Bambang Brodjonegoro, Memimpin Tiga Kementerian dengan Modal “Mau Belajar”
Sejumlah posisi penting pernah dipegang Prof. Dr. Bambang Brodjonegoro. Namun, putra Prof. Dr. Ir. Soemantri Brodjonegoro (almarhum; menteri di tahun 1960-1970-an) ini mengaku ingin tetap humble dan belajar dari semua orang, termasuk dari anak buah. Tak mengherankan, setiap jabatan yang diamanahkan kepadanya ia terima dengan antusias, penuh passion, dan selalu mau belajar.
Menurut Bambang, sikap seperti ini penting untuk dimiliki seorang leader, apalagi ketika memimpin suatu bidang yang berbeda dengan keahlian utamanya. Ia berpendapat, kerendahan hati membuat seseorang mau belajar lebih banyak. “Seorang pemimpin tidak perlu gengsi untuk belajar dari anak buahnya,” kata lelaki kelahiran 3 Oktober 1966 ini.
Bambang pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan periode 2014-2016 dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas pada 2016-2019. Kemudian, ditunjuk masuk kembali dalam Pemerintahan Joko Widodo sebagai Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala Badan Riset Inovasi Nasional (Menristek/BRIN) 2019-2021.
Bambang mengatakan, selama memegang beberapa posisi menteri itu, salah satu hal yang paling banyak menyita waktu adalah audiensi. Meski begitu, ia menganggapnya berharga dan perlu dilakukan, sebab dari audiensi ia memperoleh banyak hal baru, sebagai bagian dari proses belajar.
Yang tak kalah penting, ia pun belajar menjadi pendengar yang baik. “Kita tidak dimandatkan sebagai pemimpin yang bisa memerintah semaunya. Di alam demokrasi, pemimpin perlu banyak mendengar,” kata pria yang meraih gelar Ph.D dari University of Illinois at Urbana-Champaign, AS ini.
Dari proses belajar seperti itu, Bambang merasa kepemimpinannya terbentuk, paling tidak untuk menjadi teknokrat yang baik. Maksudnya, teknokrat yang memahami metodologi dan ilmu, juga mengerti apa yang menjadi masalah riil di lapangan.
Saat duduk sebagai Menteri Keuangan, ia sukses mengegolkan dua undang-undang penting, yakni UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) dan UU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty).
Menurut Bambang, UU PPKSK merupakan suatu terobosan besar karena pada beberapa periode sebelumnya DPR tidak pernah mau membahas RUU tersebut. “Kami terus melakukan pendekatan dan memberi alasan yang kuat ke DPR hingga akhirnya UU tersebut dapat diterbitkan,” ujarnya. Menurutnya, UU PPKSK menitikberatkan pada upaya pencegahan krisis, terutama melalui pengaturan dan pengawasan yang lebih ketat terhadap kalangan perbankan.
Penerbitan UU Tax Amnesty juga tidak mudah. Pasalnya, pemerintah sebelumnya telah mencoba beberapa kali untuk menerbitkannya, tetapi tidak pernah berhasil, hingga akhirnya pada 2016 UU ini berhasil disahkan. Menurutnya, UU Tax Amnesty ini bersifat mendasar, tidak hanya terkait penerimaan pajak, tetapi memiliki dimensi yang lebih luas.
“Dengan tax amnesty, basis pajak dapat terlihat dengan jelas. Selain itu, repatriasi aset dan peningkatan pendapatan negara juga bisa tercapai,” kata Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI) ini.
Bambang mengakui momen ketika menjadi Menteri Keuangan adalah situasi yang paling menantang baginya. Sebab, di sana ia tidak sebatas memimpin suatu institusi kementerian, tetapi pada dasarnya juga menjadi bendahara umum negara.
Dari pengalaman itu, ia dapat memahami bagaimana sektor keuangan itu berjalan, baik yang bersifat publik maupun komersial. Ia pun semakin mengetahui seluk-beluk prioritas belanja negara dan mekanisme distribusinya hingga mekanisme perimbangan keuangan dengan daerah.
Itu semua, menurut Bambang, menjadi bekal yang baik ketika ditugaskan ke kementerian/lembaga lain. “Bagaimanapun, beroperasinya suatu kementerian dengan programnya harus didukung dengan anggaran. Dengan memahami anggaran, saya juga mengetahui cara menjalankan kementerian lain,” kata mantan Dekan FE UI ini.
Posisi lain yang juga menantang adalah ketika ditunjuk Presiden Jokowi menjadi Menteri PPN/Kepala Bappenas. Menurut Bambang, pada posisi ini tantangannya lebih kepada bagaimana meyakinkan publik serta melakukan dialog yang sifatnya akademis dan teknis, pada suatu hal yang bersifat strategis. Khususnya, ketika ia menjabat, untuk dua hal, yaitu Visi Indonesia 2045 dan Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru yang memang memunculkan banyak pro-kontra.
“Prinsip saya, kalau kita bekerja, kita harus mencoba menjadi yang terbaik, seoptimal dan semaksimal mungkin, dan dari situ legacy akan terlihat dengan sendirinya.” Bambang Brodjonegoro
Pada masa itu, Bappenas membuat framework bagaimana membawa Indonesia ke depan. “Tugas kami adalah menjaga agar kebijakan pemerintah bisa diterima oleh masyarakat,” ungkapnya.
Bambang adalah sosok kunci dalam penyiapan kedua hal tersebut, mulai dari tahap perencanaan hingga implementasi. Visi Indonesia 2045 disusun selama dua tahun, dengan melibatkan semua pemangku kebijakan di lingkungan eksekutif, yudikatif, dan legislatif; pendidikan tinggi, generasi muda; serta berbagai lembaga profesi.
“Visi Indonesia 2045 ini tidak hanya memberi gambaran mengenai wujud Indonesia pada tahun 2045, tetapi juga peta jalan yang mampu dan perlu dicapai pada tahun 2045,” ia menuturkan.
Sementara itu, rencana pembangunan IKN baru, menurut Bambang, bertujuan untuk pemerataan pembangunan yang selama ini terkonsentrasi di Pulau Jawa. Diharapkan, kehadiran IKN baru bisa menjadi dorongan dan sumber pertumbuhan ekonomi baru. Pemindahan IKN juga bertujuan untuk meratakan sebaran penduduk, agar tidak terjadi ketimpangan.
Selanjutnya, Presiden Jokowi menunjuknya untuk memimpin Kemenristek/BRIN. Di masa kepemimpinannya ini, ia langsung menghadapi momen krisis pandemi Covid-19. Untuk itu, ia langsung bergerak cepat dengan membentuk Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 untuk mengatasi hambatan penelitian selama ini. “Konsorsium ini menerapkan pendekatan triple helix untuk menghubungkan dunia penelitian dengan dunia industri dan pemerintah,” katanya.
Di masa pandemi Covid-19, Bambang menilai ekosistem riset dan inovasi justru dapat terbangun lebih mulus dan cepat. “Ini menandakan bahwa komunitas riset dan inovasi punya spirit yang sama untuk membantu pemerintah dalam menangani pandemi ini dengan lebih mengedepankan kemampuan sendiri. Hasilnya, dalam kurun waktu tiga bulan para inovator Indonesia yang tergabung dalam konsorsium ini berhasil mengembangkan solusi berupa 57 produk untuk penanganan Covid-19.
Bambang mengaku secara keseluruhan “menikmati” jabatan di tiga kementerian tersebut. Alasannya, ia memang punya passion untuk bisa berbuat sesuatu yang terbaik untuk bangsa dan negara dengan caranya.
Sejak hari pertama bekerja, ia langsung melihat apa yang perlu dikerjakan. “Sebenarnya, saya tidak terlalu memikirkan apa legacy saya,” ujarnya. “Tetapi, prinsip saya, kalau kita bekerja, kita harus mencoba menjadi yang terbaik, seoptimal dan semaksimal mungkin, dan dari situ legacy akan terlihat dengan sendirinya.”
Bambang mengatakan, yang tak kalah penting, seorang pemimpin harus siap menjadi panutan. Artinya, perilaku, pola pikir, cara berbicara, hingga passion kita akan menjadi panutan anak buah dan tim.
Ia memiliki prinsip, pemimpin tidak boleh pintar sendiri. “Pada level bangsa dan negara, apalagi mencakup sektor yang rumit seperti keuangan dan riset, kita harus bisa menciptakan sinergi di antara banyak orang tersebut,” katanya. (*)