Solusi Ubah Sampah Jadi Energi Terbarukan ala STT-PLN
Dari dulu sampai sekarang, sampah merupakan salah satu persoalan yang memusingkan banyak pejabat pemerintah. Pasalnya, sudah bertahun-tahun rasanya belum juga ada solusi yang tepat untuk menangani masalah sampah –yang di beberapa daerah/kota bahkan terlihat menumpuk di banyak tempat dan menebarkan aroma busuk ke mana-mana.
Namun, Bupati Klungkung (Bali), I Nyoman Suwirta, kini sudah bisa tersenyum jika ditanyakan masalah sampah. Pasalnya, ia menemukan solusi yang sejauh ini paling pas. Dan, ia telah membuktikan sendiri. Dengan menerapkan inovasi temuan anak bangsa, ia bersama masyarakat mampu membersihkan area seluas lapangan sepak bola dari gunungan sampah.
Tadinya, seperti banyak pejabat pemda lainnya, Nyoman sempat pusing tujuh keliling mengatasi masalah sampah di daerahnya. Kepusingannya terutama karena timnya sudah mencari ke sana-sini untuk lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, tetapi tak ada pemilik lahan atau masyarakat yang bersedia lahannya dijadikan TPA. Sampai Nyoman mendengar ada temuan teknologi dari dalam negeri yang mampu mengurai dan mengubah sampah –segala jenis sampah– menjadi pelet untuk bahan energi (biomassa). Sang bupati –tentu bersama timnya– sampai merasa perlu datang sendiri ke institusi yang mengembangkan solusi inovatif ini untuk mempelajarinya.
Institusi yang mengembangkan teknologi inovatif pengolahan sampah tersebut adalah Sekolah Tinggi Teknik PLN (STT-PLN). Mengapa sekolah tinggi yang terafiliasi dengan BUMN di bidang kelistrikan ini tertarik dengan pengolahan sampah?
Menurut Supriadi Legino, Ph.D., Ketua STT-PLN, inovasi ini dilatarbelakangi kesadaran bahwa selama puluhan tahun kepemilikan proyek ketenagalistrikan hanya dipegang oleh investor besar atau asing. Padahal, kata lulusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung ini, logika matematisnya: 1.000 x 1 = 1 x 1.000. Sebagai contoh, satu proyek pembangkit listrik sebesar 1.000 MW –yang membutuhkan izin, upaya pembebasan tanah, dan pendanaan yang tidak sedikit– bisa dibagi kepada seribu orang untuk masing-masing menyiapkan 1 MW. Jadi, dikerjakan secara keroyokan. “Dari sinilah timbul ide Listrik Kerakyatan dari STT-PLN. Inilah penelitian tematik kami,” kata lelaki yang pernah menjabat sebagai Direktur SDM PT PLN (Persero) ini.
Mulanya, cerita Supriadi, pihaknya berupaya mengembangkan teknologi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Namun, kendalanya hanya bisa siang hari dan kurang people-friendly. Lalu, ada staf pengajar STT-PLN yang meneliti kayu kaliandra, yang dalam enam bulan sudah bisa dipanen dan dicacah jadi pelet untuk menjadi bahan biomassa. Sempat juga meneliti kotoran sapi, tetapi hasil biogasnya terlalu sedikit. Berlanjut kemudian ke pengolahan sampah untuk diubah menjadi pelet biomassa –yang beberapa kali mengalami kegagalan.
Hingga akhirnya, seorang rekannya, Sonny Sundajaya, yang juga alumni ITB dan staf pengajar STT-PLN, membawa teknologi temuannya untuk mengolah sampah dengan teknik fermentasi. “Kami menyebutnya teknik peyeumisasi, karena seperti membuat peyeum (tape),” ujar peraih Ph.D. di bidang kepemimpinan dari sebuah universitas di Amerika Serikat ini. Sonny-lah, menurut Supriadi, yang merupakan penemu bio-activator untuk mengolah sampah ini, yang sudah melakukan penelitiannya selama delapan tahun tetapi belum mematenkannya.
Uji coba dengan sampah ini pertama kali dilakukan tim Supriadi di kawasan Pondok Kopi, Jakarta, di era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dan ternyata berhasil. “Percobaan ini didukung oleh beliau,” kata Supriadi. Ia mengingatkan bahwa Jakarta memang masih menghadapi masalah sampah di TPA Bantargebang, Bekasi. Tadinya, segera akan dijalankan proyeknya, tetapi urung karena ada pergantian gubernur. Yang justru akhirnya menerapkannya sebagai pilot project adalah Kabupaten Klungkung.
Supriadi menjelaskan, proses pengolahan sampah itu hanya menggunakan bakteri dan sama sekali tidak memakai zat kimia dan tidak dibakar. Menurutnya, dalam 10 hari sampah akan menyusut dan kering. Dalam tiga hari, bau sampah juga akan hilang. “Keunggulan metode ini, sampah tidak perlu dipilah-pilah,” ujar inisiator program Listrik Kerakyatan berbasis pengolahan sampah dengan metode peyeumisasi ini.
Dalam praktiknya, tempat penampungan sementara (TPS) sampah disulap menjadi bak-bak bambu. Sampah kemudian ditaruh di bak-bak bambu itu. Kemudian, dimasukkan bakteri fermentasi. “Tiap desa kalau mau mendekorasi bak-bak bambu itu juga bisa,” katanya. Dalam lima hari, sampah sudah bisa dicacah menjadi pelet. Pelet ini diubah sebagai energi dan menjadi substitusi batu bara. Untuk mengubahnya menjadi energi, pelet dimasukkan ke dalam gasifier, yang akan menyalakan diesel.
Menurut Supriadi, satu ton sampah bisa menghasilkan sekitar 300 kg pelet, dengan kalori 3.000 plus-minus 200 kal., yang sama dengan batu bara kalori rendah. Dari 1 kg pelet bisa menghasilkan 1 Kwh. Ia melihat, komunitas usaha di daerah bisa mengembangkan ini jadi usaha rakyat. Bisa dikelola oleh UMKM atau BUMDes. Pendapatannya dari dua lini: penjualan pelet dan jasa pengolahan sampah. Konsepnya ecopreneurship dan sociopreneurship. “Di (TPA) Bantargebang juga bisa diterapkan, tinggal di-scale up saja,” katanya yakin.
Supriadi menyebutkan, pihaknya akan mematenkan dan mewaralabakan teknologi ini. “Ini yang pertama kali di dunia,” katanya mengklaim. Adapun nama perangkat pengolahan sampah yang akan dipatenkan adalah YAKTOSS, singkatan dari Yasin Aktivasi Tempat Olah Sampah Setempat. Pihaknya selama ini menjual bakteri untuk fermentasinya. “Kami jual murah, Rp 30 ribu per ton,” ujarnya. Adapun pelet yang dihasilkan biasanya dijual Rp 500 per kg.
Untuk pengembangan program Listrik Kerakyatan, STT-PLN menggandeng PT Indonesia Power, anak usaha PT PLN (Persero). “STT-PLN kan perguruan tinggi. Jadi, sebenarnya tugas kami sebatas penelitian saja, tidak mau terlalu terlibat masuk ke bisnis. Indonesia Power saja yang mengembangkan (bisnisnya),” kata Supriadi yang telah mengabdi selama 30 tahun di PLN ini. Indonesia Power selama ini juga yang membeli pelet hasil pengolahan sampah yang dipakai di mesin-mesin pembangkit listriknya guna mengurangi emisi gas karbon.
Program Listrik Kerakyatan dengan metode pengolahan sampah saat ini sudah berjalan di Kabupaten Klungkung. Masyarakat daerah ini bisa menghasilkan pelet-pelet dari sampah yang diolahnya, yang kemudian diubah menjadi energi listrik. Pengadaan mesin gasifier-nya didukung oleh Indonesia Power. Program yang serupa dengan Pemkab Klungkung juga akan segera dijalankan oleh Pemkot Denpasar.
Supriadi menyebutkan, banyak kalangan yang beranjangsana ke pihaknya untuk menjajaki kerjasama. Antara lain, PB NU yang berencana menjalankan program pengolahan dan pemanfaatan sampah yang terkumpul dari berbagai pesantrennya. “Kami juga sudah diminta presentasi di Denmark,” katanya.
Untuk penelitian ke depan, Supriadi menyebutkan, pihaknya akan mengembangkan pembangkit listrik tetnaga uap (PLTU) yang memanfaatkan pelet-pelet hasil dari pengolahan sampah. Ia membayangkan nantinya setiap permukiman bisa membuat sendiri PLTU skala kecil dengan kapasitas 500 Kwh, dengan memanfaatkan pelet-pelet tersebut. “Jadi, tidak perlu lagi menggunakan batu bara, yang cenderung merusak lingkungan,” katanya. (*)
Joko Sugiarsono & Yosa Maulana