Studi Human Capital Global, Indonesia di Peringkat 131
Indonesia menduduki peringkat nomor 131 dalam hal investasi di bidang pendidikan dan pelayanan kesehatan, sebagai bukti dari komitmen pemerintah dalam upaya pertumbuhan ekonomi. Demikian menurut studi terbaru tentang penanganan human capital (sumber daya manusia/SDM) di sejumlah negara.
Berdasarkan survei itu, posisi Indonesia satu peringkat di bawah Filipina (ranking 130) dan satu tingkat di atas Guinea Khatulistiwa. “Temuan-temuan yang kami peroleh ini memperlihatkan adanya korelasi antara investasi dalam bidang pendidikan, kondisi kesehatan, peningkatan kondisi human capital (modal insani) serta pertumbuhan produk domestik bruto (GDP). Ini merupakan satu hal yang sering dilewatkan oleh para pembuat kebijakan,“ ungkap Dr. Christopher Murray, Direktur dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) di Universitas Washington, Amerika Serikat dalam siaran persnya hari ini (25/9/2018).
Ketika pertumbuhan ekonomi dunia sangat tergantung pada teknologi digital, dari agrikultur ke manufaktur lalu kepada industri jasa, human capital pada saat bersamaan juga semakin memainkan peranan penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi, baik untuk skala lokal maupun nasional.
Presiden Bank Dunia, Dr. Jim Yong Kim, menjabarkan human capital sebagai keutuhan kondisi satu populasi ditinjau dari sisi kesehatan, keterampilan, pengetahuan, pengalaman kerja dan pola perilaku. Ini merupakan sebuah konsep yang menyadari bahwa seluruh tenaga kerja mewakili situasi dan kondisi yang sama, serta kualitas pekerja dapat ditingkatkan dengan memperhatikan bagaimana kita melakukan investasi di setiap aspek yang berhubungan dengan kondisi mereka.
Indonesia yang menduduki peringkat ke-131 di tahun 2016 memperlihatkan adanya penurunan dari peringkat ke-130 di tahun 1996. Penurunan peringkat ini dilihat dari bagaimana situasi dan kondisi human capital selama 10 tahun terakhir, berapa lama seorang masing-masing individu dalam populasi tersebut memperlihatkan kinerjanya di usia produktivitas mereka, angka harapan hidup, kondisi kesehatan mereka selama masa produktif, lamanya pendidikan yang dapat mereka tempuh, serta hal-hal lainnya yang dapat dianggap sebagai pembelajaran.
Secara keseluruhan, penduduk Indonesia mencatat 41 dari 45 tahun usia produktif, yang biasanya ada di rentang umur 20 hingga 64 tahun; mampu menempuh 11 tahun pendidikan dari 18 tahun masa pendidikan sekolah; skor 70 untuk kemampuan belajar dan skor 57 untuk kesehatan yang produktif, keduanya dari skor acuan yang sama, yaitu: 100.
Kemampuan belajar didasarkan pada skor rata-rata dalam setiap test yang dinilai menggunakan skor perbandingan internasional. Komponen-komponen pengukuran dalam hal kesehatan yang produktif meliputi masalah kekurangan gizi, wasting, anemia, ketidakseimbangan kognitif, berkurangnya kemampuan mendengar dan melihat, serta penyakit-penyakit menular lainnya seperti HIV/AIDS, malaria dan TBC.
Kim menjelaskan bahwa pengukuran dan pemberian peringkat untuk masing-masing negara dalam lingkup human capital tersebut akan memudahkan untuk melakukan perbandingan dalam jangka waktu tertentu, sehingga mudah untuk menyediakan informasi dan wawasan yang diperlukan oleh masing-masing pemerintah dan para investor, mengenai investasi atau pendanaan yang mana yang kritis diperlukan untuk memperbaiki kondisi kesehatan dan pendidikan. Tahun lalu, beliau meminta IHME untuk mengembangkan sebuah pengukuran untuk kebutuhan tersebut.
“Mengukur dan menyusun peringkat setiap negara berdasarkan kacamata human capital adalah penting untuk membantu pemerintah memfokuskan perhatian mereka dalam melakukan investasi bagi warga mereka sendiri,” ungkap Kim. Studi dari IHME ini merupakan kontribusi penting dalam pengukuran mengenai human capital di setiap negara dalam jangka waktu tertentu.
Studi bertajuk “Measuring human capital: A systematic analysis of 195 countries and territories, 1990 to 2016,” ini diterbikan di The Lancet, sebuah jurnal kesehatan internasional. Studi ini dibuat berdasarkan analisa yang sistematis atas data yang tersedia secara ekstentif dari berbagai sumber, termasuk dari badan-badan pemerintahan, sekolah-sekolah, dan pihak-pihak yang terlibat dalam sistem perawatan kesehatan.
Hasil sigi itu menempatkan Finlandia di urutan teratas. Sementara Turki memperlihatkan peningkatan yang dramatis dalam hal penanganan sumber daya manusia selama tahun 1996 hingga 2016; negara-negara di Asia dengan peningkatan yang perlu menjadi perhatian adalah China, Thailand, Singapura dan Vietnam. Sedangkan di Amerika Latin, Brazil adalah negara yang menunjukkan perbaikan yang signifikan. Seluruh negara-negara ini mencatat pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dalam periode ini dibandingkan negara-negara pembandingnya yang menunjukkan peningkatan yang rendah dalam hal perbaikan human capital.
Selain itu, peningkatan terbaik di antara negara-negara Afrika di Sub-Sahara adalah Guinea Khatulistiwa. Sedangkan negara-negara dengan perbaikan kondisi yang sangat cepat adalah negara-negara di Timur Tengah, termasuk Arab Saudi dan Kuwait.
Dalam seperempat abad terakhir, tercatat kemajuan kecil dalam hal pengembangan human capital di beberapa negara yang memang sejak awal berada di peringkat bawah. Amerika Serikat berada di peringkat ke-6 dalam penanganan masalah human capital pada tahun 1990, tetapi pada tahun 2016 langsung merosot ke peringkat 27, disebabkan oleh minimnya kemajuan, terutama dalam hal perolehan kesempatan pendidikan, yang turun dari 13 tahun menjadi 12 tahun saja.
Pemberi advokasi dalam bidang pendidikan dan kesehatan, pengamat ekonomi, serta pemerhati lainnya sebaiknya menggunakan dan menganggap temuan-temuan dari Studi ini sebagai bukti saat mereka berargumentasi untuk tujuan yang lebih mulia – serta memanfaatkan hasil Studi ini – untuk memperbaiki kondisi human capital di negaranya masing-masing.
“Menganggap rendah pentingnya investasi ataupun pendanaan dalam sektor manusia bisa saja didorong oleh kurangnya perhatian pembuat kebijakan dalam menangani human capital,” tambah Murray. Tidak adanya pelaporan yang dilakukan secara teratur dan tertib tentang penanganan human capital yang terjadi di seluruh negara, masih terjadi hingga saat ini. Pelaporan atau pencatatan yang teratur di generasi mendatang – sebagai cara untuk mengukur investasi atau pendanaan dalam bidang kesehatan dan pendidikan – memampukan konstituen untuk menuntut pertanggungjawaban para pemimpin dalam aspek ini.
Para peneliti menemukan bahwa bangsa-bangsa yang mencatat perbaikan dalam hal penanganan human capital juga cenderung mencatat pertumbuhan PDB yang lebih cepat. Negara-negara yang senantiasa memperlihatkan kemajuan lebih tinggi dalam empat aspek pengukuran human capital antara tahun 1990 dan 2016 memilliki rasio pertumbuhan domestik bruto (GDP) 1,1% lebih tinggi dibandingkan negara-negara yang memiliki nilai pengukuran empat aspek pengukuran human capital yang lebih rendah. Contohnya, antara tahun 2015 dan 2016, pertumbuhan GDP dengan rasio sebesar 1,1% di Cina setara dengan pertumbuhan pendapatan per kapita $163, sedangkan di Turki pendapatan per kapita yang tercatat adalah $268, dan Brazil dengan pendapatan per kapita sebesar $177.
Studi ini secara fokus menghitung masa produktif seorang individu di setiap negara dalam rentang usia 20 hingga 64 tahun, serta mempertimbangkan lamanya jenjang pendidikan yang ditempuh, apa saja yang dipelajari di sekolah, serta kesehatan mereka. Perhitungan ini didasarkan pada analisa yang sistematis atas hasil dari 2.522 survei dan sensus yang menyajikan data lama masa sekolah, nilai dari tes bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, serta peringkat kesehatan yang dihubungkan dengan produktivitas ekonomi.
www.swa.co.id