Column

Syahwat Kuasa

Oleh Editor
Ilustrasi kekuasaan (Foto istimewa).

“Tiada ilmu pengetahuan yang imun terhadap infeksi politik dan korupsi kekuasaan” – Jacob Bronowski

Memiliki kekuasaan itu memang nikmat. Buktinya banyak. Dalam skala dunia, Trump yang kalah pemilu oleh Joe Biden, ngamuk. Mengerahkan massanya. Mereka serbu Gedung Capitol. Mereka lupa, bahwa mereka suka “mengajari” negara-negara lain soal pentingnya sistem demokrasi. Munafik.

Xi Jinping, Sekjen PKC, Ketua Komisi Militer Pusat dan Presiden Republik Rakyat China, sudah aman nyaman, mendeklarasikan diri sebagai presiden seumur hidup.

Sementara Vladimir Putin menjabat sebagai Perdana Menteri semenjak 2008 dan Presiden sejak 2010, menjadi penguasa puncak salah satu negara adidaya Rusia, tak ada gejala-gejala mau mengundurkan diri.

Di negara kita, ya mirip-miriplah. Bung Karno adalah presiden seumur hidup (rencananya). Namun, terguling di tengah jalan dengan akhir hayat mengenaskan. Lalu, yang paling belakangan dan ramai, ada wacana, entah siapa yang memantik dan memgembuskan, Presiden Jokowi akan didapuk untuk menambah masa jabatan satu periode lagi. Yang terakhir ini, oleh Jokowi sendiri, langsung ditolak mentah-mentah.

Perebutan kekuasaan di Partai Demokrat menggambarkan, lagi-lagi, kekuasaan itu memikat, mampu memicu liur bertetesan dan syahwat kuasa memuncak.

Belum lagi, para sesepuh, para mantan penguasa, yang masih saja ngotot ingin terus tampil dan eksis. Dan dalam kengototannya, mereka ucapkan pernyataan-pernyataan yang memprovokasi masyarakat. Yang semuanya berpotensi menimbulkan permusuhan antargolongan dan perpecahan bangsa. Apa yang kau cari?

Memiliki kekuasaan itu memang nikmat. Baik di dunia pemerintahan, di legislatif, maupun yudikatif. Juga di dunia politik di partai dan organisasi massa, di kancah bisnis, serta kejahatan terorganisasi. Kenikmatan-kenikmatan yang kasat mata.

Menikmati segala privilege, “penghasilan” bagus, disambut dan dihormati di sana-sini, serta pelbagai macam kesenangan duniawi lainnya.

Seyogianya, memiliki kekuasaan dan mendayagunakannya untuk kepentingan kemaslahatan rakyat banyak adalah hal mulia. “Ukuran adab seseorang adalah apa yang ia lakukan dengan kekuasaannya,” kata Plato.

Sementara, “Kepercayaan (dari rakyat atau pengikut) itu bermakna sebagai kekekuasaan besar dan suatu kemenangan,” kata Sojourner Truth, aktivis hak-hak perempuan.

Jadi, sepanjang si empunya kuasa sadar diri akan amanah yang diembannya, dan dia melaksanakan amanah itu sesuai dengan janjinya (waktu kampanye dan disumpah dengan nama Tuhan Yang Maha Esa, semuanya akan berjalan baik. Kekuasaan model ini, seperti ditampakkan Sri Mulyani, Menteri Keuangan, atau Tri Rismaharini. Mereka adalah contoh pemegang kekuasaan yang mulia dan sangat layak dihargai.

Namun, sayang seribu sayang, nampaknya kita tak punya banyak pemimpin sekelas mereka, yang kebetulan dua-duanya wanita yang layak berjuluk pemimpin sejati (genuine).

Para pemimpin kita, yang semata berangkat dari syahwat kuasa, bukan pemimpin yang kompeten dan berkarakter, justru mendominasi habitat kepemimpinan di negara ini. Lebih banyak orang yang “rumangsa bisa ning ora bisa rumangsa” (merasa bisa, tetapi tak bisa merasa).

Mau bukti? Provinsi mana yang maju dan berkembang seperti Jakarta saat dipimpin Ahok? Kota mana yang bisa sehebat Surabaya sejak dipimpin Risma?

Mau bukti lain lagi? Di tingkat menteri, apa yang kita saksikan? Acapkali terbaca polemik antar kementerian yang menunjukkan ego sektoral masing-masing. Atau, kadang terlambat merespons suatu masalah atau isu.

Sementara para anggota Dewan lebih suka bolos di sidang-sidang atau acapkali memberikan pernyataan yang tak berkualitas sebagai wakil rakyat.

Atau, dalam model yang berkebalikan, ada yang hanya berdiam diri, tanpa kita tahu, apa yang mereka kerjakan dan kontribusikan bagi kita, para pembayar pajak yang menafkahi mereka.

Ternyata, benar apa yang dikatakan Abraham Lincoln, “Hampir semua orang mampu menanggungkan penderitaan, namun bila Anda ingin mengetahui watak seseorang sesungguhnya, beri dia kekuasaan.”

Yang kita sangka dia seorang yang jujur, terpercaya, bahkan pernah mendapat award Bung Hatta Anti Corruption, ternyata koruptor kelas wahid. Ia ditangkap selagi tidur, dengan pelbagai bukti yang tak dapat disangkal di Makassar.

Benar kata Bruce Lee, master kungfu legendaris, “Pengetahuan akan memberi Anda kekuasaan. Namun, penghormatan orang lain kepada Anda hanya akan Anda peroleh bila Anda memiliki karakter.”

Apalagi, di zaman digital yang sangat merdeka ini. Semua hal bisa diputarbalikkan oleh media massa, online khususnya. “Media massa adalah entitas yang sangat kuat di bumi ini. Mereka memiliki kekuatan untuk membuat yang tak bersalah nampak bersalah, dan sebaliknya, yang bersalah menjadi tak bersalah. Itulah kekuatan kekuasaan. Karena, mereka mengendalikan pikiran massa,” kata Malcolm X, aktivis HAM.

Apalagi, terjadi kondisi seperti saat ini di negara kita, sebagaimana dikatakan Edmund Burke, ahli ekonomi dan filsuf asal Irlandia, “Merajalelanya kejahatan dalam suatu komunitas atau suatu bangsa adalah karena orang-orang yang baik berdiam diri.” Ini fakta apa adanya di negeri ini. Menyedihkan memang.

Pongki Pamungkas (*)

Jakarta, 1 April 2021

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved