Management Trends Covid 19

RUU Cipta Kerja Harus Relevan dengan Indonesia Pascapandemi Covid-19

Ketua ILUNI FH UI, Ashoya Ratam (kiri atas)

Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja yang saat ini dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus dipastikan memiliki relevansi dengan kondisi Indonesia saat dan pascapandemi Covid-19.

Ketua Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI), Ashoya Ratam, mengatakan, Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja yang saat ini dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus relevan dengan kondisi ‘new normal’. “Kita perlu memastikan bahwa RUU ini relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia, terutama dengan kondisi ‘new normal’akibat pandemi COVID-19,” ujar Ashoya dalam diskusi daring “Nasib RUU Cipta Kerja Di Masa Pandemi COVID-19” yang diselenggarakan ILUNI FHUI, di Jakarta (16/5/2020).

Dia menambahkn, ILUNI FHUI sebagai bagian dari masyarakat sipil perlu berpartisipasi untuk memastikan bahwa RUU yang sedang dirancang benar-benar dapat membantu memenuhi kesejahteraan masyarakat, sebagaimana diperintahkan oleh konstitusi.“Indonesia telah mengamini asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka sedianya kita wajib membentuk RUU ini dengan memenuhi asas tersebut,” jelasnya.

Indonesia menggunakan konsep trias politica dalam politik kenegaraan, dan kita bersama-sama perlu memastikan adanya ‘check and balances’ dalam setiap pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan masyarakat banyak. RUU Cipta Kerja tersebut, dirancang sebagai suatu instrumen hukum yang keberlakuannya akan memengaruhi aktivitas masyarakat sehari-hari. Ashoya mengajak para alumni dengan bidang konsentrasinya masing-masing, memberi masukan terhadap RUU Cipta Kerja.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Hariyadi Sukamdani, mengapresiasi niatan pemerintah untuk membuat undang-undang yang mempermudah terbukanya lapangan kerja.“Perubahan dunia akibat pandemi Covid-19 ini memaksa pemerintah melakukan penyesuaian standar ketenagakerjaan baru. Kondisinya saat ini terjadi penyusutan lapangan kerja. Inilah salah satu masalah terbesar pemerintah yang harus menyediakan lapangan kerja bagi angkatan kerja dengan keterampilan terbatas,” kata Hariyadi.

Hariyadi juga memperlihatkan data bahwa mayoritas angkatan kerja memiliki latar pendidikan yang rendah, yaitu sekitar 72,8 juta orang tamatan SMP ke bawah atau 57,54% dari 126,51 juta orang yang bekerja. “Negara bertanggung jawab dalam menciptakan lapangan kerja untuk 133 juta orang angkatan kerja. Selama ini keluhan pengusaha adalah besarnya biaya tenaga kerja, meliputi sistem pengupahan, pesangon, kontribusi jaminan sosial, pembatasan outsourcing, hiring dan firing yang kaku, kesiapan kerja, dan kompetensi yang rendah,” kata Haryadi.

Sementara itu, pakar ekonomi sekaligus Guru Besar UI Prof Emil Salim yang juga menjadi pembicara dalam seminar tersebut menyangsikan relevansi RUU Cipta Kerja dengan keadaan pascapandemi Covid-19. Hal ini karena RUU itu dibuat sebelum pandemi terjadi dan sekarang dibahas dengan keinginan justru untuk menghadapi permasalahan pascapandemi. Emil terutama juga menyoroti penghapusan izin lingkungan sebagai persyaratan untuk memperoleh izin usaha. Omnibus ini menghapus ketentuan dalam Pasal 40 dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.“Indonesia bisa tertinggal dari negara lain yang sudah menerapkan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development. Konsep pembangunan sekarang tidak lagi dipilah-pilah. Ekonomi, sosial, lingkungan, tidak bisa dipisahkan,” kata Prof Emil.

Pembangunan ekonomi yang mengabaikan lingkungan hidup justru akan memberi dampak negatif terhadap perekonomian.Anggota Komisi III DPR, Taufik Basari, mengatakan saat ini pembahasan RUU Cipta Kerja tersebut baru pada tahap konsideran. “Kami sedang membahas di DPR soal pondasi RUU Cipta Lapangan Kerja ini untuk mencari tahu mau dibawa ke mana. Kami akan dahulukan mendengarkan masukan dari masyarakat dan para pakar, termasuk pihak yang menyatakan menolak RUU,” katanya.

Menurutnya, DPR juga menyadari RUU ini menimbulkan banyak pro kontra. DPR disorot karena tidak sensitif karena di tengah pandemi malah membahas RUU Cipta Kerja. “Dalam hal ini, saya meluruskan berbagai pendapat ini. Perlu saya sampaikan seluruh fraksi fokus pada pengawasan dan bujeting, dan perlu diingat DPR adalah lembaga lesgilatif bukan eksekutif. Sementara terkait pandemi itu adalah kerja eksekutif,” kata Taufik lagi.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved