Strategy zkumparan

Ketika Morula IVF Menyandingkan Teknologi, Layanan dan Harga

CEO Morula IVF Indonesia, dr. Ivan Sini, SpOG (Foto: Vina Anggita)

Tak semua pasangan suami istri beruntung bisa dikarunia buah hati secara alami. Beberapa di antaranya harus menjalani program bayi tabung demi melanjutkan keturunan. Seperti yang dilakukan oleh artis dan presenter Tya Ariestya yang sudah menjalani tiga kali program bayi tabung.

Tya mengaku perjuangannya untuk memiliki anak lewat program bayi tabung tidak lah mudah. Sebab ketika itu bayi tabung masih menjadi sesuatu yang tabu di masyarakat. Banyak orang yang mendorongnya untuk mencoba upaya lain selain bayi tabung.

“Dulu bicara bayi tabung itu masih tabu, masih banyak pertanyaan. Saya bahkan disuruh minum teh ini teh itu, kenapa gak dipijat kesini saja, coba ini, coba itu,” ujar Tya yang bersyukur kini telah dikaruniai dua putra dari program bayi tabung, yaitu Muhammad Kanaka Ratinggang dan Muhammad Kalundra Ratinggang.

Bayi tabung alias in vitro fertilization (IVF) memang kerap menjadi pilihan alternatif bagi pasangan yang ingin memiliki anak. Kini, perkembangannya pun sudah pesat. Di Indonesia, peminat bayi tabung terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Akhir tahun lalu, jumlah siklus bayi tabung di Indonesia mencapai 10.000 siklus dari total 36 klinik bayi tabung di seluruh Indonesia.

Dari jumlah itu, Morula IVF Indonesia menjadi salah satu klinik penyumbang terbesar dengan memberikan kontribusi lebih dari 40%. Bagi masyarakat Indonesia, Morula IVF bukan hanya bintangnya klinik bayi tabung, tetapi memang terbilang sangat membantu pasangan yang ingin memiliki momongan.

Bagian dari grup kesehatan Bundamedik Healthcare System (BMHS) ini memang fokus dalam pengembangan layanan fertilitas di Indonesia. Perjalanannya berawal dari keresahan Rizal Sini, sang pendiri, terhadap banyaknya isu infertilitas (ketidaksuburan) di tanah air. Didorong semangat itu, pada 1991 Rizal pergi ke Singapura, Australia, bahkan Inggris untuk mencari tahu bagaimana mengimplementasikan program bayi tabung di Indonesia.

Usaha tidak menghianati hasil, akhirnya pada 1998 bayi tabung pertamanya lahir di klinik yang saat itu diberi nama Klinik Fertilitas Morula. Kini, total sepuluh klinik telah berdiri dan menjadi cabang terbanyak di Indonesia. Sebagian besar berada di wilayah Jawa, seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Tangerang, Bandung, Margonda, Padang, Pontianak, Makassar, dan yang terbaru di Ciputat.

“Dulu tahun 90-an orang berobat itu sangat malu-malu, karena tabu dan khawatir dicap saya infertil atau mandul. Stempel mandul itu sudah menjadi stigma, orang sulit untuk mengatakan saya susah punya anak, apalagi yang ingin berobat bayi tabung,” ujar Ivan Sini, anak dari Rizal Sini sekaligus CEO Morula IVF Indonesia.

Perkembangan Morula di awal berdirinya-1997- terbilang cukup struggling. Keterbatasan dari sumber daya manusia menjadi penyebab sulitnya mengembangkan layanan bayi tabung. Menurut Ivan, saat itu masih sedikit orang-orang yang tertarik untuk mengembangkan bayi tabung termasuk sedikitnya jumlah dokter dan embryologist. Akhirnya pada awal tahun 2000-an, pasar Indonesia menjadi sasaran empuk Singapura.

Kenyataannya, sampai saat ini masih banyak pasien yang berobat ke luar negeri. Data Oliver Wymann pada 2018 menunjukkan, Indonesia mengeluarkan US$ 48 miliar atau sekitar Rp 700 triliun dalam setahun untuk medical tourism. Uang itu mengalir ke luar negeri karena keraguan masyarakat Indonesia terhadap layanan kesehatan di Indonesia baik dari sisi kualitas maupun keamanannya.

“Memang PR yang menjadi stigma masyarakat bahwa berobat yang terbaik bukan di Indonesia. Untuk itu, kita harus bisa mengubah persepsi ini sehingga menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Bahkan untuk tamu-tamu dari pasien luar negeri,” tambah Ivan.

Untuk bisa berkompetisi dengan layanan bayi tabung di luar negeri sekaligus mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, Morula menyadari bahwa pondasi yang kuat untuk mengembangkan diri adalah memberikan layanan yang terbaik. Oleh karena itu, pihaknya memfokuskan diri untuk meningkatkan kualitas dan layanan bagi pasien.

Ada tiga strategi yang dilakukan, pertama pelayanan yang mencakup medik, administrasi, dan layanan umum. Dalam memenuhi standar layanan terbaik bagi pasien, Morula memiliki Indonesian Reproductive Science Institute (IRSI) yakni training center untuk melatih para dokter, embryologist, dan tenaga medis lainnya. Sudah ada 48 dokter Obstetri dan Ginekologi (Obgyn) dan 36 laboratory scientist yang dimiliki Morula.

“Kami juga banyak menerima trainee dari luar negeri untuk berlatih menjadi embryologist seperti dari Afrika, Srilangka, Nepal. Ini merupakan kesempatan untuk menunjukkan ke masyarakat Indonesia bahwa posisi kita sudah berbeda,” ujar Ivan pada SWAOnline.

Morula juga telah mengadopsi Reproductive Technology Accreditation Committee (RTAC) Code of Practice yang telah menjadi standar bagi klinik IVF di Australia untuk menjamin kualitas pelayanan. Menurut Ivan, standar RTAC sangat rigid dan melibatkan auditor eksternal yang secara profesional telah berpengalaman dalam melakukan audit di klinik-klinik IVF Australia.

“Morula mempunyai SOP yang sangat ketat di setiap aspek pelayanan pasien, mulai dari front office dan supporting function di back office. SOP ini dilakukan review setiap tahunnya,” lanjutnya.

Kedua, teknologi. Ivan menuturkan, Morula memiliki teknologi terdepan untuk meningkatkan tingkat keberhasilan bayi tabung dan kenyamanan pasien. Di antaranya teknologi Intracytoplasmic Morphologically Selected Sperm Injection (IMSI). Teknik ini memungkinkan ahli embriologi memilih sperma terbaik untuk proses fertilisasi, di mana seleksi sperma menggunakan mikroskop dengan pembesaran hingga 6.000 kali.

“Sperma ketika dilakukan pembesaran 200 kali terlihat normal, tapi ternyata banyak yang bocor ketika dilakukan pembesaran hingga 6.000 kali. Dengan teknologi yang kami miliki, akan terpilih sperma terbaik,” katanya.

Teknologi selanjutnya adalah Preimplantation Genetic Testing for Aneuploidy (PGT-A), merupakan tindakan pemeriksaan kromosom pada embrio dengan teknologi Next Generation Sequencing (NSG) yang dilakukan sebelum transfer embrio atau penanaman kembali embrio ke dalam rahim. Ivan percaya, dengan adanya PGT-A ini akan membantu mengetahui abnormalitas kromosom dengan tingkat ketepatan hingga 99% dan meningkatkan keberhasilan IVF 70%.

Teknologi canggih berikutnya adalah Endometrial Receptivity Analysis (ERA), yaitu analisa untuk menentukan waktu yang tepat dilakukan embrio transfer dengan cara dilakukan biopsi pada dinding rahim. Ivan mengatakan, teknologi ini tidak banyak dilakukan di Indonesia. Namun, berkat kerja sama dengan laboratorium di Jepang dan Spanyol, Morula berhasil membawa teknologi ini ke Indonesia.

Kemudian, ada Time Lapse di mana pertumbuhan embrio akan dimonitor melalui kamera sejenis CCTV yang ditanam di dalam inkubator. Teknologi ini digunakan untuk mengurangi aktivitas buka tutup inkubator. Selanjutnya Two Layer Albumin Gradient (TLAG), merupakan prosedur pemilihan jenis kelamin pada tahap sperma/pre embrio. Pemisahan sperma dengan menggunakan teknik ini dapat meningkatkan sekitar 80% untuk seleksi gender anak laki-laki.

Morula juga tidak hanya memberikan layanan untuk pasangan yang sulit memiliki keturunan. Layanan Egg Banking menjadi solusi bagi wanita yang belum berniat memiliki anak, misal karena perkembangan karier. Dengan teknik ini, seorang wanita dapat menyimpan sel telur yang matang dan tidak dibuahi untuk dibekukan dan disimpan hingga digunakan di masa mendatang. Teknik ini juga bisa dilakukan pada wanita yang mengalami risiko untuk berkurangnya telur, seperti wanita yang memiliki kista atau kanker sehingga harus dioperasi/dikemoterapi.

“Dengan adanya teknologi-teknologi itu membuktikan bahwa kami serius dalam mengembangkan bayi tabung di Indonesia dan menahan lajunya pasien yang pergi ke luar negeri,” tegas Ivan.

Terakhir masalah harga. Selain keraguan terhadap layanan dan keamanan, Ivan menyebut, banyak pasien yang masih melakukan terapi kesuburan di luar negeri dengan alasan harga yang lebih murah. Padahal menurut Ivan ada biaya tersembunyi (hidden cost) yang tidak dihitung oleh pasien.

“Ada biaya yang tersembunyi, seperti akomodasi selama pengobatan, tempat menginap, tiket pesawat, lost of time untuk bekerja, lost of stress karena jauh dari keluarga. Jika dihitung head to head harga yang di luar negeri lebih mahal dibandingkan di Indonesia,” tuturnya.

Ivan mengungkapkan, tidak ada besaran pasti berapa biaya untuk menjalani program bayi tabung. Hal itu bergantung pada usia pasien. Wanita yang masih muda cenderung lebih murah yaitu berkisar Rp 60-70 juta. Sementara wanita yang sudah berumur berkisar Rp 90-100 juta. Hal ini dikarenakan sudah berkurangnya sel telur sehingga membutuhkan dosis yang lebih tinggi.

Jumlah bayi yang yang lahir dari program IVF di klinik Morula sampai saat ini telah mencapai 4.100 bayi dengan total pasien yang dilayani sebanyak 33.041 pasangan. Adapun dari 2014-2018, Morula telah melayani 14.000 siklus bayi tabung.

Ia meyampaikan bahwa kunci keberhasilan mempertahankan eksistensi Morula IVF adalah senantiasa fokus pada visi dan misi serta spirit yang telah dicanangkan pendiri sejak awal, yaitu menjadi klinik terdepan dalam pelayanan kesehatan bayi tabung yang berkualitas tinggi. Ia juga berharap Morula IVF tidak hanya menjadi benchmark di Indonesia tapi juga menjadi benchmark di Asia Tenggara.

“Target kami di 2022 akan ada 18 klinik, Sumatera, Bali, akan kami jajaki. Tidak menutup kemungkinan juga ekspansi ke luar negeri (Asia Tenggara) untuk mengambil market Indonesia yang ada di luar negeri. Tapi untuk saat ini difokuskan dulu di Indonesia,” ujar pria yang mendapatkan perghargaan Young Australian New Zealand Gynecologist Award tahun 2004 lalu.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved