Trends Economic Issues

Kedaulatan Petani di Lahan Gambut Jadi Masa Depan Ketahanan Pangan

Ilustrasi petani di lahan gambut. (dok Badan Restorasi Gambut)

Pandemi COVID-19 membuka diskursus tentang ketahanan pangan Indonesia, terutama beras, di masa krisis pandemi maupun di masa yang akan datang. Menurut Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dwi Andreas Santosa, sejak dua tahun terakhir, Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat yang merupakan produsen utama beras secara nasional mengalami penurunan jumlah produksi.

Produksi beras di Indonesia pada 2019 lebih rendah dibanding 2018, penurunan ini juga diperkirakan masih akan berlanjut di tahun ini saat Indonesia juga menghadapi pandemi COVID-19.

Pada Mei 2020, pemerintah mencetuskan gagasan intesifikasi dan revitalisasi sawah di lahan gambut dan lahan basah Kalimantan Tengah untuk meningkatkan ketahanan pangan Indonesia. Dwi menyatakan tantangan dalam mewujudkan pelaksanaan agroindustri untuk memperkuat ketahanan pangan Indonesia tidak hanya semata pada isu lingkungan, namun juga keterbatasan para petani dalam memasok produk dalam kuantitas besar.

Dwi menuturkan, kedaulatan petani kecil atas pangan atau food sovereignty merupakan komponen penting karena ketahanan pangan jangka panjang tergantung pada mereka yang memproduksi bahan pangan. Kedaulatan Pangan adalah konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Kedaulatan pangan merupakan konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Artinya, kedaulatan pangan sangat menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada.

Badan Restorasi Gambut, sejak awal berdiri, melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan potensi petani di lahan gambut. BRG mengajak petani memanfaatkan lahan gambut terdegradasi, terbuka, terlantar menjadi lahan produktif. Selain bisa meningkatkan fungsi ekonomis, pemanfaatan lahan gambut yang sudah terbuka ini bisa mengurangi resiko kebakaran di musim kemarau.

Bekerja erat dengan petani lokal, BRG mempraktekkan budidaya di lahan gambut tipis ini di lebih dari 300 desa di Sumatera dan Kalimantan dengan menanam padi, nanas, talas, sagu, serta peternakan dan perikanan. Masyarakat pun sudah terbiasa mengonsumsi hasil budidaya di lahan gambut tersebut. Berdasarkan kajian yang dilakukan Kementerian Pertanian dan BRG, setidaknya ada 14 komoditas untuk bisa ditanami di gambut.

Pertanian yang dilaksanakan di lahan gambut mengikuti sistem climate smart agriculture, yang meminimalisir dampak negatif pada tanah gambut. Kegiatan yang dilakukan antara lain adalah dengan memberikan edukasi Sekolah Lapang kepada petani untuk pemanfaatan lahan tanpa bakar dan penggunaan pupuk alami di tanah gambut yang asam dan peningkatan unsur hara alami tanah agar siap dimanfaatkan.

BRG juga terus mempopulerkan paludiculture, atau pertanian di lahan gambut atau lahan dengan air tergenang, kepada para petani lokal di lahan gambut menggunakan dua prinsip yaitu: mempertahankan dan memfasilitasi pembentukan gambut dengan tidak mengkonversi lahan gambut yang fungsi lindung; dan penggunaan spesies asli dengan lebih produktif untuk peningkatan ekonomi penduduk dan cadangan karbon.

Paludiculture yang dilaksanakan menghasilkan beberapa komoditas khas lahan gambut seperti padi rawa; ternak; perikanan “beje”; sagu; eco-tourism dan industry turunan. Paludiculture dinilai sebagai sistem pertanian yang sesuai dengan pemeliharaan ekosistem lahan gambut serta dapat memanfaatkan diversifikasi pangan menggunakan spesies asli lahan gambut. Paludiculture juga memberikan kontribusi untuk sumber penghasilan petani dan menekan kerusakan gambut dari kebakaran.

Kepala Badan Restorasi Gambut, Nazir Foead, menyatakan, upaya pelatihan petani krusial dalam proses restorasi ekosistem gambut Indonesia, dengan harapan petani memiliki kecukupan informasi untuk peningkatan produktivitas sambil menjaga ekosistem gambut tetap baik. Dengan pelatihan petani diharapkan pemanfaatan potensi ekosistem gambut menghasilkan berbagai macam sumber pangan yang dibutuhkan oleh Indonesia di masa depan.

Namun sebelum sampai ke titik para petani kecil di lahan gambut memiliki kedaulatan untuk dapat memproduksi mandiri kebutuhan pangannya dan bahkan menjadikannya komoditas ekonomi potensial, terdapat berbagai tugas restorasi ekosistem gambut yang perlu dilaksanakan oleh seluruh pihak terkait. Proses penggarapan lahan gambut secara berkelanjutan dinilai mahal sehingga petani yang tidak punya kekuatan modal dan tenaga yang cukup akan kesulitan untuk meningkatkan produktivitas. Karena itu dibutuhkan sinergi antara petani, pemerintah dan swasta dalam mengoptimalkan lahan gambut untuk kegiatan pertanian ini.

Dari faktor ekologis dan hidrologis, pihak terkait perlu menjaga tata kelola air gambut sehingga produktivitas pertanian dapat dipertahankan di musim kemarau. Ini tak terlepas dari fungsi kubah gambut sebagai penyimpan air . Kebakaran hutan dan lahan yang disengaja juga perlu ditindak tegas oleh pihak berwenang agar kegiatan ini tidak berulang dan menghindari kerugian para petani terdampak.

“Pemerintah akan memastikan infrastruktur pertanian di lahan basah termasuk lahan gambut dikelola dengan baik, sehingga petani dapat menjalankan perannya sebagai motor penggerak kebutuhan pangan bangsa Indonesia di masa yang akan datang,” Nazir mengakhiri penjelasannya.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved