Marketing Trends zkumparan

Fenomena Flexing di Media Sosial, Kaya Beneran atau Boong-boongan?

Fenomena Flexing di Media Sosial, Kaya Beneran atau Boong-boongan?
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Rhenald Kasali (Foto: dok pribadi)

Media sosial kini sering kali dijadikan tempat untuk memamerkan gaya hidup mewah. Mulai dari memamerkan barang-barang branded, mobil yang baru dibeli, jet pribadi, isi rumah, hubungan dengan pasangan, hingga tempat-tempat liburan yang dikunjungi. Apalagi sejak kemunculan TikTok dan Reels Instagram yang dengan cepat membuat sebuah konten viral sehingga mampu menarik lebih banyak viewers dan likes.

Seperti challenge review saldo ATM ‘Ganteng, Review Saldonya dong!’ kata-kata yang diucapkan di video yang banyak beredar di berbagai media sosial. Banyak anak muda yang mengikuti challenge ini dan menunjukkan sisa saldo ATM mereka dengan nilai hingga miliaran rupiah.

Perilaku pamer di media sosial tersebut saat ini dikenal dengan istilah ‘flexing’. Istilah flexing sebenarnya merupakan bahasa slang atau bahasa gaul. Dalam UrbanDictionary.com, arti flexing adalah pamer, menertawakan, membual. Ada juga pengertiannya yang bermakna memamerkan segala sesuatu yang berkaitan dengan uang, seperti tentang berapa banyak uang yang mereka miliki, barang-barang mewah, hingga pakaian-pakaian mahal buatan para desainer terkemuka.

Dalam konteks consumer behaviour, flexing mirip dengan istilah conspicuous consumption atau menggunakan uang untuk membeli barang dan jasa yang mewah dengan tujuan menunjukkan status atau kekuatan ekonomi. Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Rhenald Kasali dalam Youtube-nya menyebut, flexing digunakan seseorang untuk mengirim sinyal kepada orang lain bahwa dia adalah orang yang hebat dan luar biasa.

“Seseorang yang memakai pakaian atau barang mewah dan mempunyai kendaraan mahal, akan terkesan bahwa dia berpenghasilan tinggi. Bahkan saat ini Flexing juga digunakan dalam marketing. Tujuannya untuk membangun kepercayaan customer,” ujar Rhenald.

Dalam produk misalnya, price is a signal of quality. Dengan harga yang tinggi, orang akan berpikir bahwa produk tersebut berkualitas baik. Sementara produk dengan harga murah terkesan murahan dan tidak berkualitas.

Flexing juga digunakan untuk menunjukkan kredibilitas atas suatu kemampuan. Dalam hal ini yang dipamerkan bukanlah harta kekayaan, melainkan sebuah prestasi seperti piagam penghargaan, sertifikat atau foto dengan orang terkenal.

“Cara ini lebih soft. Contohnya ketika pergi ke dokter, Anda akan melihat sertifikat dari kampus terkenal bahwa dokter tersebut pernah lulus kursus atau pendidikan tertentu, [sertifikat itu] ditaruh di belakang tempat duduk dia praktek. Di salon-salon kecantikan, mereka juga memasangnya, dia muridnya siapa, kursus dimana. Seperti itu cara mereka mengirim sinyal,” jelas Pendiri Rumah Perubahan tersebut.

Cara flexing antara laki-laki dan perempuan berbeda. Menurut Rhenald, laki-laki biasanya menggunakan mobil, sedangkan perempuan menggunakan tas atau sepatu. Bedanya laki-laki menggunakan mobil untuk menarik impresi lawan jenis, terutama ketika pertama kali mengajak pacaran. Sementara, perempuan menggunakan barang-barang branded tersebut untuk mengimpresi perempuan lainnya. “Untuk menunjukkan kepada perempuan lain bahwa dia mampu memiliki itu, dia lebih daripada yang lain, dia bisa mempunyai banyak hal,” ucap Rhenald.

Rhenald mengatakan, flexing adalah gejala sosial media yang tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di semua negara yang telah mencapai kemakmuran seperti Tiongkok. Berbeda dengan Amerika dan Eropa, di mana masyarakatnya sudah menuju tingkatan tertentu sehingga mereka sudah tidak pamer lagi.

Di Cina, Flexing seringkali digunakan untuk mendapatkan pasangan. Bahkan, diketahui ada program pelatihan khusus agar seorang perempuan bisa menikah dengan laki-laki di kalangan atas. Mereka harus mengikuti rangkaian pelatihan dan mengubah gaya hidupnya, mulai dari operasi bedah plastik, diajarkan bagaimana caranya travelling secara grup ke suatu tempat tertentu, membuat foto ala sosialita, hingga diajarkan cara membalas chat agar terlihat mereka berasal dari kalangan tertentu.

“Internet selebriti di Cina sangat banyak, dan banyak sekali anak-anak muda yang ingin hidup enak yaitu menikmati easy money, tidak mau bekerja keras seperti generasi-generasi sebelumnya. Karena dengan cara flexing ini ternyata mereka bisa memancing keberuntungan,” tuturnya.

Barangkali flexing telah menjadi tren gaya hidup yang dipercaya oleh sebagian orang bahwa itu adalah sinyal untuk membawa keberuntungan. Namun menurut Rhenald, pada dasarnya orang yang benar-benar kaya adalah orang yang menjaga privasi. Mereka mengutamakan comfort dan quality, bukan label/merek besar.

“Kalau mereka menyebutkan kaya barangkali mereka justru belum kaya. Orang kaya tidak pamer, mereka justru ingin mengejar privasi. Mereka tidak perlu gelar yang complicated, bagi mereka apa yang mereka bisa lakukan dengan gelar itu. Mereka tidak perlu menjelaskan diri mereka pada orang lain, justru mereka yang selalu bertanya,” ujar Rhenald.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved