Management Strategy

Mengelola Ancaman Krisis, Menggenjot Kinerja

Mengelola Ancaman Krisis, Menggenjot Kinerja

Di tengah tuduhan tak ramah lingkungan dan boikot beberapa pembeli global kelas kakap, kinerjanya justru meroket. Apa strateginya mengelola krisis yang berpotensi meluas ini?

Berbisnis pada masa sekarang memang lebih kompleks, tak bisa sesimpel era sebelumnya, terutama setelah dunia menjadi serba transparan berkat kemajuan teknologi informasi. Pada masa lalu, stakeholder bisa jadi hanya didominasi pelanggan, karyawan dan pemegang saham, tetapi kini stakeholder lain seperti pemerintah, asosiasi dan lembaga nonpemerintah (NGO) atau LSM juga punya pengaruh penting. Semua pemangku kepentingan itu harus dikelola dengan baik karena satu saja ada yang tak puas, bisa mengancam kinerja perusahaan secara keseluruhan.

Tengoklah apa yang dialami PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk. (SMART). Dalam perspektif disiplin manajemen, SMART mampu memuaskan pemegang sahamnya, karyawan, pelanggan dan – mungkin – juga pemerintah. Meski demikian, perusahaan ini sempat diprotes keras stakeholder-nya yang lain, yakni LSM, yang dampaknya sangat serius karena memengaruhi pemangku kepentingan yang lain, yakni pelanggan.

Ceritanya bergulir sejak akhir 2009 ketika LSM berbasis lingkungan, Greenpeace, mengklaim SMART telah membuka perkebunan sawit di Kalimantan dengan melanggar aturan dan merusak konservasi. Perusahaan ini dipandang telah membuka lahan gambut- dalam yang merupakan wilayah konversi. Juga, beroperasi membabat hutan tanpa izin pemanfaatan kayu dan melakukan land clearing tanpa analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Intinya, praktik pengembangan lahan sawit yang dilakukan dinilai Greenpeace mengancam kelestarian lingkungan hidup.

Terlepas dari perdebatan soal keakuratan klaim Greenpeace, diakui atau tidak, hal itu telah memukul secara telak nama besar SMART. Maklum, perusahaan itu selama ini tergolong sebagai perusahaan sawit yang cukup maju dalam menerapkan prinsip-prinsip manajemen dan operasional bisnis modern, termasuk dalam prinsip sustainability. Dalam pembukaan lahan, misalnya, sudah melakukannya tanpa membakar (zero burning) sejak 1997, padahal pemerintah baru menerapkan larangan itu tahun 1999.

Masalah ini bukan semata-mata soal nama baik, karena tuduhan Greenpeace ternyata menciptakan efek bola salju yang luar biasa pada hubungan SMART dengan mitra bisnisnya. Organisasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), misalnya, sempat mengancam akan memberhentikan SMART dari keanggotaan organisasi ini. RSPO merupakan organisasi yang disegani di dunia, beranggotakan para produsen, pedagang dan konsumen crude palm oil (CPO) dunia yang punya visi membangun industri kelapa sawit lestari (sustnainable). Setali tiga uang dengan Greenpeace, RSPO menilai SMART melanggar prinsip-prinsip sawit lestari.

Yang juga sangat gawat ialah ancaman terpangkasnya pasar SMART karena diboikot pembeli-pembeli global. Dua perusahaan global yang paling awal melakukan suspensi kerja sama pembelian adalah Unilever dan Nestle. Unilever, misalnya, menghentikan kontrak pembelian CPO yang nilainya cukup besar, yakni Rp 370 miliar dengan volume 47.000 ton/tahun. Celakanya lagi, langkah dua produsen consumer good dunia itu diikuti pemain global lain seperti jaringan resto dunia Burger King, dan belakangan berembus kabar Kraft dan Shell ikut memboikot.

Unilever dan Nestle memang hanya mengontribusi 3%-4% penjualan SMART, tetapi kalau bola liar itu kemudian diikuti pemain lain, tentu menjadi ancaman yang sangat serius. Apalagi, bisnis CPO dan produk refinery merupakan tulang punggung. Di sinilah mesin uang itu berada. Menurut laporan keuangan tahun 2009, produk branded SMART seperti minyak goreng dan margarin total hanya menyumbang 11,2% pendapatan. Lebih dari 80% pendapatan dikontribusi produk bulk seperti palm kernel, baik produk refinasi maupun nonrefinasi, khususnya CPO. Sebab itu, situasinya menjadi cukup gawat, dan dalam derajat tertentu SMART bisa dikatakan menghadapi krisis.

Namun, pada kasus ini pula tampaknya anak usaha Grup Sinarmas ini melakukan sejumlah hal yang mungkin bisa menjadi pembelajaran bagaimana menghadapi krisis. “Kami nggak panik, namun kami juga tidak menganggap remeh. Kami serius menanganinya,” ungkap Jo Daud Dharsono, Presiden Direktur SMART. “Kami menanggapi semua tuduhan. Kami terima dan tindaklanjuti. Kami menilai sangat positif kalau ada masukan dari stakeholder. Moto kami, semua buyer adalah penting,” Daud menjelaskan sikap dasar perusahaannya.

SMART sesungguhnya bisa saja acuh tak acuh terhadap tuduhan itu dan kalau toh disuspensi oleh sebagian pembeli, bisa mengalihkan penjualan ke pelanggan lain karena produk CPO memang sedang diburu berkat fungsinya yang menghasilkan beragam produk turunan. Walaupun demikian, mereka memilih menindaklanjuti isu itu agar tak berlarut-larut.

Ada beberapa langkah yang dilakukan. Pertama. meyakinkan para mitranya melalui komunikasi (communicate out) bahwa kondisinya tidak seburuk yang dituduhkan Greenpeace. Kepada para pembeli, manajemen SMART juga meyakinkan bahwa pihaknya akan melakukan sejumlah langkah untuk membuktikan fakta di lapangan. Maklum, “Dengan adanya suspensi dari beberapa pembeli, customer lain bertanya-tanya, ‘Hei apa yang terjadi? Bagaimana kalian menyikapi dan melakukan perbaikan?’ Kami buka semuanya,” kata Daud yang mantan profesional di PriceWaterhouseCoopers ini.

“Segera setelah adanya isu-isu tentang lingkungan itu, SMART dan induk kami, Goden Agri Resources Ltd. (GAR), langsung berkomunikasi dengan pihak-pihak yang melakukan suspensi pembelian maupun yang menuduh,” kata Daud lagi. Karena itu pula, pada 21 Desember 2009, segera dikirim surat ke seluruh pelanggan dan mitranya, ditandangani langsung oleh Daud. Cara ini wajar dilakukan agar para pembeli utamanya tetap tenang.

Bagaimanapun, pada saat itu mengomunikasikan sangat penting agar situasi bisnis tetap terkendali. Manajemen SMART juga meminta para pelanggan menanyakan langsung ke perusahaan bila ada yang menarik perhatian mereka. Dalam rangka komunikasi ini, tentu saja peran tim pemasaran internasional yang memegang account pelanggan besar menjadi sangat krusial. Komunikasi dan dialog bahkan juga dilakukan dengan RSPO dan Greenpeace.

Langkah kedua, mengajak para stakeholder melakukan verifikasi dan investigasi untuk melihat bagaimana kondisi riil di lapangan. Langkah ini dipandang penting; tanpa itu, rantai kesimpang-siuran tak pernah akan terputus. Karena itu, SMART kemudian berinisiatif menyelenggarakan Independent Verification Exercise (IVEX). Dalam memilih lembaga yang akan ditugaskan melakukan verifikasi, tentu saja mereka tak sembarangan. Setidaknya harus lembaga yang punya reputasi internasional, independen, dan diakui pihak-pihak yang terlibat. “Atas kesepakatan dan masukan para stakeholder, kami menunjuk Control Union Certification dan British Standar Institution.”

Control Union Certification adalah lembaga sertifikasi dunia yang diakui RSPO, berasal dari Belanda. Sementara British Standar Institution Group merupakan lembaga sertifikasi internasional yang juga diakreditasi RSPO dan berpusat di Inggris. Dua lembaga ini dalam bekerja juga didampingi dua ahli asli Indonesia, yakni Prof. Dr. Bambang Hero Saharjo dan Dr. Ir. Yanto Santosa. Keduanya merupakan akademisi senior dan peneliti konservasi hutan dari Institut Pertanian Bogor. SMART ingin memastikan bahwa verifikasi dilakukan secara independen dan atas dasar ilmiah yang kuat.

Tim IVEX itu meneliti 11 konsesi milik SMART sebagaimana dilaporkan Greenpeace, mencakup luas lahan 182.528 hektare. Selain untuk menemukan verifikasi atas tuduhan itu, tentu saja SMART juga berkepentingan untuk mengetahui realitas di lapangan demi perbaikan yang diperlukan. Intinya, berusaha bersikap kooperatif karena, seperti dikatakan Daud, mereka meyakini bisnisnya akan lestari bila memenuhi prinsip-prinsip kelapa sawit yang berkelanjutan.

Setelah beberapa bulan dilakukan riset, temuan IVEX itu dipublikasikan pada Agustus 2010, disimpulkan lahan mana saja yang sudah sesuai dengan aturan dan areal mana yang tidak sesuai dengan aturan. SMART, sebagaimana dalam press release-nya, memandang klaim Greenpeace dibesar-besarkan atau keliru. Soal isu yang dilontarkan tentang pembukaan lahan gambut dan perizinan lahan, mereka mengakui hal itu memang benar terjadi, tetapi skalanya tidak sebesar seperti yang dikatakan LSM internasional itu.

SMART tidak dapat disalahkan, verifikasi lapangan tidak menemukan bukti pembakaran dalam pembukaan dan persiapan lahan. Laporan verifikasi independen memang mengidentifikasi adanya lahan yang memiliki Nilai Konservasi Tinggi (High Conservation Values), yakni seluas 21.000 ha atau 11,5% dari 11 konsesi yang diteliti. Selain itu, sekitar 98% areal konsesi tidak ditanam di atas lahan gambut-dalam (dengan kedalaman lebih dari tiga meter).

Soal perizinan lahan di Kalimantan Barat, misalnya, seluruh areal konsesi SMART, kecuali dua areal, telah mendapatkan persetujuan amdal sebelum dilakukan kegiatan pembukaan lahan. Sementara di kedua areal konsesi, pemerintah setempat, yaitu Bupati Ketapang, telah memberi izin pembukaan lahan sebelum dikeluarkannya izin amdal untuk seluruh konsesi perkebunan di kabupaten itu. Dalam hal Kalimantan Tengah, ketika itu SMART sudah mulai membuka lahan sebelum izin amdal turun, tetapi amdal untuk seluruh enam areal konsesi telah diselesaikan setelah dilakukan pembukaan lahan. Sebelum membuka lahan, juga sudah mendapatkan Persetujuan Prinsip Usaha. Demikian sanggahan ke Greenpeace saat itu.

Yang pasti, terhadap temuan IVEX, manajemen SMART mengakui ada sebagian kekeliruannya yang tak sesuai dengan asas ketaatan. Terhadap penanaman pada lahan gambut-dalam yang jumlahnya sekitar 1,8% dari areal konsesi, mereka mengakui kekhilafan mereka dan segera akan mengambil langkah-langkah perbaikan yang diperlukan, termasuk memulihkan lahan yang dimaksud. Penanaman di atas lahan gambut, menurut manajemen SMART, dalam beberapa kasus bersifat insidental dan disebabkan sulitnya identifikasi lahan gambut dengan luas kecil-kecil dan tersebar (sporadis). Namun, mereka berkomitmen tidak mengembangkan sawit di atas lahan gambut mana pun.

Setelah mengetahui hasil verifikasi itu, manajemen SMART kemudian mengomunikasikan kesimpulan dan langkah-langkah yang bakal diambil kepada para stakeholder, utamanya pelanggan. Laporan IVEX juga disebarluaskan secara terbuka, termasuk mengirimkannya ke Bursa Efek Jakarta dan memasangnya di website perusahaan. “Hasil IVEX telah diumumkan. Juga di-posting, 100% isinya sesuai temuan, tidak dibuat summary dan tidak kami tambah-tambahi,” Daud menjelaskan. Tim pemasaran SMART menjelaskan satu per satu ke semua stakeholder. “Kami jelaskan ini lho hasil report-nya. Dengan pesan bahwa ‘Kami bukan perusahaan sempurna, bukan berarti kami tidak ada salah. Tapi kami juga berupaya melakukan perbaikan yang diperlukan’,” kata lulusan Akuntansi Universitas Trisakti itu.

Tahap selanjutnya, SMART melakukan program aksi, yakni memecahkan masalah itu sendiri dan melakukan langkah-langkah perbaikan. “Kami punya corporate value dan sejak awal punya prinsip sustainable walaupun memang belum sempurna. Kami ingin meminimkan dampak terhadap lingkungan, mengonservasi hutan, dan melestarikan hutan untuk generasi kita,” Daud meyakinkan.

Ada sejumlah langkah perbaikan konkret yang dilakukan. Sebut contoh, mengimplementasi prosedur operasional standar (SOP) yang baru agar lebih selaras dengan cita-cita produksi minyak kelapa sawit lestari. SOP baru itu terfokus pada hal-hal seperti akuisisi lahan, perencanaan dan pengembangan areal perkebunan, dan praktik budidaya kelapa sawit. Lalu, membentuk divisi khusus untuk merespons keluhan-keluhan yang dinamai Departemen Penanganan Keluhan (Grievance Department). Bahkan, juga menunjuk pihak ketiga untuk membantu audit atas implementasi komitmen tersebut, yakni PT Bumi Hijau Cemerlang.

Kemudian, atas dasar temuan-temuan IVEX pula, khususnya terkait area-area terjadinya pelanggaran atas prinsip-prinsip RSPO, maka SMART melakukan tindakan perbaikan yang mungkin dilakukan. Terhadap lahan 21.000 ha atau 11,5% dari 11 konsesi yang mengandung lahan Nilai Konservasi Tinggi sesuai dengan temuan IVEX, misalnya, SMART telah mengidentifikasi dan mengonservasikannya.

Komitmen itu tampaknya bukan sekadar lip service. SMART, misalnya, menjatuhkan sanksi kepada seorang manajernya di kebun Semitau, Kal-Bar, karena melanggar SOP hingga menanam sawit di atas lahan gambut. Keputusan sanksi kepada manajer kebun itu juga dilaporkan ke otoritas bursa di Jakarta.

Lebih dari itu, SMART dan induk perusahaannya yang berpusat di Singapura, Golden Agri Resources Ltd. (GAR), terus serius menjalin dialog dan komunikasi dengan RSPO. Bukan sebaliknya, malah antipati. Karena itu, mereka terus bekerja sama dengan Grievance Panel dari RSPO. Bersama RSPO, SMART merancang paket langkah-langkah yang diperlukan untuk menjalankan prinsip-prinsip RSPO untuk beberapa areal yang belum sesuai dengan aturan. Termasuk, menyusun rencana lengkap dan terjadwal untuk sertifikasi seluruh perusahaan SMART, penerapan prosedur penanaman baru ala RSPO, restorasi lahan gambut, konservasi hutan, dll.

Intinya, SMART dan GAR bersikap kooperatif terhadap RSPO dan membuat agenda kerja bersama untuk perbaikan. Karena itu pula, di tengah masih adanya pertanyaan soal komitmen dan kepedulian grup ini terhadap pelestarian lingungan, di awal 2011, GAR justru diterima sebagai anggota baru RSPO. Jelas, RSPO tak mungkin sembarangan menerima keanggotaan sebuah perusahaan tanpa melihat kesungguhannya. Semua langkah perbaikan yang diambil SMART itu juga terus dikomunikasikan ke para pemangku kepentingannya, terutama kalangan pelanggan bisnisnya. “Perbaikan kami komunikasikan ke semua stakeholder. Stakeholder kami ialah pembeli, pemerintah, NGO, karyawan, asosiasi, serikat pekerja. Justru keterbukaan kami ini yang diterima para stakeholder,” kata Daud bangga.

Yang menarik, mesti cukup disibukkan dengan agenda menyelesaikan krisis itu, manajemen tak melupakan mengurus fundamental bisnisnya. Baik pekerjaan pemasaran, pengembangan SDM, maupun produksi terus digenjot. Di bidang produksi, misalnya, SMART dan afiliasinya memperkuat program hilirisasi dengan nilai investasi total yang diprediksi bakal mencapai Rp 9 triliun. Melalui program hilirisasi ini, SMART yang sebelumnya lebih banyak memproduksi CPO, akan meningkatkannya dalam bentuk produk refinary. Pabrik penyulingan terbaru (pabrik ke-4) sudah dibuka tahun 2010 di Marunda, Jawa Barat. Dengan tambahan pabrik itu, kapasitas pabrik hilir menjadi 1,38 juta/tahun.

Pabrik CPO juga didirikan di areal kebun-kebun sawit yang mulai memasuki masa panen. Pada 2010, antara lain SMART menyelesaikan ekspansi pabrik pengolahan inti sawit di Tarjun, Kalimantan Selatan, dengan kapasitas 90.000 ton palm kernel/tahun. Dengan tambahan pabrik ini kapasitas produk palm kernel per tahun SMART menjadi 444.000 ton. SMART juga mengoperasikan 15 mills (pabrik hulu CPO).

Masih di bidang produksi, juga dilakukan peremajaan tanaman dengan bibit tanaman sawit unggul yang punya yield per hektare lebih tinggi sehingga meski jumlah lahan mungkin tak bertambah luas, karena yield per hektare meningkat, jumlah produksi pun meningkat. Sejauh ini benih sawit yang dipakai SMART sebagian besar berasal dari grup sendiri, yakni PT Damimas Sejahtera (95%). Selama 2010, SMART menambah lahan sawit tertanam 3.600 ha. Jumlah lahan sawit tertanam tahun 2010 total mencapai 138.100 ha, terdiri dari lahan inti dan plasma. Selain itu, SMART juga mengelola 300-an ribu lahan sawit milik perusahaan induknya, GAR.

Upaya peningkatan kinerja juga dilakukan pada aspek pemasaran. SMART memperluas pasarnya, khususnya dengan menggarap pelanggan industri. Untuk produk bermerek, mereka fokus menggenjot pasar Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Adapun untuk produk nonbranded, banyak mengoptimalkan bangkitnya pasar Cina dan India. “India dan Cina merupakan pasar terbesar kami,” kata Daud. SMART meningkatkan penjualan di semua kanal yang dimilikinya dan mencari peluang-peluang pasar baru. Selama ini pemasaran ekspor produk-produk CPO SMART melalui beberapa jenis saluran. Yakni, melalui bursa seperti di bursa CPO di Rotterdam dan Bursa Kertas di Kualalumpur, broker, trader, dan penjualan langsung ke pembeli.

“Persentase penjualan lebih banyak melalui broker ketimbang penjualan langsung ke user,” ujar Daud memastikan. Hanya saja, dia merasa kesulitan merinci angka persisnya karena beberapa broker besar juga membeli untuk kepentingan perusahaannya sendiri sehingga sulit dipisahkan secara jelas. Contohnya, Cargill yang selain bergerak di perdagangan, juga punya pemrosesan sendiri. Pelanggan besar SMART antara lain Marubeni Corporation, San Pablo Manufacturing Corp., Guangzhou Kingsa Corp. Ltd., Acekook Vietnam, Shanghai Senya International, Sinwon Chemical, Wilson Ltd., Aandatta Ltd., Rohit Surfactant Pvt. Ltd., Top Union, Sonia Food Industries, dan MSSM Food Makers.

Upaya meredam krisis dan memperkuat fundamental bisnis itu ternyata membuahkan hasil yang mengagumkan. Hal itu terbaca dari kinerja keuangan tahun 2010 yang fantastis, ketika perusahaan ini mendapat terpaan krisis yang disebutkan di muka. Penjualan bersih SMART tahun 2010 melonjak 43% dibanding 2009, dari Rp 14,2 triliun menjadi Rp 20,27 triliun. Nilai penjualan ini menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah berdirinya perusahaan. “Peningkatan signifikan itu karena volume penjualan kami meningkat dan harga CPO dunia juga membaik,” kata Daud. Laba bersih perusahaan pun mencapai Rp 1,26 triliun, atau 68% lebih tinggi daripada 2009. Lalu, EBITDA mencapai Rp 2,15 triliun, meningkat 47% dibanding 2009.

Ya, sebuah prestasi yang luar biasa di tengah tantangan berat yang dihadapi. SMART justru membalikkan situasi krisis menjadi prestasi dan pembuktian kinerja. Ketika ditanya tanggapannya tentang situasi perusahaannya terkait klaim Greenpeace, Daud berujar, “Kami menganggap semua tuduhan itu sudah selesai. Itu sudah menjadi sejarah. Kekurangan-kekurangan yang terungkap kami perbaiki. Kami yakin kuncinya keterbukaan dan keseriusan kami mengambil langkah-langkah perbaikan.”

Tubagus Hanafi Soeriaatmadja, Direktur Program MM Executive BINUS Business School, melihat kasus yang dialami SMART termasuk strategic risk management. “Dalam hal ini, risiko yang dihadapi SMART terkait risiko permintaan pelanggan (customer demand) yang dikaitkan dengan isu lingkungan,” kata peraih MBA dari Monash University Australia itu. Hanafi melihat SMART sebenarnya sudah melakukan antisipasi – termasuk dengan bergabung sebagai anggota RSPO – hanya saja, langkah-langkah ramah lingkungan SMART tampaknya belum terlalu dikomunikasikan secara ekstensif kepada pelanggan global.

“Isu lingkungan sudah menjadi prasyarat pelanggan, maka harus mempercepat untuk compliance dengan permintaan pelanggan global. Caranya, harus membuka diri dan melancarkan komunikasi mengenai proses environmentally compliance dan pencapaian-pencapaiannya,” kata mantan Country Manager Hewitt Associates itu. Cara komunikasinya bisa bermacam-macam. Bisa dengan mengikutsertakan lembaga independen yang kredibel atau mengikutsertakan pelanggan dalam pembenahan masalah seperti ini.

Belajar dari kasus seperti ini, Hanafi mengajak perusahaan di Indonesia untuk selalu menyiapkan manajemen risiko yang baik karena sebuah risiko atau bahaya lebih sering datang secara tak terduga. Dalam kasus SMART, dia menyarankan agar manajemen perusahaan ini memperbanyak portofolio pelanggan sehingga ketergantungan pada beberapa pelanggan besar dapat dikurangi dan terus berinovasi guna menciptakan sumber pendapatan baru, antara lain dengan menciptakan produk ataupun proses baru yang bernilai tambah sehingga meningkatkan volume penjualan existing customer, serta aktif memasuki industri hilir.(*)

Riset: Rachmanto

INFOGRAFIS:

Data perbandingan kinerja keuangan

Pointer

Tantangan SMART:

Tuduhan merusak lingkungan dari Greenpeace

Keanggotaannya di RSPO terancam diberhentikan

Beberapa pelanggan besar melakukan suspensi pembelian

Ketergantungan pada ekspor produk hulu

Solusi yang Membuat Kinerja Kinclong:

Meyakinkan dan berkomunikasi intensif dengan semua stakeholder bahwa kondisinya tak separah yang dituduhkan

Menggandeng pihak ketiga untuk melakukan verifikasi independen

Terbuka, tidak panik, kooperatif, dan serius memperbaiki fakta kekurangan-kekurangan yang ditemukan

Menjaga dengan baik pelanggan-pelanggan besar yang tak melakukan suspensi pembelian agar tetap setia

Tetap konsisten pada fundamental bisnisnya dengan menggenjot produksi dan pemasaran


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved