My Article

Globalisasi Perlu Diimbangi Kepedulian Sosial

Oleh Editor
Globalisasi Perlu Diimbangi Kepedulian Sosial

Oleh: Ronald Nangoi, Pemerhati Bisnis Internasional

Ronald Nangoi, Pemerhati Bisnis Internasional

Kita sering berpandangan bahwa globalisasi ekonomi berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dunia dan kesejahteraan sosial. Tetapi, banyak dari kita juga prihatin akan efek globalisasi terhadap kehidupan masyarakat, terutama kerusakan lingkungan dan pelanggaran etika. Pandemi Covid-19 menyadarkan masyarakat untuk waspada terhadap kerusakan lingkungan dan kondisi kesehatan. Kebakaran hutan, pencairan gletser, pencemaran air, udara, dan tanah yang menimbulkan pemanasan global secara nyata mengancam lingkungan dan kehidupan manusia. Perilaku tidak etis, seperti korupsi/suap, ikut menciptakan masalah sosial-ekonomi, kemiskinan, dan ketimpangan distribusi pendapatan masyarakat global.

Komunitas bisnis, termasuk perusahaan-perusahaan multinasional, mestinya peduli terhadap masalah-masalah sosial tersebut tanpa harus mengorbankan kinerja bisnis. Hal ini wajar atas dasar pemikiran bahwa:

Perhatian Akan Lingkungan

Isu lingkungan dan kesehatan terlebih pandemi Covid-19 menjadi tantangan masyarakat dunia dewasa ini. Selain World Health Organization (WHO), badan-badan internasional seperti International Monetary Fund (IMF) yang beranggota negara-negara kaya dan negara-negara miskin berupaya mencari solusi global, termasuk pemberian vaksinasi kepada penduduk di seluruh dunia, untuk menyelamatkan kehidupan manusia. Negara-negara diingatkan untuk mengupayakan ketahanan (resilience) negara bangsa dan seluruh aspek kehidupan manusia.

Perhatian dunia yang begitu besar untuk mengatasi masalah pandemi melegakan mengingat begitu banyaknya korban manusia dan kerugian sosial dan ekonomi di berbagai belahan bumi. Banyak perusahaan berskala besar dan kecil di banyak sektor mengalami kerugian antara lain karena tidak dapat beroperasi. Masyarakat dunia menyadari bahwa upaya penyelamatan kehidupan manusia dan masyarakat dunia tidak bisa diserahkan kepada negara secara individual tetapi harus bersama-sama. Namun, kita menyadari juga bahwa masyarakat dunia juga terancam oleh berbagai isu lingkungan selain isu kesehatan akibat Covid-19.

Masyarakat dunia juga sedang menghadapi masalah kerusakan lingkungan sehubungan dengan pemanasan global akibat perubahan iklim global. Pencemaran lingkungan dan kebakaran hutan di beberapa daerah, seperti Amazon di Brasilia, Kalifornia dan negara kita, ikut andil terjadinya perubahan iklim global. Kebakaran hutan tropis berdampak signifikan. Hutan Amazon merupakan sepertiga hutan tropis dunia yang tersisa. Menurut suatu penelitian, yang diterbitkan 14 Juli 2021 di jurnal Nature, hutan Amazon menghasilkan lebih dari 1,1 miliar (metrik) ton CO2, gas rumah kaca, per tahun yang berarti hutan melepaskan lebih banyak karbon ke atmosfir daripada menghilangkannya (Specktor, 2021). Kondisi ini berkaitan dengan pencairan gletser di pegunungan Andes. Hans Nicholas Jong (2019) melaporkan bahwa kebakaran di Indonesia menghasilkan 708 juta ton karbon dioksida setara (CO2e) ke atmosfer, sebagian besar akibat pembakaran lahan gambut yang kaya karbon.

Komunitas bisnis dan industri memiliki andil dalam masalah perubahan iklim, selain kebakaran hutan. Kegiatan manufakturing berdampak langsung dalam bentuk polusi udara, tanah, atau air; dan tidak langsung oleh produk otomotif atau listrik yang menghasilkan kontaminan bahan bakar fosil ke lingkungan. Produksi karbon dioksida dan gas lainnya membentuk atap rumah kaca, menyimpan panas yang kemudian dipantulkan kembali ke ruang angkasa sehingga memanaskan planet akibat pemanasan global.

Tanpa bermaksud membela komunitas bisnis, tetapi kita harus “fair” bahwa kerusakan lingkungan tidak lepas juga dari ulah konsumen atau masyarakat. Maka komunitas masyarakat mestinya ikut bertanggung jawab. Milton dan Rose Friedman dalam buku mereka Free to Choose (1981, hal. 205) berpendapat: “Orang-orang yang bertanggung jawab untuk polusi adalah para konsumen, bukan produsen. Konsumen menciptakan, sebagai adanya, permintaan untuk polusi. Orang-orang yang memakai listrik bertanggung jawab atas asap yang keluar dari pusat-pusat pembangkit listrik.”

Pemanasan global tidak hanya membahayakan lingkungan planet tetapi juga kehidupan manusia. Pencemaran udara, tanah, dan air yang disebabkan oleh industri dan kebakaran hutan mengganggu kesehatan manusian. Pelepasan karbon dioksida dan gas oleh industri dan kebakaran hutan mengakibatkan penyakit asma dan paru-paru. Kondisi ekonomi dan sosial yang buruk juga merusak kesehatan manusia. Kurangnya air bersih, buruknya sarana sanitasi, kebersihan, kondisi kehidupan dan kualitas makanan yang tidak sehat semuanya dapat menyebabkan penyakit diare. Masyarakat dunia masih menghadapi masalah kesehatan berupa HIV/AIDS, TBC, malaria, penyakit tropis, SARS dan ditambah dengan pandemi Covid-19.

Kondisi di atas mendorong upaya global untuk menciptakan lingkungan hidup berkelanjutan. Protokol Kyoto dan UN Framework Convention on Climate Change meminta negara-negara bekerja sama mengurangi pemanasan global dengan mengurangi emisi gas; dan mengusulkan reboisasi untuk mengurangi emisi rumah kaca. Industri manufakturing dan pertambangan seperti batu bara yang banyak melepaskan emisi tentu perlu mendukung upaya masyarakat global untuk melindungi lingkungan hidup.

Perilaku Etika

Dengan sistem perdagangan bebas, ekonomi dunia bertumbuh, terutama dengan munculnya the newly emerging economies. Meski terjadi kemajuan ekonomi, banyak negara tersebut masih bertarung memerangi praktik-praktik korupsi dan suap. Kishore Mahbubani, mantan Duta Besar Singapura untuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), dalam bukunya Beyond the Age of Innocence (2005, hal. 113,115,154) menunjukkan beberapa negara Asia, seperti China yang korupsinya meluas terutama di tingkat lokal; Indonesia khususnya di bawah rezim Suharto, dan Rusia di mana korupsi merajalela setelah kekayaan negara dialihkan bukan ke rakyat tetapi ke segelintir penguasa (oligarch). Dan banyak negara berkembang lainnya, tanpa terkecuali Indonesia, masih menghadapi praktik korupsi dan suap.

Korupsi dan suap melibatkan pejabat dan pengusaha (nepotisme) yang jelas merugikan negara. Keterlibatan keduanya tersurat dalam definisi korupsi dan suap. Korupsi adalah “penyalahgunaan kekuasaan publik untuk bisnis swasta, biasanya dalam bentuk suap” (Peng 2009, hal. 70); dan suap adalah “pembayaran atau janji untuk membayar tunai atau sesuatu yang berharga dan digunakan untuk mendapatkan kontrak pemerintah atau berkolusi dengan pejabat” (Daniels, Radebaugh, & Sullivan, 2013, hal. 236)

Baik korupsi maupun suap secara universal tidak etis dan ilegal. Keduanya dapat melemahkan ekonomi negara (ekonomi biaya tinggi), menciptakan ketimpangan distribusi pendapatan, menurunkan wibawa pejabat pemerintah, menyebabkan kemiskinan, dan melemahkan kinerja dan kredibilitas perusahaan. Tingkat korupsi yang tinggi, misalnya, berkorelasi dengan tingkat pertumbuhan nasional dan tingkat pendapatan per kapita yang lebih rendah (Daniels et al, hal. 236). Praktik klientelisme yang kuat dalam bisnis dan ekonomi beberapa negara Asia secara nyata ikut andil akan krisis Asia 1997.

Akibat berbagai krisis ekonomi, masyarakat dunia berupaya memerangi korupsi dan suap agar tidak mengganggu ekonomi dan bisnis internasional. Perusahaan multinasional tentu segan berinvestasi di negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi, sehingga menghambat investasi asing. Kondisi ini kiranya mendorong badan-badan dunia, seperti OECD, Kamar Dagang Internasional, dan PBB melalui the UN Convention Against Corruption (UNCAC), Transparency International. untuk secara multi-lateral menentang suap. Negara-negara secara individu juga berprakarsa membentuk badan anti-korupsi untuk memerangi suap dan korupsi.

Perusahaan multinasional, terutama dari negara dengan tingkat korupsi yang rendah, tentu menyambut baik prakarsa internasional. Pada tingkat bisnis, banyak perusahaan multinasional menandatangani pakta ‘toleransi nol’ terhadap suap (Partnership Against Corruption Initiative) (Daniels et al, 2013, hal. 238). Tidak sedikit perusahaan besar membuat peraturan dalam perusahaan yang melarang eksekutif menerima hadiah atau mendapat jamuan untuk pertemuan bisnis tidak lebih dari sejumlah dolar AS. Langkah ini merupakan bentuk kepekaan sosial kalangan bisnis. Perilaku etika penting bagi perusahaan untuk meningkatkan daya saing dan mendapat kepercayaan dan dukungan pemangku kepentingan perusahaan.

Kepedulian Sosial Perusahaan

Wajar bagi masyarakat dunia untuk peduli akan pelanggaran-pelanggaran berupa korupsi/suap dan pengrusakan lingkungan, yang berdampak buruk pada kualitas hidup manusia, sosial dan ekonomi. Tanpa mengabaikan perlunya tanggung jawab bersama masyarakat, relevan bagi perusahaan internasional untuk memerangi pelanggaran-pelanggaran tersebut demi perbaikan kualitas hidup masyarakat.

Kami percaya bahwa anti-korupsi/suap tidak hanya memperkuat ekonomi negara, pemerataan distribusi pendapatan, dan penghapusan kemiskinan, tetapi juga menguntungkan perusahaan dalam menghindari biaya yang tidak perlu dan bisa mengurangi nilai dan daya saing perusahaan. Selain menghindari normativisme yang tidak etis, perusahaan juga dapat mengambil bagian dalam proyek sosial seperti pembangunan masyarakat, program kesehatan, pelatihan dan pendidikan bagi masyarakat setempat. Perusahaan yang berperan dalam perlindungan lingkungan jelas akan berkontribusi pada pemeliharaan dan pengembangan lingkungan berkelanjutan dan kualitas hidup manusia.

Apa yang dapat dilakukan oleh perusahaan domestik dan internasional adalah partisipasi dalam gerakan anti-korupsi dan suap sebagaimana diprakarsai oleh sejumlah perusahaan yang bergabung dalam pakta anti-korupsi; dan dukungan dalam penciptaan lingkungan berkelanjutan. Dengan kesadaran akan keterbatasan sumber daya, perusahaan perlu meningkatkan efisiensi operasi. Lagi pula, perusahaan berkelas dunia memiliki kapasitas untuk berkontribusi pada penguatan ekonomi negara dan peningkatan kualitas lingkungan. Perusahaan internasional setidaknya memiliki standar dan operasi bisnis yang bermutu dan kode etik sebagai landasan tanggung jawab sosial ke masyarakat sekitarnya.

Masyarakat jelas mengharapkan perusahaan menerapkan tanggung jawab sosial dan tata kelola perusahaan yang baik. Penerapan keduanya menguntungkan bagi ekonomi dan industri negara tuan rumah serta perusahaan. Perilaku etis dan partisipasi dalam perlindungan lingkungan dapat mendukung pengembangan keunggulan kompetitif perusahaan. Perusahaan seperti ini dapat menciptakan kepercayaan dan komitmen pemangku kepentingan perusahaan dan menghindari risiko pelanggaran hukum. Sebagaimana diketahui, banyak negara telah mengatur anti-korupsi/suap, seperti praktik anti-monopoli dan perlindungan lingkungan. Perilaku seperti itu dapat menciptakan citra positif pada komunitas bisnis yang sering dianggap tidak bertanggung jawab oleh karena perilaku yang tidak etis dan penyebab kerusakan lingkungan. Selain itu, komunitas ini pun akan ikut mendukung upaya masyarakat dunia untuk menciptakan resiliensi negara-bangsa, termasuk resilensi bisnis, dalam menghadapi berbagai tantangan sosial dan ekonomi dunia dewasa ini.

Daniels, J. D., Radebaugh, L. H., & Sullivan, D. P. (2013). International Business: Environments and Operations. Harlow: Pearson Education Limited.

Friedman, M. (1981). Free to Choose. New York: Avon Books.

Jong, H. N. (2019, November 25). Mongabay. Retrieved from news.mongabay.com: https://news. mongabay.com/2019/11/indonesia-fires-amazon-carbon-emissions-peatland/

Mahbubani, K. (2005). Beyond the Age of Innocence. New York: Public Affairs.

Peng, M. W. (2009). Global Business. South-Western Cengage Learning.

Specktor, B. (2021, July 15). amazon-rainforest-accelerate-climate-change.html. Retrieved from LifeScience: https://www.livescience.com/amazon-rainforest-accelerate-climate-change.html


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved