Vina Zerlina
Punya hobi menggambar karakter kartun saat kecil, Vina Zerlina tidak menyangka hal itu akan berpengaruh pada profesinya saat dewasa. Kini, Vina bekerja di Sorabel, perusahaan self manufacturing bidang fashion karya anak bangsa dengan posisi Kepala Desain Produk.
Untuk mencapai jabatan itu, Vina harus melalui beberapa proses pendidikan dan pengalaman kerja sebelumnya. Dari sisi pendidikan, selulus dari Jurusan Industrial Engineering spesialisasi Software Engineering dari Purdue University, Amerika Serikat, dia melanjutkan ke jenjang master di Jurusan Human Centered Design and Engineering University of Washington.
“Dulu S-1 saya Jurusan Teknik Industri, tapi kurang cocok di pekerjaan saya karena lebih ke manufacturing. Jadi, saya mencari ilmu apa yang disambung-sambungkan dengan desain. Akhirnya, saya mengikuti minor class computer science untuk memperdalam bidang tersebut dan melanjutkan S-2 User Experience (UX) Design,” ungkap wanita kelahiran 2 April 1989 itu mengenang.
Saat di AS, Vina sempat bekerja di Amazon selama satu tahun. Dia di Bagian Fulfillment Technology sebagai UX designer dan mendesain software untuk karyawan bagian gudang Amazon. Karena di sana ritme kerjanya cepat sekali, dalam hitungan detik, banyak barang yang keluar gudang. Maka, jika bisa mendesain layout software untuk mendukung efisiensi pekerjaan, akan menghemat biaya jutaan dolar AS.
Vina bercerita, keahlian sebagai UX designer masih langka dan tergolong baru di tahun 2011, apalagi di Indonesia. “Kalau pekerjaan desain grafis, banyak pesaingnya. Lalu, saya mencari bidang yang menggabungkan komputer dan desain,” kata pehobi bulutangkis ini.
Menurutnya, bidang UX design lebih ke desain tampilan supaya mudah dipahami user. Sementara product design harus juga memperhatikan apakah desain tersebut bisa memberikan revenue. Jadi ketika mendesain, desainer produk tidak hanya memperhatikan apakah desainnya usable untuk user, tetapi juga apakah bisa mendatangkan keuntungan bisnis.
Setelah di Amazon, tahun 2014 Vina kembali ke Indonesia untuk berkarier di Blibli dan Sorabel. Nah, di Sorabel ini tugas dan tanggung jawabnya adalah mengelola desain website dan aplikasi Sorabel, dibantu tiga karyawan dalam timnya. “Tahun 2014 akhir adalah waktu yang tepat untuk kembali di Indonesia dan berkarier di bidang UX. Aku masuk ke UX Blibli dan baru ada dua desainer UX,” katanya.
Bagi Vina, budaya kerja di kantor AS dan Indonesia terdapat perbedaan yang tajam. Menurutnya, karyawan di AS memisahkan urusan profesionalisme dan personal. Beda sekali dengan lingkungan di Indonesia yang suka mencampuradukkan masalah pribadi dan kantor. “Selain itu, karyawan di Amerika lebih jago presenting and promoting their job. Beda dengan karyawan di Indonesia yang cenderung diam dan kurang bisa mempresentasikan pekerjaan mereka. Menurutku, orang Indonesia harus lebih berani mempromosikan diri sendiri dan kerjaannya,” Vina menandaskan.
Di Sorabel, tanggungjawab yang diemban Vina lebih besar dan menangani hal lain juga. Apalagi di Sorabel, dia pertama kali menduduki posisi manajerial, sehingga harus banyak belajar untuk menyesuaikan diri. Apalagi, selain tim inti di kantor pusat Jakarta, juga ada tim di kota-kota lain, seperti Bandung dan Yogyakarta.
Agar lebih efisien dalam berkoordinasi dengan tim di daerah, Vina menggunakan metode komunikasi gaya milenial, yakni Google Hangout dan Slack. Tiap hari, diusahakan timnya harus mengirim laporan tugas.
Vina mengatakan, kualifikasi yang mesti dimiliki pekerja UX design adalah mampu memberikan problem solving. Pasalnya, sebagus apa pun desainnya, jika tidak bisa memecahkan masalah user, percuma. “Jangan cuma mementingkan keindahan desain, tapi juga harus mudah dipahami user. Yang penting, pekerja memiliki rasa penasaran yang tinggi, research skills, dan passion untuk memecahkan masalah user,” Vina menyarankan. (*)
Eva M.Rahayu/Andi Hana