“Saya awalnya gaptek banget, bikin blog saja tidak bisa. Bahkan, sampai masuk pelatihan Google Startup Weekend dan mendapat inkubasi. Setelah tiga bulan, saya berhasil membuat working prototype, bekerjasama dengan 25 pengrajin lokal dengan ratusan item, mengelola transaksi yang zero complain baik dari seller maupun buyer,” kata lulusan S-1 Desain Interior Institut Teknologi Bandung ini.

Emilia dua kali bergabung di Grup Nutrifood. Yakni, pada 2009 dengan jabatan terakhir eksekutif merek. Lalu, dia pindah ke perusahaan multinasional lain (2011-13) sebagai asisten manajer merek. Tahun 2013 ia pindah ke Bali untuk belajar wirausaha dengan memulai bisnis startup.

Setelah tiga usaha startup-nya eksis, dia justru balik lagi menjadi “orang gajian”. Mengapa? “Nutrifood memiliki atau mengadopsi nilai-nilai agility seperti startup tetapi dalam skala yang lebih besar, sehingga saya merasa punya wadah yang lebih besar untuk bereksperimen yang lebih lagi,” kata wanita kelahiran Semarang, 17 Mei 1987, ini.

Sebagai manajer merek, tugasnya kini adalah mengelola brand Nutrisari agar berkembang terus. Di sini dibutuhkan analytical skill supaya bisa menganalisis posisi produk sekarang dan tingkat kompetisinya, sehingga dia bisa merumuskan strategi untuk memenangi persaingan.

Ada dua strategi yang dia terapkan. Pertama, meningkatkan fokus tim di lapangan (mapping strategy) karena varian produk Nutrisari banyak; posisi setiap varian harus jelas arahannya. Kedua, meningkatkan rejuvenasi kampanye Nutrisari; ada pembaruan pesan produk atau pesan kampanye produk. Intinya, komunikasi pasar menyesuaikan dengan pasar yang ada.

Target Emilia ke depan ialah pengembangan diri. “Dalam setiap perjalanan saya, benang merahnya selalu mencari self development baru. Apabila ingin pindah ke tempat baru, harus dipastikan di sana saya bisa mengembangkan diri lebih lagi dari yang sekarang,” ujarnya. (*)

Eva M. Rahayu/Yosa Maulana