Best CEO zkumparan

Rudolf Tjandra, Usung Konsep Leaderful Organization

Dr. Rudolf Tjandra, pemenang The Best CEO 2020

Menjadi pemimpin bisnis di tengah dobel disrupsi tidaklah mudah. Saat ini pelaku bisnis dihadapkan pada tantangan disrupsi digital dan juga disrupsi kesehatan. Makin sulit lagi saat harus mengelola bisnis yang bergerak di industri FMCG (Fast Moving Consumer Goods). Dr. Rudolf Tjandra, salah satu pemenang The Best CEO 2020 yang digelar Majalah SWA bersama Dunamis memaparkan apa yang dilakukannya memimpin PT Sasa Inti agar bisa survive dan tetap tumbuh di masa pandemi.

Rudolf memaparkan di webinar yang diselenggarakan Majalah SWA dan Dunamis dengan tema Leadership Challenges in The Double-Disruption Era. Sebagai latar belakang, pemenang The Best CEO ini muali memimpin PT Sasa Inti per 2018, tepat sua tahun sebelum pandemi. Sebelumnya, ia adalah Group Vice President, Consumer Goods Rodamas Group.

Di tangannya Sasa berhasil menjadi perusahaan yang bertumbuh sangat baik. Mengelola tim yang solid menjadi kuncinya memimpi Sasa bahkan saat menghadapi pandemi Covid-19. Saat ini Rudolf bertanggung jawab mengelola 3000 karyawan lebih di Sasa.

“Saat pandemi terjadi, kami melihat kembali apa dan bagaimana sesungguhnya pandemi ini. Karena belum tentu kejadian pandemi 100 tahun sekali,” ujarnya.

Sejak ia memimpin Sasa, konsep leaderful organization diusungnya. “Kami ingin di Sasa memiliki tujuan yang dipegang bersama dan membuat semangat. Akhirnya kami memutuskan memiliki tujuan yaitu menyejahterakan karyawan dan keluarganya dan bisa memiliki impact yang positif terhadap lingkungan dan maximize shareholders value,” jelasnya.

Untuk bisa mewujudkan hal tersebut digunakan The Four Capabilities Framework yaitu melinat kembali sensemaking, relating, visioning, and inventing. “Kalau kami mau jalan lebih cepat dan tubuh lebih cepat. Salah satunya saya melihat bahwa Sasa perlu melakukan rejuvenatebrand-nya, ini karena meskipun awarness brand Sasa tinggi, masih dianggap brand yang masih old. Maka itu harus dibangun Brand Credibility,” katanya.

Ia meyakini pertumbuhan Sasa saat awal dipimpinnya sudah bagus, tapi bisa lebih besar lagi, jika SDM-nya juga bagus untuk itu harus ditingkatkan kemampuan mereka. “Akhirnya kami mengirim maanjer-manajer ke luar negeri untuk training setiap tahunnya karena kami sadar tujuannya adalah menyejahterakan karyawan dan keluarga,” jelasnya.

Langkah-langkah transformasi yang dilakukannya di awal kepemimpinannya, membawa hasil positif di tahun 2019, perkembangan Sasa luar biasa. “Upaya rejuvinte, meningkatkan brand equity dan melakukan kerja sama dengan berbagai pihak membawa hasil postifi,” terangnya.

Dan ketika pandemi COVID-19 masuk Indonesia langkah-langkah transformasi tersebut membantunya memimpin perusahaan bisa survive dan bertumbuh di 2020. “Di masa pandemi, fokus kami pada keamanan dan kesehatan karyawan. Saat itu kami langsung fokuskan untuk membagi-bagikan masker, bukan hanya ke karyawan tapi juga masyarakat umum.. Kami juga masak-masak untuk tenaga kesehatan, karyawan diberikan vitamin setiap hari dan wedang jahe. Dan kami mulai mengadakan WFH dan WFO bergantian. Tujuan kami ingin karyawan tetap sejahtera sehingga mereka harus tetap sehat,” tandasnya.

Saat awal adanya pandemi ini, Rudolf mengajak duduk bersama karyawannya dan riset masyarakat juga. Ternyata, banyak orang juga karyawannya tidak mengkonsumsi vitamin walaupun gajinya tidak sedikit. “Berangkat dari sana akhirnya kami kumpulkan tim, ahli gizi dan ekspertnya untuk membuat bagaimana caranya supaya tepung bumbu terfotifikasi. Akhirnya kami berhasil membuatnya, kemudian kami luncurkan tepung bumbu terfotifikasi pertama di Indonesia dimana jika dimasak, vitaminnya itu tetap ada. Kami juga melakukan tes rasa ke 30 ribu orang dan sudah mendapatkan izin BPOM,” terangnya.

Lebih lagi ditemukan fakta bahwa kebiasaan orang Indonesia adalah makan gorengan dan biasanya makan gorengan itu identik dengan makanan tidak sehat, sehingga dengan adanya produk ini Rudolf berharap bahwa makan gorengan tidak hanya sehat tetapi juga bervitamin. “Contoh produk lainnya yang sudah kami miliki yaitu Santan Sasa yang beromega 3 dan omega 6,” ujarnya.

Mengacu pada The Four Capabilities Framework tersebut, bahkan di masa pandemi tidak berhenti melahirkan terobosan di pasar.

Saat pandemi, Sasa juga menghadapi kelangkaan bahan baku. Terlebihbgula garam industry mayoritas masih impor. Dengan adanya peningkatan harga bahan baku, tantangannya adalah bagaimana Sasatidak menaikan harga produk karena konsumen sedang susah akibat pandemi.

Langkah Overall Equipment Effectiveness (OEE) ternyata menyelamatkan, sehingga biaya bisa ditekan. “Selain itu kami juga berubah menjadi perusahaan yang tadinya menjual produk menjadi perusahaan yang menjual lifestyle. Jadi kalau lihat iklan-iklan kami 2 tahun terakhir tidak ada berbicara temtang produk tetapi tentang kehidupan dan bagaimana kita semangat,” terangnya. Contohnya yang tepung bumbu dengan tagline #ApaSihYangGaBisa.

Rudolf mengutip hasil riset AC Nielsen bahwa brand equity Sasa selama dua tahun terus meningkat tajam. Karena kalau dulu Sasa disebut brand orang tua, sekarang sudah berubah menjadi brand-nya para millenial.

Brand equity yang meningkat sejak sebelum pandemi membantu Sasa bisa tetap terjaga penjualannya. “Sasa kalau dari segi pricing paling tidak sejajar dengan kompetitor, namun kualitas kami lebih tinggi sedikit dari yang lain. Oleh karena itu, cashflow bagus. Consumer good ini tidak terhalang pembayaran semuanya lancar. Kami memiliki distributor yang merupakan sister company sehingga mereka juga bekerja keras untuk memastikan supaya cashflow pembayaran dari pihak ketiga juga lancar,” katanya tentang kinerja penjualannya sepanjang pandemi.

Di saat pandemi Rudolf juga selalu mengingatkan untuk tetap ada training. Dan menjaga komunikasi karena kuncinya trust adalah komunikasi. “Kami ingin karyawan tetap bersemangat, menjaga momentum ketika brand equity Sasa sedang harum-harumnya agar semuanya bisa dapat manfaat baik. Dalam segi remunerasi juga dapat diapresiasi lebih baik. Jangka menengahnya bisa memingkatkan kemampuan karyawan kalau tahun ini training hanya lewat online jika sudah ada vaksin bisa training ke luar negeri lagi. Selain itu kami masih ada beberapa produk yang akan di-launching,” paparnya.

Saat ini bisa dibilang Sasa adalah pemimpin pasar di kategori bumbu masak, walau setiap produk berbeda-beda, tepung bumbu mendominasi dengan 43% sedangkan produk micin sekitar 50 persenan. Menariknya walau baru masuk di kategori santan, peningkatan produk santan Sasa luar biasa, sayang Rudolf belum bisa menyebut angkanya. Untuk kategori bumbu nasi goreng peningkatannya 2 kali lipat dari tahun ke tahun sejak tahun 2019.

Kita semua tahu Sasa merupakan salah satu perusahaan FMCG makanan dan bumbu terbesar di Indonesia. Didirikan oleh Rodamas pada tahun 1968, nama Sasa sendiri merupakan singkatan dari “Sari Rasa” yang diterjemahkan sebagai SAri dari raSA. Moto “Sasa Melezatkan!”. Semua ini tercermin dalam produk-produk Sasa, mulai dari MNG, tepung bumbu, rangkaian saus, santan hingga bumbu instan. Visi : Menghadirkan kebahagiaan melalui makanan lezat yang mudah disajikan. Misi : Perusahaan makanan terkemuka dari Indonesia.

Kirnerjanya makin ciamik saat persaingan di kategori bumbu ini makin ketat, pada tahun 2019 secara keseluruhan pertumbuhan bisnis Sasa naik 19%. Di masa pandemi, tahun 2020 tumbuh tidak sebagus tahun sebelumnya 12%, namun bisnis Sasa di luar MSG tumbuh 47%.

Sementara tahun ini hingga 2025, Rudolf menargetkan pertumbuhan bisnis mencapai 50% secara keseluruhan dengan andalan di produk-produk non MSG yang dinilainha akan terus berkembang. Untuk MSG ditargetkan sudah akan kembali ke double digit growth seperti yang sudah dicapai pada tahun 2019 dengan campaign MSG generation.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved