My Article Trends

Arogansi

Oleh Editor

Oleh: Hadi Satyagraha, Pengamat Manajemen dan Pemerhati Bisnis

Arogan Berbuah Rasuah.” Itulah judul tulisan di sebuah media sosial mengenai arogansi Richard Joost Lino (RJL) sang Direktur Utama Pelindo II. Tulisan tersebut mengulas dilaporkannya RJL kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) oleh Serikat Pekerja Pelindo II dalam dugaan kasus korupsi sehubungan dengan pembelian tiga unit quaycontainer crane (qcc) untuk pelabuhan Panjang, Palembang, dan Pontianak.

RJL ditengarai menyalah-gunakan jabatannya karena mengambil keputusan penunjukan langsung. Selain penyalah-gunaan jabatan, audit BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) menyebut proses pengadaan crane tersebut diduga menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 82 miliar. Konon crane yang dibeli RJL dari sebuah perusahaan Tiongkok mubazir adanya karena tidak dapat digunakan.

Menghadapi tuduhan tersebut RJL malah ‘menantang’ dengan berujar ‘Mestinya saya justru dikasih bintang jadi pahlawan kok (karena keputusan saya).” (“Arogan Berbuah Rasuah”, merdeka.com, 5 Mei 2014, 08:26).

Beberapa bulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka, RJL sempat mengumbar berbagai pernyataan yang oleh banyak pihak dinilai arogan. Saat kantornya digeledah oleh Kepala Bareskrim Komjen Budi Waseso, dalam percakapan tilpunnya dengan Menteri Bappenas Sofyan Djalil, RJL –yang merupakan protégé sang menteri tersebut – berujar ‘Kasih tahu presiden, kalau caranya begini saya berhenti saja besok.’ (“RJ Lino: Kasih Tahu Presiden….”, kompas.com, 28 Agustus 2015, 22:05). RJL juga sempat berkata “I make this company very rich.”

Arogansi RJL mengesalkan banyak pihak. Netta S. Pane -Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW)- sampai mendesak Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) POLRI untuk menetapkan RJL sebagai tersangka dugaan kasus korupsi pengadaan 10 unit mobilecrane . Pane menganggap RJL arogan karena membuat pernyataan di media massa bahwa dirinya dapat mencopot Komisaris Jenderal (Komjen) Budi Waseso dari jabatannya sebagai Kabareskrim. (“IPW ‘Doakan’ RJ Lino Jadi Tersangka”, kriminalitas.com, 9 Nopember 2015, 17:53). RJL pun menjawab bahwa duia dengan senang hati menerima jika dicap arogan dan sombong. (“Dicap arogan, ini kata Rj Lino”, Kontan.co.id, Kamis, 15 Oktober 2015 08:55 WIB). Luar biasa!

Menjelang berakhirnya tahun 2015, RJL mendapat ‘kado’ Natal: ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Setelah melakukan penidikan setahun lebih, akhirnya KPK menemukan dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan RJL sebagai tersangka kasus pembelian crane tersebut. (“KPK Tetapkan RJLino Tersangka”, kompas.com, 18 Desember 2015, 19:20).

Setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, sehari menjelang Maulud Nabi dan dua hari menjelang Natal, RJL kembali mendapat kado ‘Natal’ lagi: dipecat dari jabatannya sebagai Dirut Pelindo II. (“RJ Lino Dipecat”, kompas.com, 23 Desember 2015, 18:38). Berakhirlah karir RJL di Pelindo II setelah ia menggelutinya sejak tahun 2009 sebagai Direktur Utama perusahaan pelabuhan tersebut.

RJL memang seorang ‘petarung’, fighter. Tidak lama setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, ia pun mengajukan praperadilan untuk menggugat status tersangka yang ditimpakan kepadanya oleh KPK. Gugatan disampaikan pada tanggal 28 Desember 2015. Alasan RJL menggugat KPK adalah bahwa tidak ada kerugian negara dalam pengadaan qcc yang dibeli Pelindo II pada tahun 2010 tersebut. Namun demikian, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dengan hakim tunggal Udjiati menolak semua permintaan dan tuntutan RJL. Segera setelah permohonan pra-peradilannya ditolak, pada tanggal 29 Januari 2016 KPK pun memanggil RJL sebagai tersangka. Namun, RJL tidak hadir dengan alasan terkena serangan jantung. (“Alasan Sakit, RJ Lino Mangkir Pemeriksaan KPK”, m.tempo.co.id, 29 Januari 2016, 10:47). RJ Lino, sang petarungpun ‘tersungkur’. Ia tidak menyangka bahwa dirinya yang telah membuat Pelindo II ‘very rich’ dan beranggapan mempunyai “godfather” sekelas Menko dan Wapres republic ini harus menjadi tersangka KPK.

Sungguh tragis ‘saga’ yang dijalani RJL. Arogansinya telah menghasilkan ‘buah-buah’ yang sungguh tidak enak. Bukan hanya ia dipecat sebagai CEO Pelind II yang tentu merupakan aib, disgrace, bukan hanya bagi dirinya tetapi tentu juga bagi keluarganya yang ikut menanggung malu akibat ulahnya, namun kini ia juga telah sah menjadi tersangka KPK. Mengingat track–record KPK dalam nenentukan tersangka, dapat dipastikan cepat atau lambat RJL akan menjadi penghuni hotel ‘prodeo’.

Sungguh benar apa yang dikatakan Emily Bronte, sang novelis berkebangsaan Inggris bahwa arogansi membawa kesedihan. Kesedihan itulah yang kini tengah dialami RJL seorang yang dianggap banyak sebagai CEO yang arogan.

Apakah Arogansi?

Sesungguhnya kita semua, sedikit banyak, kadang-kadang menjadi dan berperilaku sebagai orang-orang arogan. Namun arogansi tersebut tidak selalu dilakukan dan dilakukan dalam kadar dan dalam batas tertentu.

Definisi baku arogansi adalah memamerkan secara berlebihan kehebatan atau ketokohan diri, besar kepala, meremehkan atau merendahkan orang lain. Arogansi adalah perilaku atau kebiasaan dalam membuat ‘undueclaim in an overbearing manner’, membuat tuntutan berlebihan, bragging, dengan cara-cara yang memaksa. Persamaan kata arrogance adalah egotism, conceit, grandiosity, dan sef-importance.

Dalam literatur Yunani ada konsep yang sama dengan konsep arogansi yaitu hubris. Hubris –excessive self regard– adalah keadaan di mana seseorang berpikir bahwa dirinya lebih tinggi dari orang-orang lain yang fana, mortal, tidak abadi. Dengan kata lain, seorang hubris menganggap dirinya tidak seperti orang-orang lain yang fana tetapi menganggap dirinya sendiri seperti dewa yang baka, yang kekal abadi seperti dikisahkan dalam legenda Yunani kuno.

Arogansi adalah salah satu bentuk ekspresi rasa bangga. Para akhli psikologi membedakan dua jenis kebanggaan (pride): kebanggaan otentik (authenticpride) dan kebanggaan hubris (hubrispride). Kebanggaan otentik adalah kebanggaan di mana seseorang merasa percaya diri dan produktif serta memiliki kepribadian sosial yang baik seperti menyenangkan (agreeable), bersungguh-sungguh (conscientious), dan memiliki emosi stabil. Kebanggaan hubris adalah kebanggaan yang mempunyai sifat sosial yang kurang baik.

Ada perbedaan yang amat tipis antara arrogance dan confidence, arogansi dan percaya diri. Seorang CEO –juga setiap pemimpin- haruslah mempunyai rasa percaya diri yang memadai. Pemimpin yang percaya dri mempunyai keyakinan mendalam akan kemampuannya untuk membuat perbedaan, dampak positif bagi organisasi yang dipimpinnya. Percaya diri merupakan ‘kompetensi’ penting yang harus dimiliki para CEO sebagai pimpinan puncak organisasi. Rasa percaya diri seorang pemimpin akan memotivasi dan menginspirasi semua orang dalam organisasi. Ini akan memampukan seorang pemimpin untuk mengambil berbagai risiko agar tetap inovatif dan juga mendorong para anggota organisasi untuk tetap maju.

Orang-orang arogan banyak kita dijumpai di sekeliling kita. Mereka dapat kita jumpai di rumah, di sekolah, di tempat kerja, bahkan di tempat ibadah. Orang-orang arogan dapat kita jumpai dalam berbagai profesi dan lapisan masyarakat. Mulai dari usahawan (entrepreneur), pimpinan perusahaan (CEO) dan manajer, politisi, pimpinan Negara, kepala daerah, dosen, artis , sampai kepada rohaniwan (pendeta, ulama) sekalipun. Tidak ada satupun profesi dalam jagad kita ini yang imun dari ‘virus’ arogansi.

Beberpa ciri utama orang arogan adalah:

Walaupun mungkin saja ia mempunyai IQ (intelligencequotient) yang tinggi, seperti kita ketahui IQ saja –walaupun penting- tidaklah cukup untuk membuat seseorang berhasil dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam memimpin organisasi. Diperlukan juga EQ (emotionalquotient) yang menurut penelitian malah merupakan hal yang dua kali lebih penting daripada IQ. Untuk sukses memimpin organisasi diperlukan kemampuan untuk mengelola hubungan dengan banyak orang yang merupakan pemangku kepentingan (stakeholder).

Karena merasa dirinya mempunyai kelebihan –serba tahu, serba bisa, dan serba benar-, orang yang arogan cenderung meremehkan dan merendahkan orang-orang lain.

Penulis penasaran dengan ‘tantangan’ RJ Lino. Lewat searchengine Google, tidak ada nama Effendi Nurwali dalam ’50 Orang Terkaya Malaysia’ versi majalah bergengsi Forbes. Arti kata the richest adalah paling kaya, nomor wahid dalam harta. Menurut Forbes dan Intelligent Money Malaysia, the richest guy, orang terkaya di Malaysia bukanlah Effendi Nurwali sang mertua RJL, melainkan Tan Sri Robert Kwok, sang taipan yang bergerak dalam industri kelapa sawit, pelayaran, dan properti. Penulis tidak tahu apakah pengertian the richest penulis dan RJ Lino sama. Mungkin saja Effendi Nurwali merupakan orang terkaya dalam keluarga besar Nurwali atau Lino atau bahkan di kampung halammnya. Tetapi yang jelas Effendi Nurwali sang mertua ga masuk hitungan 50 orang terkaya Malaysia. Jelas RJ Lino telah membual secara kebangetan alias bragging tentang kekayaan sang mertua. Penulis ga jelas website mana yang dimaksud RJL mengenai sang mertua yang menjadi the richest guy in Malaysia.

Asal-muasal Arogansi

Arogansi berkembang dari berbagai sumber: harta, intelektualitas, gelar akademik, trah, jabatan pekerjaan, bahkan penampilan fisik (cantik, atletis). Arogansi juga bisa timbul karena ilusi seseorang. Seringkali seseorang yang memang mempunyai kelebihan dalam sebuah aspek kehidupan seperti kaya-raya atau posisi tinggi dan lain sebagainya, lalu karena kelebihan dalam hal tersebut, ia menganggap dirinya lebih dalam semua hal dibandingkan orang-orang lainnya. Padahal orang yang kaya, belum tentu punya intelektualitas tinggi. Seorang yang kebetulan akhli waris sebuah organisasi belum tentu lebih kompeten dalam pekerjaan dibandingkan orang-orang lain dalam organisasi yang diwarisinya. Seorang pengusaha yang sukses membangun kerajaan bisnisnya bisa menjadi orang yang arogan yang merasa serba lebih tahu dalam segala hal dari semua orang lainnya. Padahal jelas sekali entrepreneurship dan manajemen adalah dua hal yang amat berbeda.

Para akhli psikologi menyimpulkan bahwa sikap dan perilaku arogan merupakan mekanisme defensif (defensivemechanism) untuk menutupi berbagai kekurangan seseorang. Orang-orang arogan, pengusaha arogan, CEO arogan, dan berbagai orang arogan lainnya adalah mereka yang tidak ingin menerima dan mengakui berbagai kekurangan mereka. Bahkan dengan berbagai cara mereka selalu berusaha menutup-nutupi hal tersebut.

Arogansi dapat ditafsirkan sebagai sebagai cluster, kelompok perilaku yang mengkomunikasikan superioritas dan derajat seseorang dibandingkan orang-orang lainnya. Perilaku tersebut antara lain adalah tidak menghargai orang lain dan pendapat mereka, merasa lebih tahu dari orang-orang lainnya, tidak mau mengakui kesalahan dan sebaliknya mengkambing-hitamkan orang lain atas kesalahan yang diperbuatnya.

Orang arogan adalah orang yang tidak bisa menerima kenyataan bila itu berbeda dengan pandangannya. Ada seorang CEO yang memimpin sebuah unit usaha dalam industri jasa. Penjualan unit usaha yang dipimpinnya lumayan baik dan memuaskan para pemegang saham usaha tersebut. Namun saat para pemegang saham mendapat data mengenai industri jasa tersebut ternyata harga jual unit usaha tersebut jauh di bawah rata-rata harga usaha sejenis dalam segmen, strategicgroup, competitiveset yang sama . Sang CEO pun mencak–mencak tidak mau menerima kenyataan tersebut. Ia berkilah bahwa harga jual unit usaha yang dipimpinnya tidak bisa dibandingkan dengan harga rata-rata industrinya. Masih banyak variable lain yang harus diperhitungkan. Ia tidak bisa dan tidak mau menerima kenyataan bahwa penjualan yang bagus ternyata disebabkan karena harga jual yang terlalu murah, beberapa puluh persen di bawah rata-rata industri, bahkan hampir separuh harga pesaing dengan harga tertingi! Tentu saja perusahaan tersebut tidak mencapai tingkat laba optimum. Apalagi ternyata, menurut kajian, dalam industri tersebut priceelasticity of demand nya jauh di bawah 1, yaitu dalam kisaran 0.2-0.6 saja. Artinya, bila harga naik 10%, maka permintaan (penjualan) akan turun masimal 6% saja. Artinya, akan ada pertambahan nilai penjualan antara 4% sampai 8%! Itulah kehilangan pendapatan akibat arogansi sang CEO tersebut yang tidak mau menerima kenyataan.

Mengapa Arogansi Fatal?

Apabila arogansi menjangkiti seorang CEO, maka hal tersebut dapat berakibat pada pembuatan keputusan yang buruk, menyebabkan merosotnya moral organisasi dan rusaknya hubungan antara pimpinan tertinggi organisasi dengan seluruh anggota organisasi yang merupakan ‘roh’ organisasi yang menjalankan berbagai fungsi organisasi. Pada akhirnya, organisasi akan terpuruk akibat arogansi sang CEO.

KeputusanKeliru. Seorang CEO –yang kebetulan juga pemilik usaha- sangat sukses mambangun emporium bisnisnya. Bak pepatah ‘from-rags-to-riches’, usaha yang dipimpinnya sukses besar. Dari sekedar pemain lokal, perusahannya melesat menjadi salah satu pemain terkemuka dalam industrinya. Karena keberhasilannya tersebut, ia pun dinobatkan Forbes Indonesia sebagai sebagai salah seorang terkaya di Indonesia. Berbagai penghargaan pun disabetnya karena keberhasilannya tersebut. Karena ketenarannya tersebut, sang CEO pun menjadi arogan. Walaupun kepiawaiannya sebagai seorang entrepreneur tidak perlu diragukan, namun ia juga menganggap dirinya juga piawai dalam segala dan semua hal termasuk dalam memilih para pimpinan unit-unit usaha baru yang dibentuknya. Ia pun melakukan penunjukkan langsung dan tidak mengindahkan standard–operating–procedure (SOP) dalam proses seleksi pegawai. Pemilihan langsung dilakukannya karena ia merasa lebih tahu dari semua orang termasuk direktur HRD yang jelas merupakan seorang professional dalam bidangnya. Nyaris semua tahapan proses seleksi diabaikan. Penunjukkan para manajer senior dan CEO unit usaha baru dilakukan secara langsung olehnya. Ia berperilaku sebagai seorang diktator dalam pengambilan putusan. Bukan hanya dalam seleksi karyawan, dalam memulai bisnis baru pun ia seorang diri yang menentukan. Akibatnya banyak bisnis baru yang berjalan tersendat-sendat karena perhitungan yang ‘kurang matang’. Ia telah mengabaikan lusinan pembantunya yang sebenarnya mempunyai kompetensi teknis dalam berbagai aspek bisnis.

Akibatnya, beberapa CEO yang ditunjuknya secara langsung dipecat karena berbagai alasan. Ia melakukan serangkaian wronghire. Ada yang dianggap tidak mampu, tetapi ada juga yang menyangkut masalah integritas. Ia gagal memilih CEO yang baik. Proses seleksi karyawan, apalagi karyawan tingkat tinggi, memerlukan kompetensi khusus. Dan kompetensi khusus ini jelas tidak ada hubungannya dengan kompetensi entrepreneurship. Kehebatannya sebagai entrepreneur membangun emporium bisnis, tidaklah otomatis menjadikannya piawai dalam menjalankan berbagai aspek bisnis. Berbagai aspek bisnis seperti keuangan, pemasaran, produksi, sumberdaya manusia menuntut kompetensi khusus yang tidak ada kaitannya dengan entrepreneurship.

HancurnyaBudayaKolegialitas. Arogansi menghancurkan budaya kolegialitas dalam organisasi. Kebersamaan pandangan dan kebersamaan tujuan, yang merupakan hal esensial dan krusial bagi berfungsinya setiap organisasi. Sekali seorang CEO terisolasi dalam boardroom, terkurung dalam ‘menara gading’, ia pun akan kehilangan kemampuan untuk memimpin organisasinya dengan baik.

Ketidakjujuran dalam Organisasi. Bila seorang CEO bersikap dan berperilaku arogan, maka organisasi akan berkembang menjadi organisasi yang tidak jujur karena orang-orang dalam organisasi tersebut tak akan mengatakan kebenaran. Mereka akan takut mengatakan kebenaran karena kuatir berbeda dengan pandangan sang CEO yang arogan. Sebagai manusia biasa, sangat wajar bila para bawahan CEO takut kepada sang CEO yang mempunyai kuasa menentukan nasib semua orang dalam organisasi yang dipimpinnya.

Hancurnya Kinerja Organisasi. Arogansi jugalah yang menyebabkan seorang CEO yang pernah sukses, mashyur dan disegani orang banyak menjadi CEO terburuk (worst CEO).

Itulah salah satu kesimpulan Sydney Finkelstein, professor strategy dan leadership di Tuck Business School, Dartmouth College, penulis buku “Why Smart Executives Fail: and What You Can Learn From Their Mistakes”. Selama 15 tahun Finkelstein meneliti berbagai penyeba kegagalam organisasi bisnis dan organisasi pemerintahan.

Finkelstein menyebutkan Mike Lazaridis, CEO Research in Motion (RIM), pemasar Blackberry (BB) smartphone, sebagai contoh arogansi yang telah menjatuhkannya. Sukses fenomenal Blackberry yang terjadi dalam waktu sangat singkat telah mengorbitkan Lazaridis sang bidan Blackberry. Mike Lazaridis bukan hanya menjadi tenar karena sukses Blackberry, ia juga menjadi amat kaya raya karenanya. RIM sebagai perusahaan kecil dan tidak terkenal yang berpusat di kota kecil Waterloo, jantung teknologi Kanada, pun menjadi buah bibir penduduk sejagad. Namun sukses fenomenal itu jualah yang menjadikan Mike Lazaridis arogan dan ‘lupa daratan’. Ia tidak menghiraukan bahkan meremehkan kehadiran Apple sebagai pesaing BB dalam industri smartphone. Lazaridis menganggap iPhone sebegai sekedar mainan dan tidak pantas untuk dianggapnya sebagai pesaing.

Ia juga tidak mau mendengarkan pendapat orang-orang lain yang berbeda dengan pendapatnya. Sebenarnya tidak sedikit pihak –baik di dalam maupun di luar RIM- yang mengingatkan Lazaridis untuk serius menghadapi ancaman para pesaing BlackBerry. Sukses fenomenal BB telah ‘membutakan’ mata CEO nya. Akibat arogansi Mike Lazaridis tersebut tersebut kini Blackberry di ambang kepunahan. Nilai perusahaan Blackberry merosot sangat jauh. Pada puncak kejayaan RIM, harga sahamnya mendekatai $ 160 sedangkan saat kejatuhannya, harga sahamnya tinggal $ 11.91 saja! Itulah harga amat mahal yang harus dibayar oleh arogansi seorang CEO. Tidaklah heran kalau kemudian Mike Lazaridis segera dicopot dan digantikan John Chen, seorang pakar turnaround, juru-selamat, corporatesavior, akhli penyehatan perusahaan ‘sakit’. Chen diharapkan mampu membangkitkan kembali kejayaan yang pernah dialami BlackBerry.

Para peneliti dari Michigan State University dan University of Akron, selama empat tahun meneliti hubungan antara perilaku arogan dan kinerja organisasi. Kesimpulan mereka adalah bahwa perilaku arogan ternyata menghasilkan kinerja buruk. Mereka juga menyimpulkan bahwa orang-orang arogan adalah orang-orang yang inteligensianya rendah.

Mengingat dampak amat buruk yang diakibatkan oleh sikap dan perilaku arogan, tidaklah heran kalau berbagai peradaban dan agama sejak ribuan tahun yang lalu mengajarkan umat manusia untuk menghindari sikap arogan. Arogansi adalah sesuatu yang buruk dan jahat (evil).

Dalam peradaban Yunani kuno, di Athena yang merupakan ibu kota Yunani, arogansi ,hubris dianggap sebagai kejahatan (crime). Arogansi merupakan sesuatu yang ofensif karena merendahkan orang lain dan membuat seorang arogan ‘buta’ terhadap realita, termasuk realita yang membahayakan.

Jauh sebelum ‘lahirnya’ agama-agama samawi –Yahudi, Kristen, dan Islam- agama Hindu yang dianggap sebagai agama tertua dalam jagad kita ini dalam Bhagavad Gita, Sri Krishna –titisan Dewa Vishnu- bersabda kepada Arjuna dalam epic Bharatayudha “Arrogance is the mark of those born with demonic quality, O Arjuna”. Arogansi adalah ciri orang-orang yang mempunyai sifat jahat, demikian tausiyah Shri Krishna kepada Arjuna dalam medan perang Bharatayudha di Kurukshetra.

Dalam berbagai aliran agama Buddha arogansi adalah sesuatu yang tidak disukai bahkan dianggap berbahaya. Dalam tradisi Buddha Mahayana, arogansi (mana) dianggap sebagai salah satu dari lima hal yang dapat meracuni pikiran (klesha). Dalam tradisi Buddha Theravada, arogansi merupakan salah satu dari 10 belenggu yang dapat membeleneggu manusia.

Dalam Talmud –kita suci umat Yahudi-, disebutkan bahwa Allah tidak dapat ‘tinggal’ dalam diri orang yang arogan. Orang-orang yang merasa lebih tahu dari semua orang lainnya dan menuntut mereka untuk tunduk kepada kemauannya dianggap orang jahat (evil) dalam kitab Torah agama Yahudi.

Dalam agama Kristen, Yesus –sang Al Masih- pun tidak menyukai orang araogn, sombong. Yesus bersabda “Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan.” (Matius 23:12).

Agama Islam, sebagai agama samawi termuda, pun tidak menyukai arogansi. Dalam Alquran ada tertulis “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.” (Surah 16:23).

Warren Buffet, sang begawan investasi, dalam “Letter to the Shareholders” di AnnualGeneralMeeting Berkshire Hathaway, mengulas kualifikasi CEO yang akan menjadi penerusnya. Salah satu kekuatan utama seorang CEO yang baik di mata Buffet, saat ini menjadi orang keenam terkaya sejagad ini, adalah “the ability to fight off the ABC of business decay, which are Arrogance, Bureaucracy, and Complacency”, “kemampuan untuk mengikis ABC nya kerusakan bisnis, yaitu Arogansi, Birokrasi, dan Komplasensi”.

Demikian dahsyatnya ‘kanker’ perusahaan ini, sampai-sampai bahkan seorang Warren Buffet pun menyatakan “when these corporate cancers metastasize, even the strongest of companies can falter”, “bila kanker korporasi ini menyebar, maka perusahaan sekuat apapun akan goyah”. “The most obviously damaging of the trio is arrogance”, demikian sabda Buffet sang Begawan. Yang paling mematikan adalah Arrogance, Arogansi.

Arogansi CEO Blackberry jualah yang menyebabkan RIM terpuruk. Arogansi lah yang menjadi penyebab krisis perbankan yang melanda Amerika Serikat menjelang akhir tahun 2008 yang lalu. Krisis perbankan yang dipicu oleh krisis sub–primemortgage telah menimbulkan krisis dahsyat yang juga melanda dunia.

Weber Sandwick, konsultan publicrelations, dalam survei bulan Maret 2015 terhadap 1,700 eksekutif, menyimpulkan bahwa CEO yang dihormati adalah seorang yang tidak arogan, melainkan yang rendah-hati (humble). Humility, kerendah-hatian, telah menjadi topik hangat yang dibahas berbagai media masa di Amerika Serikat.

Sikap rendah-hati membawa dampak positif terhadap kinerja perusahaan. Kalimat pertama yang diucapkan Satya Nadella pada hari pertama menjabat CEO Microsoft adalah “Today is a very humbling day for me”. Nadella melakukan transformasi budaya Microsoft. Ia menekankan kolaborasi dan kerja-sama dalam kelompok (teamwork).Ia pun mengambil inistaif bekerja-sama dengan perusahaan-perusahaan yang selama ini dianggap musuh besar Microsoft. Ia juga tidak segan mengakui kesalahan yang dibuatnya dan segera meminta maaf atas kesalahan tersebut. Bayangkan seorang CEO meminta maaf! Berapa banyak CEO di berbagai perusahaan di negara kita yang sanggup mengaku salah dan meminta maaf? Alih-alih meminta maaf, mereka menyalahkan orang lain atau faktor eksternal sebagai kambing hitam (scapegoat). Akibat perilaku humble Nadella, harga saham Microsoft naik 8%!

Mengatasi Arogansi

Mengatasi arogansi bukanlah hal yang mudah dilakukan. Diperlukan upaya dan keberanian luar biasa bagi seorang arogan menjadi tidak arogan, bahkan menjadi orang yang hati (humble). Namun seperti kata William Shakespeare, sang Begawan sastra berkebangsaan Inggris, “Ifthere is a good will, there is a great way”.

Dari hasil penelitian mereka, para peneliti dari University of Akron dan Michigan State University di Amerika Serikat membawa akabar baik. Mereka menyimpulkan bahwa “Arrogance is a cluster of changeable behaviors.” Arogansi merupakan kelompok perilaku yang dapat berubah. Beberapa hal ini harus dilakukan bila seorang arogan sungguh ingin berubah menjadi tidak arogan.

Bersikap Terbuka. Sikap terbuka adalah faktor terpenting dalam mengatasi arogansi. Untuk mengikis arogansi, seorang yang arogan pertama-tama harus mempunyai sikap terbuka (openminded).

Kepicikan pola pikir, ketidak-mauan menerima pendapat luar adalah masalah utama seorang yang arogan. Tentu amat sulit bagi seorang arogan yang merasa serba-tahu untuk bersikap terbuka terhadap gagasan baru, pemikiran baru, dan informasi baru. Tetapi sikap terbuka itulah langkah besar pertama bagi seorang arogan untuk melangkah keluar dari dunia arogansi yang mengungkung dirinya. Secara tulus dan ikhlas, ia harus belajar mendengar pendapat orang lain, termasuk orang-orang yang selama ini telah diremehkannya.

Hendaknya para CEO mencamkan fakta bahwa sebagai manusia biasa mereka juga punya sejumlah keterbatasan. Kesadaran hal ini akan membuat mereka selalu ingin mencari tahu. Sehebat-hebatnya seorang CEO, ia bukanlah Tuhan yang maha mengetahui, ia bukanlah Allah yang AlAliim.

Fleksible. Setelah berhasil ‘membuka diri’, bersikap terbuka, maka langkah lanjutan yang diharus dilakukan oleh seorang arogan yang benar-benar ingin ‘tobat’ adalah bersikap fleskibel. Seorang yang fleksibel adalah orang yang mampu menyesuaikan pikiran dan perbuatannya menghadapi keadaan baru, peta persaingan baru, dan informasi baru yang tidak dikenalnya, dan yangt asing baginya.

Sikap fleksibel bertolak belakang dengan sikap infleksibel seorang arogan, yang selalu mengabaikan informasi baru. Dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan baru, seorang CEO yang arogan belum apa-apa sudah berpikir apriori “Cara itu tidak akan berhasil! Dulu tidak berhasil dan sekarang pun tidak”.

Last Words

Walaupun memiliki wewenang dan kekuasaan besar –bagaikan seorang raja- dalam organisasi yang dipimpinnya, para CEO bukanlah Tuhan yang maha mengetahui (Al–Aliim), yang maha benar (AlHaqq), dan yang maha pandai (AlRasiid).

Para CEO -betapapun hebatnya, betapapun tinggi pendidikannya (seperti memiliki S3 atau Ph.D.), betapapun berhasilnya menapak karir, betapapun banyak harta kekayaannya- tetaplah seorang manusia biasa yang pengetahuan dan kemampuannya tidaklah tanpa batas. Mereka tetaplah manusia yang pasti tidak tahu mengenai banyak hal, yang keputusannya tidak selalu benar, dan tidak pandai dalam semua aspek organisasi yang dipimpinnya. Ia tidaklah maha tahu dan maha bisa dalam berbagai aktivitas rantai nilai (valuechain) seperti informasi teknologi (IT), keuangan, pemasaran, produksi, dan sumberdaya manusia (SDM).

Bila seorang CEO sebagai pimpinan tertingi organisasi merasa dirinya sebagai dewa atau Tuhan –yang serba maha- maka dapat dipastikan berbagai keputusannya dalam berbagai aspek bisnis tidaklah optimal bahkan bisa keliru sama sekali.

Bila ia ingin organisasi yang dipimpinnya -dan juga dirinya sendiri- berhasil, seorang CEO harus mempunyai sikap dan perilaku rendah-hatI (humble). Seorang CEO yang rendah-hati akan bersedia mendengar masukan apapun -termasuk yang berbeda dengan pendapatnya- dan dari siapapun, termasuk dari orang yang ‘terkecil’ sekalipun dalam organisasi.

CEO yang rendah-hati adalah CEO yang (1) mempunyai mind–set mau belajar tanpa henti. Ia tahu bahwa dari setiap peristiwa selalu ada saja yang dapat ia pelajari, (2) tidak meremehkan para pesaingnya. Ia bersedia mengakui bahwa para pesaingnya adalah pesaing yang juga sama cerdas –bahkan bisa lebih cerdas, dan (3) menyadari bahwa puja-puji media massa adalah sesuatu yang fana dan tidaklah kekal. Puja-puji media malah dapat mengakibatkan seorang CEO arogan sehingga lupa daratan. Mengenai puja-puji media ini hendaknya kita camkan apa yang dikatakan Nancy Gibbs –managingeditor majalah TIME- “It’s time we remember that vanity is not a virtue — and try practicing some humility”. (“The Case for Modesty, in an Age of Arrogance”, TIME, Monday, Nov 09, 2009). Kesombongan bukanlah sebuah kebajikan, usahakanlah untuk mempratekkan kerendah-hatian.

Jim Collins, dosen Stanford Business School, penulis buku laris “From Good to Great” menyimpulkan bahwa greatcompanies –yang tolok ukurnya adalah stockreturn tiga kali lebih tinggi dari stockreturn rata bursa selama 15 tahun- ternyata mempunyai CEO yang rendah hati (humble), yang jauh dari sikap dan perilaku arogan. Darwin Smith, CEO Kimberley Clark (KC), adalah seorang CEO yang senyap dan nyaris tak terdengar, tidak dikenal media massa, tidak menjadi pembawa acara televisi. Namun ia menjadikan KC dari perusahaan biasa-biasa saja menjadi greatcompany. Bahkan ia pernah divonis “you’ll never be a leader” oleh pimpinan sekolah militer. Ternyata vonis tersebut keliru besar. Darwin Smith bukan hanya menjadi seorang pemimpin bahkan menjadi pemimpin besar (greatleader) dari salah satu korporasi Amerika yang menjadi salah satu ikon kejayaan negeri ‘paman Sam’ itu.

Arogansi adalah hal yang amat burukdan menjijikan, sampai-sampai di negeri Arab ada ungkapan “Arrogance is a weed that grows mostly on a dunghill”. Arogansi adalah rumput liar yang tumbuh di atas tumpukan kotoran ternak.

Seorang CEO yang baik bukanlah CEO yang tidak pernah keliru, tidak pernah berbuat salah. Seperti kata ungkapan “To err is human”, membuat kekeliruan adalah manusiawi, demikian kata Alexander Pope, sang penyair Inggris abad 18. CEO sebagai manusia biasa tentu saja bisa keliru. Ciri CEO yang baik adalah babagaimana ia menghadapi kekeliruan yang dibuatnya dan kemudian mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya. CEO yang baik adalah mereka yang tidak terus-menerus melihat sukses masa lalu tetapi secara aktif belajar dari berbagai kekeliruan yang dibuatnya.

CEO yang baik tidaklah cukup hanya tidak arogan tetapi ia haruslah seorang yang rendah hati (humble). Ada banyak kajian yang mengaitkan kinerja perusahaan dan CEO yang rendah-hati. Salah satu adalah penelitian yang dilakukan Ami Ou dari The National University of Singapore bersama rekan-rekannya David Waldman dan Suzanne Peterson dari Arizona State University. Hasil penelitian mereka menyimpulkan bahwa perusahaan yang dipimpin CEO yang rendah hati mempunyai kinerja lebih baik daripada perusahaan yang dipimpin CEO yang tidak rendah-hati.

Ciri-ciri utama orang yang rendah hati (humble) adalah:

Menghargai kelebihan dan kontribusi orang lain. CEO yang rendah hati, yang sadar akan keterbatasan dan kekurangannya, yang sadar bahwa para bawahannya mungkin mempunyai gagasan yang lebih baik dari gagasannya, akan menghargai kontribusi setiap orang dalam organisasi. Mereka bersedia mengganjar (reward) kontribusi orang-orang dalam organisasi secara proporsional.

Seperti dikatakan Bunda Teresa, sang santa yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya bagi orang-orang miskin di India, para CEO hendaknya mempunyai sikap“I can do things you cannot, you can can do things I cannot, together we can do great things”. Sungguh tepat apa yang dikatakan Bunda Teresa tersebut. Bukankah ‘together we can do great things’, bersama-sama kita dapat melakukan hal-hal besar? Bersama-sama dalam organisasi kita dapat melakukan banyak hal besar yang mustahil dilakukan oleh seorang saja, siapaun dia termasuk CEO yang hebat sekalipun.

Hindari dan tinggalkanlah sikap arogan!


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved