My Article

Kontrak Sosial Perusahaan

Kontrak Sosial Perusahaan

Oleh: Ubaidillah Nugraha (Nelson Mandela-Sinan Wren Global Leader Fellow, Kandidat Doktor Kebijakan Publik Universitas Indonesia dan Dosen Tata Kelola Perusahaan Universitas Bina Nusantara)

Ubaidillah Nugraha

Bank Dunia, di awal tahun 2020 ini mengeluarkan laporan yang sangat relevan terhadap kondisi pandemik Covid-19. Laporan tersebut berbicara tentang “Aspiring Middle Class”, segmen kelas mayoritas di Indonesia (45%), tetapi menjadi salah satu bagian masyarakat yang mengalami dampak pandemi terbesar. Mereka sudah keluar dari garis kemiskinan tetapi belum bisa dikategorikan kelas menengah dan rentan terhadap krisis. Sebagian bekerja di luar rumah diantaranya petugas kebersihan, keamanan, pengendara ojek daring dan sejenisnya.

Laporan tersebut memberikan penekanan pentingnya kerjasama pemerintah dan perusahaan dalam mewujudkan kontrak sosial untuk melindungi segmen tersebut agar dapat melakukan mobilitas vertikal sekaligus memberikan proteksi sosial di tengah krisis. Mengapa penting untuk mengatakan bahwa perusahaan tidak terpisahkan dalam pemecahan persoalan sosial ini?.

Keterbatasan Pemerintah dan Hegemoni Perusahaan

Pertama, Keterbatasan fiskal pemerintah dalam mendukung progam proteksi sosial terjadi di banyak negara berkembang terutama yang memiliki hutang yang cukup signifikan (Murshed, Pulok, Badiuzzaman, 2017). Sebuah kondisi yang sering berkebalikan dengan fenomena hegemoni perusahaan berskala multinasional yang sangat ekspansif di berbagai negara. Netflix hanya perlu kurang dari 7 tahun untuk berekspansi ke 190 negara, begitu juga dengan perusahaan-perusahaan BUMN Cina. Kontradiksi ini telah membuat negara dan perusahaan berimbang “kekuatannya” secara geopolitik. Dalam catatan Global Justice Now (2018), 100 entitas terbesar dunia hampir 70% diisi oleh perusahaan, padahal 10 tahun yang lalu 70 persen pemilik sumberdaya keuangan terbesar justru masih berada di tangan negara. Tidak heran pendapatan Wallmart atau China National Petroleum bisa lebih besar dari pendapatan negara-negara seperti Swedia atau India. Melihat pertumbuhan yang ada, di masa depan perusahaan ditengarai akan semakin dominan sehingga berkepentingan untuk masuk dalam agenda kebijakan publik.

Kedua, dorongan bagi perusahaan untuk berubah telah datang dari berbagai front. Jurnal terkemuka, Harvard Business Review mempublikasikan edisi khususnya di awal 2020 yang melihat perlunya perusahaan saat ini didorong untuk merubah DNA-nya dari sekedar perusahaan beorientasi keuntungan dan menyisakan bagian dari keuntungan tersebut untuk kegiatan CSR menjadi perusahaan berjiwa aktivis yang memikirkan secara serius bagaimana ketimpangan sosial, perubahan iklim, akses kesehatan massal di dalam salah satu strategi utama perusahaan. Agenda perubahan sosial pun telah manjadi agenda utama UN Global Compact, sebuah platform konsolidasi perusahaan global, yang akan menyelenggarakan Leaders Summit bulan Juni 2020, mengumpulkan ribuan perusahaan untuk berpartisipasi mencari solusi bagi pandemi ini.

Penciptaan Nilai Bisnis dan Nilai Publik

Ketiga, dalam konteks global telah terjadi linieritas dalam melihat peran perusahaan dalam upaya memadukan nilai bisnis (business value) dan nilai publik (public value). Apakah itu di negara sosialis demokrat, negara kapitalis yang mengedepankan pasar atau negara kesejahteraan yang menjadikan masyarakat sebagai titik sentral pembangunan. Peran berbagi (sharing) perusahaan dan negara ini pun telah menjadi diskursus teoretikal yang cukup panjang di awal tahun 90-an sebelum masuk ke dalam ranah pengelolaan perusahaan saat ini.

Di negara-negara kapitalis, akademisi dariUniversitas Harvard, Mark Moore sejak tahun 1995 telah memperkenalkan konsep Public Value kepada pemerintah, lembaga swadaya masyarakat ataupun perusahaan dalam upaya masing-masing pihak mengoptimalkan kepentingan publik. Ditindaklanjuti oleh pakar manajemen Michael Porter di tahun 2011, yang mengajukan konsep Creating Shared Value (CSV) yang mencoba untuk mempertemukan antara keunggulan kompetitif perusahan dan pemecahan masalah-masalah sosial. Di negara kesejahteraan, peran perusahaan bahkan lebih jauh lagi dengan penerapan Public Value Scorecard untuk diadopsi secara integral di dalam perusahaan. Apapun namanya, perusahaan didorong membuat kontrak sosial yang signifikan dengan masyarakat, lebih dari sekadar tanggung tanggung sosial (CSR).

Pelajaran dari Pandemi

Argumen-argumen di atas menguatkan justifikasi betapa peran perusahaan dapat menjadi ‘last resort’ bagi kepentingan nasional terutama di saat krisis. Contoh terdekat adalah BUMN dana pensiun Norwegia, salah satu lembaga investasi terbesar di dunia. Lembaga ini membuktikan bagaimana perusahaan berhasil menjadi palang pintu terakhir kepentingan negara seperti yang telah mereka janjikan dalam visi misinya. Seandainya Norwegia mengalami krisis, BUMN ini akan melakukan dukungan penuh bagipemerintah dalam mempertahankan tingkat kesejahteraan masyarakat. Janji itu dibuktikan dengan penarikan dana terbesar dalam sejarah perusahaan tersebut di awal bulan Mei 2020, sekitar 37 Milyar Euro dikeluarkan dari portolio pengelolaan aset atau 90 persen dari dana yang harus disiapkan pemerintah untuk menganggulangi wabah Covid-19.

Belajar dari situasi pandemik saat ini, sebaiknya memang pemerintah dan perusahaan di seluruh dunia termasuk Indonesia bersenyawa secara terstruktur dalam memenuhi kontrak sosialnya kepada masyarakat. Semua pihak harus benar-benar menjadikan Covid-19 ini sebagai proses kolaborasi besar untuk pemulihan dan proses pembelajaran dalam mengantisipasi pandemi-pandemi berikutnya. Sebab kalau tidak, kutukan filsuf berpengaruh abad 20, George Santayana bahwa “mereka yang tidak belajar dari sejarah akan dipaksa untuk mengulanginya”, sungguh akan sangat menyesakkan dada.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved