Menumbuhkan Semangat Eco Fashion di Tengah Pandemi
Salah satu yang berubah dari tatanan hidup masyarakat sebagai dampak dari pandemi adalah cara berbusana. Keharusan untuk berdiam di rumah dan menghindari kerumunan membuat masyarakat mulai tergerak untuk memilah-milah baju. Masyarakat juga cenderung lebih memperhatikan apa yang mereka konsumsi, di mana fashion termasuk di dalamnya.
Desainer Merdi Sihombing dalam Webinar ‘Peranan Industri Fesyen dalam Ketahanan Ligkungan dan Perekonomian’ yang diselenggarakan Eurekawomen mengatakan pandemi bahkan telah mengakibatkan fast fashion dan brand-brand besar ‘habis’. Dalam hal ini, kesadaran konsumsi orang-orang mulai bangkit. Menurutnya, inilah kebangkitan fashion Indonesia, terutama industri kreatif yang membantu nilai ekspor pertumbuhan ekonomi.
Kesadaran dalam mengonsumsi produk fashion erat kaitannya dengan movement yang beberapa tahun terakhir gencar diserukan, yakni sustainable fashion atau fesyen berkelanjutan.
“Isu yang dihadapi (dunia fesyen) saat ini adalah transparansi dan traceability. Brand-brand secara terbuka harus berbagi informasi. Dulu desainer tidak pernah ada yang mau memberitahu dimana membuat produk, tapi sekarang fashion harus transparan. Kita hidup di era digital, semua harus terbuka,” tutur Merdi, Sabtu (5/6/2021).
Hal penting yang perlu difokuskan dalam traceability, sebut Merdi, adalah hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan seperti berapa banyak air yang dipakai dan ke mana limbah dibuang. Selain itu, aspek sosial-ekonomi penting lainnya adalah apakah brand-brand fashion membayar karyawan dengan ethical atau tidak. “Seiring dengan perjalanannya, eco fashion berevolusi menjadi sustainable fashion, ethical fashion, circular fashion, regenerative fashion, macam-macam. Prospek eco fashion cukup besar, tetapi kesadarannya belum,” tutur Merdi.
Manager Climate Reality Indonesia, Amanda Katili menjelaskan bahwa untuk menumbuhkan kesadaran eco fashion, mau tidak mau harus terpaku pada nama besar. “Harus ada supporting organization dan nama besar. Kalau brand besar berbicara, yang lain mau mengikuti. Contohnya Puma yang mendorong ramah lingkungan. Tapi ini memang harus dipimpin oleh organisasi besar,” tuturnya.
Selain dikaitkan dengan kebijakan, pendanaan, logistik, energi, dan bahan baku, eco fashion juga menyangkut kebiasaan masyarakat yang perlu diubah.
Amanda menyebut, 85% produk fashion terbuang ke Tempat Pembuangan Akhir meskipun layak pakai. Belum lagi saat brand mengeluarkan beberapa season, limbahnya luar biasa. Untuk itu, perlu adanya kesadaran untuk mengubah pola konsumsi fesyen yang demikian.
Amanda memberi contoh challenge 30 kali memakai pakaian tersebut. Salah satu hikmah pandemi untuk mengurangi limbah fashion adalah masyarakat lebih senang menggunakan fashion yang tahan lama (long-lasting). “Ini adalah sebuah momentum untuk eco fashion dan sustainability untuk lebih bergerak lagi. Kekuatan kita di sini adalah budaya,” dia menegaskan.
Editor : Eva Martha Rahayu
www.swa.co.id