Management Trends

Strategi Menekan Praktik Suap di Indonesia

Esther Roseline, Pendiri Kontrakmu.com pada webinar 2020 ACFE Fraud Conference Asia Pacific yang digelar oleh Association of Certified Fraud Examiners pada 24-25 September 2020

Suap menjadi isu yang hingga kini menjadi pekerjaan rumah besar bagi negara ini. Salah satu bagian dari tindak korupsi ini meningkat angkanya pada 2019.

Mengutip data ICW (Indonesia Corruption Watch) seperti diungkap Wanna Alamsyah, Peneliti dari ICW, sepanjang tahun 2019 suap paling dominan dilakukan tersangka korupsi dengan nilai Rp 169,5 miliar atau sebanyak 51 tindak pidana. Jadi pola korupsi pejabat Indonesia menurut data ICW didominasi suap.

Inilah yang menjadi perhatian Esther Roseline, Pendiri Kontrakmu.com pada webinar 2020 ACFE Fraud Conference Asia Pacific yang digelar oleh Association of Certified Fraud Examiners pada 24-25 September 2020 sebagai salah satu pembicara. Bisa dibilang, Ester adalah pembicara termuda di gelaran dunia tersebut. Para praktisi dan pemerhati fraud dari berbagai negara menyampaikan makalahnya, tentunya, sesuai dengan latar belakang masing-masing.

“Iya, puji Tuhan, saya yang termuda sebagai pembicara di sana. Dan diinfokan bahwa yang pertama kali mewakili Indonesia Indonesia juga,” ujarnya. Menurutnya, sebelum menyampaikan makalah, ia harus membuat proposal, mengajukan ide apa yang ingin disampaikan, dan menyampaikan pengalaman atau profil pribadi.

“Mengapa suap yang menjadi fokus. Karena ini menjadi pressing issue worldwide sebenarnya, bukan hanya indonesia. Suap adalah salah satu bentuk fraud yang paling merajalela di sektor mana pun. Bukan saja di negara kita, tapi juga di seluruh penjuru dunia. Suap ini mempengaruhi juga cost of doing business jadi meningkat dengan ada ada miss alocation resources karena suap,” paparnya.

Alokasi yang tidak semestinya dari sumber daya perusahaan atau lembaga karena suap ini, lanjut Esther pada ujungnya merugikan masyarakat secara luas. Karena uang yang seharusnya digunakan untuk hal-hal produktif, harus digunakan untuk sesuatu yang tidak seharusnya. Maka itulah dalam makalah yang disampaikan Esther pada acara tersebut ia mengambil tema: The Power of an Anti-Bribery Management System: A Case Study.

Ia menjelaskan strategi anti suap yang pertama adalah dimulai dengan engage dengan para petinggi di organisasi tertentu. “Mereka yang berada di top level harus punya komitmen yang penuh. Dan kita harus bisa meyakinkan mereka tentang benefit strategi anti suap. Bahwa menerapkan sistem anti suap tidak hanya memberatkan organisasi – memang sulit pada awalnya – tapi in the long run akan sangat benefit organisasi tersebut,” paparnya.

Dengan duduk bersama, berada di ‘sepatu yang sama’, menyadari yang menjadi kesulitan-kesulitan di organisasi tersebut, dalam pandangan Esther aka bisa menyakinkan mereka, bahwa menerapkan strategi anti suap sangat menguntungkan organisasi dan tidak memberatkan mereka.

“Organisasi yang bersih dan memiliki budaya berintegritas akan mampu secara signifikan meningkatkan value nya – tentunya akan menjadi profitable dalam jangka panjang,” katanya. Bukan hanya di level atas, saran Esther harus juga membangun engagement dengan level di bawahnya, karena percuma jika di atas sudah ada komitmen anti suap, tapi level di bawah tidak bisa menangkapnya apa yang menjadi komitmen atasannya.

“Kita harus punya satu bahasa yang sama, kita memahami dan mitigasi risiko ke depan kalau suap tetap terjadi di negara ini,” tandasnya. Untuk itu harus mempelajari lingkungan dan budaya yang ada di organisasi, agar mendorong policy atau kebijakan anti suap diterapkan. Budaya dalam organisasi memang harus dipelajari, apa yang berlaku di lapangan, karena kerap kali kebijakan tidak sesuai dengan yang terjadi atau seperti apa yang dilakukan di lapangan.

“Kebijakan anti suap harus sesuai dengan bahasa mereka, jangan yang mengawang-awang. Maka itu, penting melakukan engagement ini kita perlu berkomunikasi dengan proper dengan para top level tersebut, memahami concern mereka, putting ourselves in their shoes, menjadi relatable dengan mereka, sangatlah penting,” terangnya.

Tujuan dari sebuah sistem adalah bukan sistem itu sendiri, tandas Esther, tapi bagaimana menerapkan budaya yang baik. “Zero tolerance to Bribery atau tidak ada toleransi pada apa pun bentuk suap harus menjadi budaya dalam organisasi,” imbuhnya. Maka itulah assessment outcome harus dilakukan baik itu kualitatif maupun kuantitatif.

Target yang ingin disampaikan Esther dari makalahnya adalah komunitas bisnis mewakili garis depan dalam perang melawan korupsi dan pencucian uang. Sebagai tanggapan terhadap kerangka hukum yang berkembang dan tekanan masyarakat yang semakin meningkat, perusahaan harus meningkatkan kebijakan tata kelola perusahaan dan menerapkan program kepatuhan yang komprehensif. Tindakan tersebut tidak hanya membantu perusahaan untuk meminimalkan tanggung jawab mereka dan mempertahankan kewajiban jangka panjang, tetapi juga untuk pada akhirnya melindungi reputasi mereka.

Dia ingin pelaku usaha menyadari peran mereka sebagai frontline di pertempuran melawan suap, korupsi, fraud, dan money laundering. “Problemnya adalah bagaikan siklus demand dan supply yang terus mengikat, istilahnya tidak akan ada yg meminta suap jika tidak ada yang mau memberikan, juga sebaliknya. Jadi, kita perlu sadar bahwa kita bukan hanya “korban”, kita juga bisa berbuat sesuatu untuk memutus rantai ini,” jelasnya.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved