Holistic Strategic Model, Upaya Garudafood Jalankan Bisnis Berkelanjutan
Baru-baru ini PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk. (Garudafood) telah menyelesaikan proses akuisisi 55% saham produsen Prochiz, PT Mulia Boga Raya Tbk. (MBR), senilai Rp 953,7 miliar. Manajemen Garudafood menyebut langkah akuisisi ini sebagai upaya perusahaan untuk mengembangkan usaha dan memperluas jaringan usaha, serta memperkuat posisinya di industri makanan dan minuman.
Hardianto Atmadja, CEO PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk., menjelaskan, tujuan akuisisi MBR, yang utama adalah konsolidasi laporan keuangan MBR dengan Garudafood. Langkah ini akan memperbaiki profit, total top sales, dan EBITDA perusahaan. Selain itu, manajemen juga ingin melakukan sinergi bisnis dan strategi komplementer untuk pengembangan Garudafood.
Dalam hal ini, Garudafood menerapkan Holistic Strategic Model, agar bisnis berkelanjutan, dengan memperhatikan tiga hal. Pertama, Best Value; ini terkait produk dan harga. Kedua, Best Brand; langkah akuisisi ini harus menambah kekuatan merek-merek perusahaan dengan kode saham GOOD ini. Ketiga, Network, Prochiz bisa memanfaatkan jaringan distribusi PT Sinar Niaga Sejahtera (SNS, distributor produk Grudafood) yang kuat untuk menambah kekuatannya di pasar, baik domestik maupun ekspor. Hardianto sempat menyebutkan, karena penjualannya yang tinggi, Gery Malkist Cheese mendapat penghargaan dari Daiso Korea, tanpa promosi hanya dengan kekuatan produk.
Menurut Hardianto, saat ini Garudafood memiliki empat pabrik makanan dan minuman yang berlokasi di Pati (dua pabrik), Gresik, dan Rancaekek. Juga ada delapan pabrik OEM yang berlokasi di Solo, Gresik, Cikarang, Sidoarjo, Kediri, Jombang, Yogyakarta, dan Bogor. Jaringan distribusi dan penjualan Garudafood di bawah SNS terdiri dari 130 depo, 140-an subdistributor dan agen, serta lebih dari 360 ribu pelanggan aktif (data per September 2020). Untuk bisnis internasional, Garudafood telah mengekpor produk ke 26 negara di seluruh dunia, tetapi fokus utamanya pasar ASEAN, China, dan India.
Produk Garudafood ada 106 SKU, yang terdiri dari produk kacang, pilus, keripik, biskuit, minuman susu, minuman cokelat, dan confectionary. Garudafood mengelola lima merek utama, yaitu Garuda, Gery, Chocolatos, Leo, dan Clevo.
Untuk produk internasional, produk heritage kacang menggunakan merek Garuda, tetapi di luar itu semua menggunakan merek Gery. Hanya di India yang menggunakan merek Gery Gone Mad.
Diakui Hardianto, sepanjang masa pandemi hingga kuartal ke-2 2020 penjualan Garudafood turun Rp 358 miliar dibandingkan kuartal ke-2 2019. Tahun lalu penjualan Garudafood tercatat Rp 4.272 miliar, sedangkan tahun ini pada periode yang sama Rp 3.914 miliar.
Hal itu berimbas pada laba bersih yang dicetaknya pada kuartal ke-2 2020, yang turun 49,77%, atau setara dengan Rp 114 miliar penurunannya. Pada kuartal ke-2 2019 laba bersih Garudafood mencapai Rp 229 miliar, sedangkan pada periode yang sama tahun ini tercatat Rp 115 miliar. “Kami berharap Q3 dan Q4 akan membaik kondisinya. Namun, dengan kondisi masih pandemi, kinerja tidak akan setinggi tahun lalu,” ujarnya realistis.
Hardianto menjelaskan, perusahaan saat ini menghadapi tiga tantangan besar: pandemi Covid-19, pergeseran perilaku, dan kondisi perekonomian yang belum stabil. Strategi yang dijalankan Garudafood untuk menghadapinya, pertama, mengamankan karyawan dengan menyediakan tempat kerja yang aman dan nyaman, seraya mengedukasi karyawan untuk tetap menjaga protokol kesehatan, baik di lingkungan kantor maupun di rumah.
Kedua, menciptakan terobosan baru dalam meningkatkan penjualan. Jadi, Garudafood mendorong inovasi baru, baik di kanal distribusi, segmen, maupun produk baru. Ketiga, melakukan efisiensi, contohnya saving cukup besar dirasakan karena selama pandemi tidak ada dinas luar kota dan luar negeri. Keempat, open collaboration untuk menghasilkan produk-produk inovatif yang berkualitas.
Langkah kolaborasi sebenarnya sudah lama dilakukan Garudafood dengan partner-partner sebelumnya. Antara lain, dengan Hormel (khusus produk non meat), Suntory (khusus produk non-alkohol), dan Falcon, Garudafood melakukan joint venture tetapi posisinya minoritas. “Kalau Hormel terkenal dengan produk-produk meat, semua daging, tetapi di Indonesia, join venture dengan kami untuk produk peanut butter, yaitu Skippy,” katanya.
Hardianto menambahkan, secara business value Garudafood tidak bisa masuk ke produk dengan bahan alkohol dan daging. Untuk Falcon, kerjasama merek untuk Dilan dan Warkop. Kolaborasi dengan Barry Callebaut ini terkait bahan baku cokelat untuk biskuit Garudafood. Adapun dengan General Mills, berkolaborasi bahan baku untuk Garuda O’Corn. Terakhir, di tahun ini, seperti disebutkan di atas, Garudafood mengakuisisi 825 juta lembar (55%) saham MBR.
“Produk yang dihasilkan, pada 2020 ada Garuda Potato yang merupakan produk top di Korea dan Jepang yang juga merupakan produk kolaborasi. Dengan General Mills, ada Garuda O’Corn. Keduanya merupakan produk eksklusif kami dengan brand Garuda, yang bahan bakunya kami peroleh dari General Mills,” kata Hardianto. Ia kemudian menyebut produk di bawah Hormel, yaitu Skippy. Adapun untuk Suntory Beverage & Food, ada merek Goodmood, Okky Jelly, dan Mountea.
Terkait teknologi kecerdasan buatan (AI), kata Hardianto, Garudafood menerapkannya pada area kunjungan pabrik mereka di Gresik, Jawa Timur, yang diluncurkan tahun 2019, yaitu Gery X-Quest. Jadi, kalau masuk ke sana, seperti naik roller coaster sungguhan. Namun, sejak April layanan ini ditutup karena pandemi.
“Nah, di proses produksi juga sebenarnya sudah pakai teknologi AI, tapi tidak semua proses. Misalnya, proses pengolahan susu, ada di satu kontrol, ini ada di main control dan bisa dikontrol di ponsel manajer pabrik, begitu juga di pabrik biskuit,” kata Hardianto. Ke depan, pabrik-pabrik Garudafood, terutama yang baru, menuju teknologi industri 4.0. Namun, dengan adanya pandemi, perusahaan harus menahan pengembangan ini dulu.
Pabrik Barry Callebaut yang ada di dalam pabrik biskuit Garudafood yang berada di Gresik dan Rancaekek, dikatakan Hardianto, sudah menggunakan AI. Sewaktu melakukan kunjungan ke sana, Desember 2016, Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto sempat berkomentar bahwa ini the real industry 4.0 for food yang ada di Indonesia. “Sebenarnya itu teknologinya Barry Callebaut yang dipasang di dalam pabrik Garudafood yang in line,” ungkap Hardianto.
Sebagai perusahaan yang berawal dari perusahaan keluarga di Pati, sebuah kota kecil di Jawa Tengah, yang kemudian menjadi perusahaan besar berskala nasional, Hardianto menyadari bahwa founding father Garudafood menginginkan perusahaan ini terus tumbuh besar dan melakukan pembenahan dan konsolidasi internal secara terus-menerus di R&D, pengembangan produk, dan pabrik. Semua ditingkatkan ke teknologi yang lebih baik.
Maka, demi mencapai tujuan perusahaan keluarga menjadi perusahaan modern nasional, lalu menjadi public listed company dan next-nya Garudafood menjadi pemain regional, Hardianto turut menyiapkan Garudafood Visi 2023. “Kami ingin menjadi pemain kuat dan besar di regional,” ujarnya tandas.
Diakui Hardianto, pandemi Covid-19 memang sedikit mengganggu skenario untuk memenangi pasar regional di 2023. Baginya, itu tidak menjadi masalah. Yang penting, ia menegaskan, menjadi pemain regional bukan sekadar produknya dibeli masyarakat Indonesia di luar negeri, tetapi menjadikan masyarakat lokasi tujuan ekspor membeli produk Garudafood. “Keseriusan kami jalankan menuju ke sana, maka, tidak mengherankan, Gery bisa mendapat penghargaan dari Daiso Korea,” katanya.
Hardianto menjelaskan, visi menuju pemenang di regional pada 2023 memiliki tiga pilar yang menjadi kekuatannya, yaitu pilar Domestik, pilar Internasional, dan pilar M&A. Namun pada pilar M&A, Garudafood tetap fokus pada FMCG, tidak akan melebar ke resto atau personal care (handsanitizer, walau sekarang sedang booming), misalnya. Belum ada arah ke sana.
Diakui Hardianto, langkah joint venture dengan Suntory memengaruhi langkah Garudafood dalam pengembangan beverages (minuman) di pasar domestik. Saat ini porsi produk makanan Garudafood lebih dominan daripada minumannya.
“Ada beberapa yang kami bisa main, yang pasti susu masih bisa. Dulu sebelum kami joint dengan Suntory, susu termasuk produk minuman kami, tetapi di definisi Suntory, susu tidak termasuk minuman, jadi susu dan turunannya kami bebas, likuid ataupun powder. Di masa pandemi, susu ini bagus perkembangannya, karena persepsinya health product, jadi pasarnya besar,” paparnya.
Setelah joint dengan Barry Callebaut, Garudafood menghadirkan minuman cokelat, selain untuk makanan dengan rasa cokelat. Pernah juga mengembangkan produk kopi, tetapi kurang bagus respons pasarnya; saat ini masih ditahan. Untuk minuman, kategorinya luas memang. Namun, untuk AMDK dan teh, ini areanya joint venture Garudafood-Suntory. Jadi, kalau produk minuman ini akan dikembangkan, harus dibicarakan dengan mereka.
Tentang pergesaran ke e-commerce saat ini selama pandemi, menurut Hardianto yang lulusan ITB ini, persentase penjualan Garudafood di digital memang belum besar. Namun, Garudafood sudah lebih dulu mengembangkan kanal digital sejak sebelum pandemi, misalnya www.ultahku.com, situs penjualan online bingkisan ulang tahun dengan produk-produk Garudafood. Karena pergerakannya tidak cepat, Garudafood mengambil kombinasi dengan direct selling.
Setelah ada beberapa langkah kolaborasi dan akuisisi yang dilakukan Garudafood, Hardianto belum bisa menyampaikan lebih detail arah pengembangan merek dan pengembangan produknya. Yang jelas, saat ini, terutama setelah mengakusisi MBR, ada tujuh merek yang berada di bawah Garudafood; bertambah Top Chiz dan Prochiz. Kedua merek di bawah MBR itu target segmennya berbeda, Top Chiz menengah-bawah, sedangkan Prochiz menengah-atas.
Hardianto menjelaskan, Garudafood me-review merek setiap lima tahun. Contohnya, merek Garuda, yang sejak dulu untuk merek kacang. Kemudian, perusahaan melakukan uji coba menggunakan merek Garuda untuk produk pilus sejak puluhan tahun lalu. Ternyata, berhasil dan menjadi posisi pertama untuk kategori pilus.
Tahun ini, Garuda digunakan untuk merek produk snack. Kalau ini berhasil, berarti Garuda bisa menjadi snacking heritage Indonesia. Lalu, Chocolatos, awalnya untuk wafer stick, sukses luar biasa. Kemudian, dikembangkan menjadi berbagai produk cokelat, termasuk minuman. “Kami bersyukur, Garudafood masuk ke minuman bubuk cokelat dengan merek Chololatos, dan berhasil luar biasa. Saat ini market share Chocolatos nomor satu,” kata Hardianto.
Paulus Tedjosutikno, Direktur Garudafood, menjelaskan bahwa MBR merupakan entitas berbeda walau pihaknya sudah mengakuisisi. Selain itu, MBR merupakan perusahaan terbuka sehingga dikelolanya sebagai perusahaan berbeda.
“Kami, sebagai pengendali MBR, di awal perlu memastikan bahwa operasional MBR mulus dan lancar. Tantangan akuisisi dengan perbedaan budaya dan perbedaan persepsi bisa menimbulkan keresahan, maka kami sangat memperhatikan ini. Setelah lebih stabil, pasti ada proses transisi dan perubahan wewenang, wajar. Baru, ke depannya kami akan review secara menyeluruh dan strategis,” Paulus memaparkan. (*)
Dyah Hasto Palupi/Herning Banirestu