Starbucks : Rumah Ketiga bagi Penggila Kopi
Siapa yang tidak mengenal Starbucks? Hampir sebagian besar pecinta kopi tentu sering mengunjungi kedai kopi terbesar di dunia yang berbasis di Seattle, Washington, Amerika Serikat ini. Mengingat besarnya jumlah penggemar kopi di Indonesia, Starbucks mengklaim diri sebagai ‘rumah ketiga’. Kenapa?
Pada awalnya, Starbucks hanya menjual biji kopi, namun saat CEO Starbucks Howard Schultz berkunjung ke Italia, ia melihat banyak kedai kopi yang ramai dikunjungi penikmat kopi. Karena itu, Schultz turut pula meniru kesuksesan mereka. “Pada dasarnya, Starbucks ingin menginformasikan kepada dunia tentang kualitas dan kenikmatan kopi. Kami hanya sebagai perantara,” ujar Assistant Communications Manager Starbucks Indonesia, Corry Tjong.
Di Indonesia, penikmat kopi rata-rata berusia 18 tahun hingga 40 tahun. Kecenderungan rasa kopi yang diinginkan masyarakat Indonesia pun berbeda dengan kawasan lain. “Sebagian besar masyarakat menyukai kopi campuran. Mereka tidak terlalu suka kopi pekat dan cenderung menambahkan banyak gula dan susu ke minuman kopi,” ujar Cory Tjong lagi. Selain itu, kedai kopi tidak lagi menjadi sebuah tempat yang hanya menawarkan kopi. Starbucks misalnya, mengklaim diri sebagai ‘rumah ketiga’ bagi pencinta kopi.
“Kami merupakan rumah ketiga bagi penikmat kopi, setelah keluarga dan lingkup aktivitas seperti kantor ataupun tempat kuliah. Kami menawarkan kenyamanan dan ketenangan. Untuk mendukung hal tersebut, kami memiliki standarisasi layanan yang ketat,” tegas Corry.
Pertama, Starbucks berpatokan pada consumer experience. “Jika berbicara soal penyajian kopi, kami menekankan kepada barista untuk selalu memberikan kopi sesuai yang diinginkan konsumen. Misalnya, konsumen dapat secara spesifik meminta kopi dan campuran sesuai selera. Bahkan, di setiap kedai manapun, konsumen berhak memperoleh rasa kopi yang sama,” kata Corry lagi. Kualitas dan penyajian kopi menjadi unsur utama layanan Starbucks.
Kedua, agar penikmat kopi di Starbucks merasa nyaman, setiap kedai selalu ‘didengungkan’ musik jazz. “Bagi Starbucks, musik jazz sangatlah cocok untuk disandingkan dengan acara minum kopi. Kami ingin memberikan rasa nyaman dan santai agar konsumen dapat melepas penat. Apalagi, Jakarta merupakan gudangnya stres,” kata Corry sambil tertawa.
Ketiga, tidak seperti kedai kopi lain, Starbucks memiliki aturan yang ketat mengenai kawasan bebas asap rokok dan tidak. “Kami menyadari bahwa kopi sangat rentan dengan asap rokok. Biji kopi menyerap bau rokok sehingga jika konsumen merokok, dikhawatirkan dapat mengganggu cita rasa kopi itu sendiri,” kata Corry.
Yang terakhir, Starbucks menciptakan ‘keintiman’ antara konsumen dan barista. “Kami menganggap konsumen sebagai raja. Hampir sebagian besar konsumen merasa puas dengan layanan kopi yang diberikan para barista. Karena itu, beberapa konsumen rutin datang ke Starbucks. Bahkan, muncul kedekatan antara konsumen dan barista. Mereka sering saling panggil nama doang loh,” kata Corry sambil tertawa.