Dua Sekawan Kibarkan GeekHunter
Maraknya perusahaan berbasis teknologi membuat kebutuhan akan programmer meningkat tajam. Profesional di bidang teknologi informasi (TI) laku keras. Namun, masih banyak perusahaan yang mengeluh sulit menemukan profesional TI yang tepat, seperti software engineer dan product manager.
Keadaan itu mendorong Ken Ratri Iswari dan Yunita Anggraeni, dua mojang Priangan, mendirikan perusahan startup TI konsultan rekrutmen GeekHunter. Diambil dari kata “geek” yang berarti kutu buku, Ken dan Anggra berharap nama pilihan mereka itu dapat menggambarkan seseorang yang bekerja sebagai programmer.
GeekHunter didirikan pada Juli 2013, dan secara resmi diluncurkan pada April 2015. Menurut Ken, ia mencoba membantu mencari talenta di bidang TI untuk 160 lebih perusahaan berbasis teknologi di Indonesia, Singapura, Malaysia, Korea Selatan, dan Australia. Sektor perusahaannya bermacam-macam, antara lain e-commerce/marketplace, financial technology (fintech), bank, telekomunikasi, logistik, software as a service (SAAS), software house, health technology, online travel agent, online streaming, media, communication platform, dan agritech.
“Kami juga membantu untuk menemukan karier yang lebih bermakna. Secara tidak langsung, kami membantu perusahaan dan membantu individunya juga,” Anggra menjelaskan.
Awal berdiri perusahaan bermula dari Ken yang bekerja untuk startup incubator asal Denmark, Contenga International (sekarang berganti nama menjadi Liv.it). Ken yang saat itu menjabat sebagai Manajer Human Capital bertugas merekrut tenaga kerja khusus di bidang TI. Dari situlah, ia melihat kebutuhan akan tenaga kerja di bidang TI tergolong besar. Banyak perusahaan, terutama startup di bidang teknologi, yang mempunyai kesulitan untuk merekrut tenaga kerja di bidang TI.
Sejak itu, Ken sangat serius menggeluti rekrutmen di bidang TI, hingga akhirnya mendirikan GeekHunter. Ketika proyek rekrutmen mulai berdatangan dan ada proyek rekrutmen di bidang games technology, ia lalu mengajak Anggra, yang sebelumnya merupakan Manajer PR Agate Studio, untuk bergabung sebagai co-founder dan COO Geekhunter.
“Kami tahu banyak tenaga kerja khusus di bidang TI dan kami juga memiliki kapabilitas untuk bisa membantu perusahaan-perusahaan mendapatkan tenaga TI yang sesuai dengan kebutuhan mereka,” perempuan kelahiran 18 Juli 1986 itu mengatakan.
Saat ini, walaupun ada banyak investor yang melirik GeekHunter, pihaknya masih fokus untuk bootstrapping, proses mendirikan startup, tanpa ada bantuan pendanaan dari investor ataupun pemodal ventura. Sebab, belum memiliki kebutuhan dana yang substansial sehingga belum memutuskan mengambil pendanaan. “Akan tetapi ke depannya, kami tidak menutup kemungkinan jika sewaktu-waktu seiring dengan tumbuhnya perusahaan akan membutuhkan pendanaan,” kata Ken sambil menambahkan, per Agustus 2020 timnya beranggotakan 18 orang.
Layanan utama GeekHunter bagi klien adalah jasa rekrutmen (headhunting service) untuk posisi TI. Yang pertama, rekrutmen untuk profesi terkait pemograman dan software engineering, seperti backend developer, frontend developer, fullstack developer, dan mobile developer. Kedua, profesi terkait data, seperti data engineer dan data scientist. Ketiga, profesi terkait produk dan desain, seperti manajer produk dan desainer UI/UX. Keempat, profesi terkait artificial intelligence (AI) dan cloud computing. Kelima, profesi terkait infrastruktur dan keamanan.
Tentang strategi memasarkan layanan GeekHunter, Ken menjelaskan, sejak awal berdiri perusahaannya selalu aktif membangun tech talent ecosystem di Indonesia. Contohnya, turut andil dalam mendirikan komunitas terkait TI dan menjadi advisor untuk beberapa komunitas TI di Indonesia, salah satunya Female Geek. Juga, berkolaborasi dengan komunitas TI di Indonesia dalam penyelenggaraan kegiatan sebagai community partner, yaitu menjadi partner dalam penyelenggaraan berbagai kompetisi, di antaranya hackathon.
Yang lain, GeekHunter membantu program pendidikan TI dan bekerjasama dengan pemerintah, universitas, organisasi tingkat dunia, dan instansi swasta untuk memberikan masukan terkait kurikulum TI berdasarkan kebutuhan perusahaan. GeekHunter juga aktif sebagai pembicara di berbagai event yang berhubungan dengan TI.
Selain itu, GeekHunter pun aktif melakukan berbagai program CSR, seperti speed hiring interview untuk tenaga kerja terdampak Covid-19 (yang terkena PHK), membantu perusahaan yang mem-PHK-kan karyawan (tenaga TI) untuk membantu mencarikan pekerjaan, serta memberikan pelatihan gratis yang terkait karier, seperti pelatihan membuat CV, wawancara, dan mengembangkan karier.
Tantangan yang dihadapinya saat ini, pertama, keadaan yang tidak terduga (Covid-19) yang menyebabkan adanya penurunan permintaan tenaga kerja, khususnya di bidang TI. Memang, menurut riset Bank Dunia, Indonesia akan kekurangan 9 juta talenta TI di 2030, dan pada awal 2020 (sebelum ada pandemi Covid-19) permintaan tenaga kerja TI bertambah hingga hampir tiga kali lipat. Namun, semenjak adanya wabah, banyak perusahaan yang terdampak sehingga menghentikan aktivitas rekrutmen untuk sementara dan melakukan PHK.
Di sisi lain, karena adanya pandemi Covid-19, semua bisnis “dipaksa” go digital, sehingga sebetulnya peluang yang ada sangat besar. Artinya, kebutuhan akan talenta TI semakin bertambah dan tidak lagi hanya dari perusahaan di bidang teknologi.
Tantangan kedua, mulai banyak kompetitor yang masuk ke bidang ini dan perusahaan general recruitment mulai melirik bidang TI. “Kami memang menjadi pionir untuk jasa ini. Jadi, nama GeekHunter sekarang jadi term untuk merujuk perusahaan recruitment agency IT talent, ” ungkap Ken.
Ia membandingkan, kekuatan kompetitor pada platformnya, sedangkan kekuatan GeekHunter pada personal relationship-nya, baik ke kandidat TI maupun ke klien/perusahaan user. “Kami mengistilahkannya dengan hiper-personalitation. Karena kan kalau zaman sekarang, semua yang dikerjakan lewat komputerisasi dan telekomunikasi itu kan sudah bisa dibikin template-nya, bisa diotomatisasi. Jadi, lebih mengenal ke orangnya, bukan hanya teknologinya,” Ken menjelaskan.
Kemudian, biasanya recruitment agency rata-rata hanya melihat dari satu sisi, misalnya kebutuhan klien adalah mencari developer. Mereka seperti memasukkan spesifikasi syaratnya yang umum, sesuai dengan kemauan klien saja. Sementara dari sisi calon talentanya, tidak didekati/dikenali. “Nah, kami mencoba untuk mengenali keduanya, baik klien maupun kandidat talenta TI itu,” kata lulusan S-1 dan S-2 dari Institut Teknologi Bandung itu.
Selanjutnya, sebagaimana bisnis pada umumnya, orang akan fokus membangun brand awareness. Itu juga yang dilakukan GeekHunter, dengan lebih banyak hadir dan sharing di dalam ekosistem TI dan komunitas TI. “Sementara kompetitor kami tidak terlalu banyak reach out ke komunitas-komunitas,” ucapnya.
Saat ini pihaknya sedang membangun platform bernama GeekSpace, tech talent ecosystem platform. Melalui GeekSpace, talenta TI bisa membaca artikel tentang TI atau karier di bidang TI, mencari event terkait TI, mencari kursus terkait TI, juga mencari pekerjaan. (*)
Dede Suryadi dan Arie Liliyah