Management Trends zkumparan

Penyediaan Obat Harus dengan Sistem Transparan dan Akuntabel

Penyediaan Obat Harus dengan Sistem Transparan dan Akuntabel

Lead of JKN Drug Enlistment Task Force International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), Banarsono Trimandojo mengungkapkan bahwa selama krisis kesehatan dua tahun ke belakang, Pemerintah Indonesia telah menyesuaikan cara kerja dan mengkaji sejumlah kebijakan jangka pendek, menengah, dan panjang pada berbagai sektor, tak terkecuali sektor kesehatan.

Salah satu instrumen regulasi yang diterapkan adalah Perpres No. 12 Tahun 2021 tentang aktivitas pengadaan barang dan jasa. Di dalamnya, tercantum enam prinsip pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah yaitu efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel.

Menyoroti perubahan lainnya dari Perpres No. 12 tahun 2021 adalah masing-masing satuan kerja pemerintah dalam hal ini fasilitas dan pelayanan kesehatan (Rumah Sakit dan Puskesmas) dengan status Badan Layanan Umum, Dinas Kesehatan, hingga institusi di Pemerintah Pusat memiliki kewenangan dalam melakukan negosiasi langsung dengan pihak penyedia obat di e-katalog.

Lalu, adakah dampak dari perubahan ini? Menurut Banarsono, adanya perubahan sistem negosiasi oleh penyedia layanan kesehatan menciptakan sejumlah tantangan dan implikasi, khususnya pada prinsip akuntabilitas dan transparansi selama kegiatan pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah.

Pertama, saat ini terjadi multitafsir tentang implementasi regulasi, yaitu pemahaman antara ‘Harga Eceran Tertinggi/HET’ dengan ‘Harga Perkiraan Sendiri/HPS’ dalam sistem pengadaan obat di e-katalog digunakan secara bersamaan, sehingga memunculkan pengertian yang berbeda mengenai penetapan harga obat dalam katalog obat. “Padahal, obat merupakan komoditas kemanusiaan yang strategis guna peningkatan kualitas kesehatan masyarakat secara umum, artinya tidak dapat disamakan dengan barang dan jasa lainnya, contohnya infrastruktur dan perbankan,” tegas Banarsono.

Kedua, dalam implementasinya, Perpres No. 12 Tahun 2021 memunculkan tantangan dengan kebijakan dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP). h. Dalam kebijakan LKPP, disebutkan bahwa Harga Eceran Tertinggi (HET) akan menciptakan perbedaan harga dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang mana adalah acuan satuan kerja dalam melakukan negosiasi dengan penyedia di e-katalog. Dengan demikian, akan tercipta ketidakpastian bagi satuan kerja pelayanan kesehatan dan perusahaan farmasi, yang memengaruhi proses pengadaan obat.

“Adanya tantangan selama pengadaan obat oleh para penyedia layanan kesehatan tentunya akan secara tidak langsung berimbas pada rantai pasokan dan ketersediaan obat yang akan dirasakan oleh masyarakat secara umum,” tegas Banarsono. Bahkan, menurutnya, adanya variasi harga hasil negosiasi oleh satuan kerja penyedia fasilitas pelayanan kesehatan berpotensi menciptakan fraud selama proses klaim di BPJS Kesehatan setelahnya.

Terakhir, Perpres berpotensi menjadi titik balik krusial bagi ketersediaan obat-obatan di seluruh Indonesia jika setiap satuan kerja penyedia layanan kesehatan memiliki otoritas untuk menyediakan obat dengan ketentuan masing-masing. Menurut Banarsono, hal ini akan menimbulkan kesenjangan harga dan ketersediaan rantai pasokan yang secara langsung akan berdampak pada perawatan pasien. “Obat – obatan adalah hak dasar kemanusiaan yang harganya tidak tergantikan atau bisa mengorbankan nyawa jika tertunda atau ditolak,” tegasnya lagi.

Menghadapi tantangan ini, Banarsono memberikan sejumlah rekomendasi guna mempercepat ketersediaan obat. Pertama, tentu saja memastikan perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi secara efektif dalam sistem pengadaan publik untuk memenuhi kebutuhan obat masyarakat. Inefisiensi dan hambatan rantai pasokan obat-obatan akan mengganggu pemerintah dalam menerapkan jaminan kesehatan masyarakat.

Kemudian, pemerintah perlu memperkuat aspek transparansi dan klarifikasi dalam penetapan harga atau harga referensi serta kebijakan kategorisasi lainnya, khususnya pada obat-obatan.

“Sebagai mitra strategis pemerintah dalam penguatan infrastruktur kesehatan, IPMG siap terlibat dalam proses peningkatan dalam pelaksanaan teknis dari Perpres 12/2021, terutama dalam memberi kepastian tentang ketersediaan obat dalam rantai pasokan,” ujar Banarsono.

Selain itu, IPMG juga mengusulkan agar Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan mengeluarkan surat edaran guna menerangkan jenis – jenis obat yang telah memiliki fixed price, termasuk obat program rujuk balik, obat penyakit kronis, dan perawatan kemoterapi yang menentukan kelangsungan nyawa pasien.

Editor : Eva Martha Rahayu

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved