Economic Issues

Pemerintah Tetapkan Kuota dan Zona Tangkapan Laut

Pemerintah Tetapkan Kuota dan Zona Tangkapan Laut

Tahun ini, sebuah aturan baru diterapkan di seluruh kawasan perairan laut Indonesia. Penangkapan ikan, baik oleh korporasi maupun nelayan kecil, akan dibatasi wilayah dan kuota, demi kelestarian laut. Namun, nelayan masih mempertanyakan praktiknya nanti.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono menyebut kebijakan ini adalah bagian dari upaya menjaga kesehatan laut. Berbicara di Yogyakarta, Jumat (28/1), Sakti mengatakan kesehatan laut bertumpu salah satunya, pada produktivitasnya.

“Kita selalu dihadapkan pada illegal, unreported, dan unregulated fishing. Illegal-nya sering dianggap dari luar, padahal juga termasuk dari dalam. Karena tidak dilaporkan berapa yang diambil dan tidak diregulasi dengan baik,” kata Sakti.

Untuk mengatasi persoalan itulah, lanjut Saksi, kebijakan yang akan diterapkan ke depan adalah penangkapan hasil laut yang terukur. Salah satu caranya adalah pembatasan kuota penangkapan itu sendiri.

Kapal penangkap ikan berlabuh di Pelabuhan Sadeng, Yogyakarta. (VOA/Nurhadi)
Kapal penangkap ikan berlabuh di Pelabuhan Sadeng, Yogyakarta. (VOA/Nurhadi)

Sakti memaparkan, data Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) menyebut, data produksi tahunan Indonesia mencapai 12,2 juta ton. Dari jumlah itu, tangkapan maksimal nasional yang diijinkan hanya 80 persennya, atau sekitar 9 juta ton.

“Saya akan potong lagi. Hanya 5 juta ton saja yang boleh diambil. Sehingga keberlangsungan ekonomi laut itu bisa untuk generasi mendatang,” tegas Sakti di kawasan Pantai Parangtritis, Yogyakarta.

Sistem kuota ini juga berlaku bagi nelayan tradisional. Dengan pengenaan wilayah tangkap sesuai nama dan sesuai alamat, Sakti memberi contoh, nelayan luar daerah tidak akan diperbolehkan menangkap ikan di kawasan Parangtritis, Yogyakarta. Aturan ini berlaku merata di seluruh tanah air. Sebagai bentuk keseriusan, Sakti bahkan menjanjikan bahwa pihaknya akan melakukan pengawasan melalui satelit, air surveilans, dan kapal patroli selama 24 jam sehari.

Menurut Sakti, jika dihitung, total potensi sumber daya laut Indonesia mencapai Rp 280 triliun per tahun. Kementeriannya membatasi pemanfaatan potensi itu hingga maksimal Rp 120 triliun per tahun.

KKP telah membagi perairan laut Indonesia menjadi enam zona. Zona satu adalah Laut Natuna Utara di area tiga provinsi. Zona dua ada di kawasan Sulawesi Utara hingga Biak. Zona tiga adalah Laut Arafuru, Laut Banda dan Laut Aru. Sedangkan zona empat meliputi kawasan selatan Aceh memanjang di garis Samudera Hindia sampai wilayah Kupang, NTT. Zona lima ada di area Selat Malaka.

Kapal melintas di Selat Sunda.foto Nurhadi
Kapal melintas di Selat Sunda.foto Nurhadi

“Zona enam meliputi Laut Jawa dan Sulawesi. Satu zona tidak boleh dimasuki investor, yaitu zona laut Banda yang dikhususkan untuk nelayan tradisional karena masuk wilayah konservasi,” kata Sakti lagi.

Nelayan Butuh Kejelasan

Sebagai salah satu upaya menjaga kelestarian laut Indonesia, nelayan kecil bisa memahami keputusan pemerintah untuk menetapkan kuota dan zona tangkapan ikan. Namun, Budi Laksana dari Serikat Nelayan Indonesia mengingatkan, belajar dari pengalaman yang sudah ada, dibutuhkan upaya lebih besar untuk menerapkan kebijakan.

“Misalnya Jepang dan negara-negara di luar negeri, memang diberlakukan kuota. Tapi memang di sana disiplin. Disiplin itu maksudnya penegakan aturannya, hukumnya, segala macam. Nah disini kan saya melihatnya ketika itu diberlakukan, saya lihat ke bawahnya ini kan masih berantakan gitu ya,”kata Budi.

Budi memberi contoh, bagaimana kebijakan yang pernah diterapkan tidak berjalan dengan baik. Misalnya soal kewajiban mengisi log book, yang menurut Budi seharusnya dilakukan ketika nelayan usai menangkap ikan. Nelayan harus menyampaikan laporan tentang hasil tangkapannya. Namun, aturan ini tidak berjalan, baik karena nelayan yang tidak taat, juga karena tidak jelas siapa yang mengawasinya.

Nelayan juga diwajibkan membuat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sebagai syarat dalam mengurus hal-hal tertentu. Namun setelah itu, nelayan sendiri tidak paham apa sebenarnya tujuan dan manfaat pembuatan kartu itu saat ini.

“Saya yakin, sekitar 80 persen nelayan, baik yang besar maupun kecil, belum memahami aturan baru yang diterapkan KKP ini,” tambah Budi.

Dia mengaku, pernah diundang KKP di Bandung beberapa waktu lalu, untuk menerima penjelasan terkait kebijakan kuota dan zona. Tetapi pertemuan itu masih menyisakan banyak pertanyaan terkait detil aturan dan penerapan di lapangan.

Soal zonasi misalnya, kata Budi, mayoritas nelayan kecil menangkap ikan di wilayah pantai. Tidak mungkin mereka disamakan dengan nelayan lepas pantai. Selain peralatan tidak memungkinkan, nelayan kecil juga tidak cukup modal melaut jarak jauh. Tidak pada tempatnya, kata Budi, jika kebijakan terhadap nelayan besar atau investor, dikenakan pula ke nelayan kecil.

Kapal ikan kecil milik nelayan berderet di Pantai Ngrenehan, Yogyakarta.foto Nurhadi
Kapal ikan kecil milik nelayan berderet di Pantai Ngrenehan, Yogyakarta.foto Nurhadi

Nelayan, kata Budi, juga mempertanyakan siapa yang memiliki wewenang untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan itu di laut. Misalnya, jika kelompok nelayan diberi kuota 1 ton, tetapi pada catatannya mereka mengeksplorasi hingga 2 ton, siapa pihak yang akan memberikan sanksi. Bagaimana pula jika nelayan tetap menangkap setelah kuotanya terpenuhi, apa yang akan dilakukan pada hasil tangkapannya.

Budi mengingatkan, tidak semua tempat pelelangan ikan dan tempat pendaratan ikan yang ada berfungsi. Karena itu, akan sangat sulit mengawasi penerapan kebijakan itu nantinya. Meski Budi mengaku sepakat, bahwa rencana tersebut bertujuan baik dan akan mendukung kelestarian laut Indonesia.

“Ini agak rumit. Unsur yang di bawah belum dilakukan. Pemerintah bicara soal kuota dan keberlanjutan, tetapi tidak pernah ditegakkan hukumnya. Nampak, tetapi tidak dilakukan. ini yang bikin rumit,” tandasnya. [ns/ab]

Sumber: VoAIndonesia.com


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved