Warung Telkom, Proyek "Bandung Bondowoso" ala Divre II
Boleh jadi, pengusaha wartel (warung telekomunikasi) yang mendengar berita ini bertanya-tanya: Proyek wartel apa lagi ini? Bukankah sekarang populasinya sudah amat banyak? Menurut Sumilan, Kepala Divre II, salah satu alasan kuat pihaknya membangun 1.000 Warung Telkom — istilah yang akan dipakai untuk gerainya — justru karena ingin memperbaiki citra wartel yang belakangan makin redup. “Kondisi usaha wartel sekarang berbeda dari sebelum krisis yang punya gengsi sangat tinggi,” katanya. Maklum, setelah krismon wartel langsung menjamur. Saat ini, terdapat sekitar 30 ribu wartel di seluruh Jakarta. Namun, diakui Sumilan, meredupnya bisnis wartel juga karena perkembangan bisnis telekomunikasi seluler yang amat pesat. Karena perkembangan seperti inilah, Sumilan yang baru beberapa waktu lalu menduduki posisi Kadivre II Jakarta — menggantikan Bajoe Narbito yang menjadi Dirut Telkomsel — mengaku segera menggagas proyek Seribu Warung Telkom ini.
Sumilan memastikan, konsep Warung Telkom berbeda dari konsep wartel yang sudah ada. Dia menyatakan, Warung Telkom nantinya menjual berbagai produk Telkom dan anak usahanya. “Warung Telkom merupakan gerai atau kepanjangan tangan Telkom dengan layanan yang lebih beragam,” Sumilan menjelaskan. Artinya, Warung Telkom tak lagi hanya menyediakan jasa panggilan, melainkan menyediakan pula jasa pemasangan sambungan baru, pembayaran tagihan, penjualan produk Telkom Global 017, dan produk serta layanan lainnya dari Grup Telkom.
Selain perbedaan layanan, ditambahkan Sumilan, bentuk Warung Telkom juga akan distandarkan. Nantinya, di sebuah Warung Telkom, misalnya, harus tersedia minimal empat KBU (kamar bicara umum), dan ukuran gerainya seperti ruko dua tingkat. Sehingga, layak sebagai gerai yang menjual aneka produk Telkom. Di samping itu, lokasinya mesti strategis dan kondisi fisik bangunannya memadai.
“Nantinya dari setiap jasa yang ditawarkan ke pelanggan, pengusaha Wartel memperoleh fee,” kata Sumilan. Bagaimana perhitungannya? “Akan diatur kemudian,” katanya setengah mengelak. Sumilan memberi gambaran, harga jual layanan percakapan Telkom ke mitra pengelola hanya 70%. Nah, mitra pengelola Warung Telkom diberi hak menjual hingga maksimum tarif yang berlaku (100%).
Hingga akhir Mei 2003, dari 8 Kandatel (Kantor Daerah Telekomunikasi) yang ada di Divre II, Sumilan menargetkan bisa berdiri sekitar 100 Warung Telkom. Masing-masing Datel, diharapkan menyumbang 10-20 unit Warung Telkom, yang nantinya menjadi Warung Telkom percontohan. Jika proyek ini sukses, katanya lagi, dilanjutkan sampai 1.000 unit pada akhir 2003.
Menanggapi kehadiran proyek Seribu Warung Telkom, Srijanto Tjokrosudarmo, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia (APWI), menilai upaya reposisi bisnis wartel oleh Telkom Divre II ini sebagai langkah yang tepat untuk mengantisipasi persaingan yang semakin ketat di bisnis telekomunikasi, “Sekarang, hampir semua perusahaan telekomunikasi seperti Indosat dan Ratelindo sudah punya wartel. Jadi, mau tidak mau Telkom mereposisi wartelnya, agar mampu bersaing dan memberi layanan terbaik kepada pelanggan,” Srijanto menegaskan. Terlebih, upaya Telkom ini menurut Srijanto juga sejalan dengan upaya APWI dan Departemen Perhubungan RI membuat standar pelayanan telekomunikasi.
Namun, Srijanto mengingatkan, meskipun Warung Telkom adalah milik Telkom, seyogyanya Telkom tidak membatasi akses. “Tidak perlu ada pemblokiran layanan telekomunikasi yang diselenggarakan pihak lain. Ini kan kompetisi, biar saja pelanggan yang memilih layanannya sendiri,” katanya setengah menyindir polah Telkom selama ini. Diingatkan Srijanto pula, agar pengelolaan wartel gaya baru ini tetap mengacu pada Kepmen No.46/2002 — salah satu pasalnya mengatur tentang larangan pembatasan akses.
Srijanto mengaku sepakat, jika proyek ini berjalan sesuai dengan yang direncanakan, citra wartel yang selama ini meredup secara otomatis bisa terdongkrak naik, “Hanya saja, dari beberapa Warung Telkom yang sudah dibangun, belum sepenuhnya sesuai dengan kriteria,” katanya mengkritik. Srijanto juga menilai langkah Divre II menargetkan pembangunan 1.000 gerai dalam setahun sebagai hal yang berlebihan. “Betulkah mereka mampu merealisasi,” ia bertanya. Nah, kita tunggu saja.