Strategy

Strategi Industri Farmasi Cetak Laba di Masa Pandemi

Perusahaan farmasi milik negara tak mau melewatkan momentum pandemi untuk memperbaiki kondisi keuangan perusahaan. PT Indofarma Tbk misalnya memilih mengubah fokus produksi untuk meraih tambahan pendapatan.

Direktur Utama Indofarma, Arief Pramuhanto, menyatakan pendapatan perusahaan selama paruh pertama 2020 ditopang penjualan alat kesehatan yang berkaitan dengan Covid-19. “Kontribusinya sudah sekitar 50 persen,” kata dia kepada Tempo, Senin 3 Agustus 2020.

Pada tahun lalu, bisnis farmasi mendominasi kontribusi pendapatan perusahaan. Namun saat ini kinerja positif hanya dialami produk farmasi yang berkaitan dengan Covid-19, salah satunya Oseltamivir.

Arief berencana terus meningkatkan kontribusi alat kesehatan hingga akhir tahun nanti. Dia menargetkan lini bisnis mampu menopang penjualan hingga 30 persen. Salah satunya dengan memproduksi alat rapid test sendiri pada akhir Agustus mendatang setelah selama ini mengimpor alat tersebut dari Cina dan Korea Selatan.

Perusahaan mampu memproduksi 300 ribu alat per bulan. “Untuk September kami akan siapkan PCR dan reagennya juga akan kami produksi sendiri,” katanya.

Emiten berkode INAF ini juga menyiapkan alat telemedicine yang dapat membantu masyarakat mendapatkan informasi mengenai kebutuhan vitamin dan nutrisinya.

Arief menyatakan perusahaan bekerja sama dengan PT Kimia Farma Tbk untuk menempatkan alat tersebut di outlet mereka. Tahap awal alat ini akan disebar di sekitar 15 outlet di Jakarta. Arief menargetkan menggandeng peritel farmasi lain untuk bekerja sama ke depannya.

Dengan strategi tersebut Arief optimistis perusahaan dapat memperbaiki kondisi keuangannya. Dia mengklaim kondisi perusahaan sudah membaik di semester I 2020. “Periode yang sama tahun lalu kami rugi sekitar Rp 24 miliar, sekarang minus Rp 4 miliar,” ujarnya.

Sementara itu PT Kimia Farma Tbk menyiapkan sejumlah strategi untuk membukukan laba tahun ini selain melanjutkan produksi baik obat maupun alat kesehatan terkait Covid-19 yang melonjak permintaannya.

Strategi lainnya mulai dari transformasi ritel, meningkatkan keberagaman produk dan portofolio, mengoptimalikan rantai pasok, hingga memanfaatkan teknologi digital. Direktur Keuangan Kimia Farma, Pardiman, menyatakan strategi ini terbukti ampuh.

“Pada triwulan pertama kami membukukan Rp 160 miliar laba usaha dan ini akan terus bertambah seiring bertambahnya waktu,” kata dia.

Pardiman menyatakan perusahaan mengalokasikan Rp 547 miliar belanja modal untuk menjalankan strategi tersebut. Hingga akhir Juni, sekitar 54 persennya telah diserap. Dana dari kas perusahaan itu antara lain akan digunakan untuk pengembangan apotek, klinik, laboratorium klinik, dan pengembangan fasilitas bahan baku obat serta produksi.

Sekretaris Perusahaan PT Bio Farma, Bambang Heriyanto, menyatakan paruh kedua tahun ini perusahaan masih mengandalkan ekspor vaksin untuk menopang pendapatan. Di awal tahun ekspor vaksin sempat tersendat lantaran sejumlah negara melakukan pembatasan wilayah. Namun kondisinya semakin membaik saat ini.

Bambang menyatakan pasar ekspor masih lebih baik dibandingkan domestik di semester I. “Program dengan pemerintah kami ada penurunan, karena pemerintah juga fokus ke penanganan Covid-19,” ujarnya. Namun saat ini sejumlah kontrak pengadaan vaksin untuk program pemerintah mulai berjalan kembali.

Sama seperti kedua anak usahanya, Bio Farma juga pendapatan dari penjualan alat kesehatan. Induk holding farmasin ini tengah bersiap meningkatkan kapasitas produksi alat test Real Time Polymerase Chain Reaction untuk Covid-19 menjadi 2 juta unit per bulan pada September mendatang. Saat ini kapasitasnya hanya 240 ribu unit.

Sumber: Tempo.co


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved