut juga perlu.
Proses-proses yang dilewati oleh pemimpin otentik menjadikan mereka terampil dalam merangkai, memadukan gaya kepemimpinannya dengan audiensnya, sejalan dengan situasi, dan kesiapan dari sekitar untuk menerima perbedaan pendekatan. Sekali waktu ada situasi di mana seorang pemimpin harus membuat keputusan sulit yang membuat kolega atau bawahannya tidak nyaman, dan mereka perlu tampil tegar, tegas, dan berani memberi umpan balik yang tajam. Pada kesempatan lain, dia perlu tampil menginspirasi, sebagai coach yang baik, dan membangun konsensus.
Sebagai pemimpin mereka mendapatkan pengalaman dan mengembangkan kesadaran diri yang lebih luas, mereka lebih terlatih, mahir dalam mengadaptasikan gaya kepemimpinannya, tanpa kehilangan ciri karakternya sendiri. Otentisitas pada level lebih dalam juga terkait dengan transparansi dan komunikasi yang jujur, berdamai dengan paradoks, dan mencari kebenaran.
Heart, Habit, dan Harmony
Karakteristik kepemimpinan otentik dan proses pembentukannya sebenarnya secara ringkas disampaikan oleh Margarita Mayo, dalam bukunya yang terbit awal tahun 2018 ini, sebagai 3 H dari kepemimpinan otentik: Heart, Habit, dan Harmony. Komponen Heart atau hati dalam kepemimpinan otentik berarti otentik secara emosional (emotional authenticity). Pemimpin otentik jujur pada diri sendiri – be true to yourself. Lihat ke dalam diri sendiri dan menemukan apa yang menjadi gairah atau passion. Jadi kalau maju sebagai kandidat kepala daerah, harus jujur pada diri sendiri, apa yang membuat kandidat tersebut berambisi menjadi bupati, walikota, atau gubernur. Gairah itulah yang menjadi magnet yang memengaruhi dan menggerakkan para pengikut yang memiliki passion yang sama.
Komponen Habit atau kebiasaan dalam kepemimpinan otentik secara spesifik merujuk pada kebiasaan belajar. Melalui belajar, manusia akan mengubah dirinya menjadi lebih efektif dalam menghadapi lingkungan. Pemimpin otentik mempunyai kebiasaan belajar melalui umpan balik yang jujur. Kalau dikritik, pemimpin otentik bersedia mendengarkan, bukan ngamuk, bicara kasar, menggunakan power untuk menekan, menteror, bahkan membungkam. Pemimpin otentik mengembangkan mindset bertumbuh. Umpan balik yang kritis membuatnya belajar agar mampu beradaptasi, bertumbuh, dan terus maju – be true to your best self.
Komponen Harmony dalam kepemimpinan otentik terkait dengan lingkungan, atau dalam hal ini, pengikut. Pemimpin otentik perlu mencari keseimbangan. Dia konsisten mencapai tujuan, target, tapi juga menimbang kenyataan praktis (down-to-earth). Dia punya prinsip, konsisten dengan nilai-nilai yang dipegangnya, namun tetap sadar bahwa hidup, bekerja dengan orang lain, serta komunitas yang lebih luas. Pemimpin otentik membangun harmoni antara dirinya dan pengikut atau stake holders, dengan tujuan membangun konteks bersama yang otentik. Masyarakat atau rakyat itu, walau mungkin memilih hanya karena menjalankan kewajiban sebagai warganegara tanpa tahu persis siapa kandidat-kandidatnya, masing-masing memiliki harapan agar kabupaten, kota, atau propinsi dimana ia tinggal atau bekerja menjadi lebih kondusif. Konteks bersama yang otentik itu adalah pertemuan antara harapan konstituen dan janji kandidat – be true to others.
Akhirnya, dalam menghadapi situasi dan kondisi ketidakpastian kepemimpinan dalam organisasi, apalagi kabupaten, kota, atau propinsi juga perlu perubahan. Masyarakat atau karyawan mungkin tidak membutuhkan sekedar tokoh besar penuh karisma seperti Jenderal Patton di Amerika. Tetapi butuh kepemimpinan yang tampil jujur, punya visi masa depan yang menginspirasi, namun sekaligus rendah hati, santun, terbuka, dan siap mendengarkan masukan dari orang lain.