Muhammad Fikri
Pengalaman mengurus komunitas di Sampoerna mengantarkan Muhammad Fikri pindah ke Bukalapak. Saat itu, Fikri mengaku dihubungi Achmad Zaky, pendiri Bukalapak, untuk bergabung. “Saya mau mencoba karena ini industri baru dan komunitas Bukalapak belum digarap,” ujar Fikri yang dipercaya sebagai Kepala Manajemen Komunitas Bukalapak.
Karena divisinya baru, Fikri diberi tanggung jawab membangun Divisi Komunitas Bukalapak. Bersama tim yang beranggotakan tiga orang, ia membuat strategi akan dibawa ke mana komunitas Bukalapak yang konteksnya pelapak atau UMKM. Dalam hal ini, harus paham kondisi komunitas, apa saja yang dibutuhkan komunitas, dan bagaimana cara mendekati komunitas agar mau menjadi bagian dari Bukalapak tanpa merasa diikat.
Di awal kepemimpinannya, Fikri tidak langsung membuat strategi. Namun, meriset dan mengumpulkan pelapak dari beberapa kota (saat itu baru ada enam peserta dari tiga kota) untuk melakukan focus group discussion. Hasil diskusi, diketahui bahwa ternyata kebutuhan komunitas ialah self improvement. Jadi, selain berjualan, mereka juga ingin meningkatkan kapasitas diri sebagai individu. Kapasitas ini tidak terbatas dalam transaksi dan digital marketing, tetapi lebih dari itu, misalnya leadership, public speaking, dan networking.
“Kami ingin menjadikan pelapak berkualitas, sehingga mereka berjualan tidak hanya mencari keuntungan semata, tetapi betul-betul menjadi bagian dari Bukalapak dan tahu dalam melakukan pelayanan saat berjualan harus memberikan pelayanan terbaik untuk para pembelinya,” papar lulusan S-1 Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan S-2 Ilmu Komunikasi University of Amsterdam, Belanda, ini.
Setelah memahami kebutuhan komunitas, Fikri menetapkan strategi melalui beberapa program. Ada forum online untuk memaksimalkan grup-grup WhatsApp dan Instagram, serta memiliki webinar. Dengan demikian, pelapak bisa berkomunikasi dan bertanya kepada pelapak yang sudah sukses ataupun ke tim Bukalapak tentang apa pun, misalnya mengenai bisnis dan pengembangan diri.
Ada pula program offline untuk membangun emotional bonding. Ini sangat penting untuk community building. Karena, jika ingin membuat komunitas online ramai, tetapi misalnya ada #uninstall Bukalapak, maka akan unfollow semua follower, sebab emotional bonding-nya tidak terbentuk. “Untuk itu, kami membangun emotional bonding dengan cara ketemuan langsung, makan bersama, buka puasa bersama, bakti sosial bersama, dan lainnya,” ungkap Fikri.
Di offline ini, program kegiatannya antara lain belajar bersama pelapak komunitas. “Ketika mengadakan kegiatan ini, kami melibatkan anggota komunitas, dari persiapan hingga eksekusi,” ujar pria kelahiran Palembang yang merahasiakan umurnya ini.
Program lainnya, bekerjasama dengan para pakar bidang terkait, seperti inkubasi bisnis dari berbagai kampus. Sebut saja, inkubasi dari Univeristas Indonesia, UGM, dan Institut Teknologi Bandung. Kampus-kampus ini sudah memiliki studi kasus, kemudian Bukalapak membandingkan dengan pendapat para pelapak dan akademisi. Dari masukan dua pihak ini, selanjutnya diformulasikan untuk membuat kurikulum sendiri bagi Komunitas Bukalapak.
Saat ini jumlah pelapak Bukalapak lebih dari 4 juta, sedangkan pelapak yang tergabung dalam komunitas hanya 30 ribu anggota, tersebar di 142 kota dan kabupaten seluruh Indonesia. “Tantangan ke depan adalah maintenance komunitas yang tidak mudah. Kami harus inovatif, kreatif, dan mendengarkan masukan anggota untuk membangun hubungan yang lebih baik,” kata Fikri tandas. (*)
Eva M.Rahayu/Niken Handayani