Bank Tabungan Negara, Tiga Tahap agar Karyawan Engaged dan Produktif
Pandemi, diakui Eko Waluyo, Direktur Compliance and Legal PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk., telah menghadapkan perusahaannya pada dua tantangan. Pertama, membuat karyawan dan keluarga besarnya tetap sehat serta memiliki akses kesehatan yang memadai. Kedua, membuat karyawan tetap produktif.
Bagi BTN, kedua tantangan ini sangat menarik. Maklum, jumlah karyawan mencapai lebih dari 11 ribu orang. Pada tantangan pertama, jika dikalikan dengan keluarga karyawan, sedikitnya ada lebih dari 40 ribu orang yang mesti diperhatikan akses kesehatannya.
Menjawab tantangan tersebut, BUMN ini pun melakukan upaya secara taktis dan efektif. Pada isu kesehatan, agar karyawan aman dan nyaman, BTN memberikan vitamin dan masker; mengecek kesehatan di area kantor; juga melakukan tes swab antigen dan PCR.
Kemudian, jika ada yang terinfeksi Covid-19, perusahaan memastikan yang bersangkutan mendapat layanan medis terbaik karena perusahaan sudah bekerjasama dengan banyak rumah sakit. Bahkan, mereka mendirikan Safe House BTN di beberapa titik untuk memberikan layanan kesehatan.
BUMN perbankan ini juga menyediakan layanan antarjemput karyawan di Jabodetabek sehingga jika harus bekerja, karyawan tidak diganduli rasa waswas karena mesti naik transportasi umum. Karyawan pun diedukasi seputar Covid-19 sehingga memahami penyakit ini, termasuk cara pencengahannya.
Intinya, BTN menjamin lingkungan kerja memenuhi aspek CHSE (kebersihan, kesehatan, dan keamanan). Sehingga, memberikan rasa aman dan nyaman, serta kepercayaan kepada karyawan dalam bekerja di era pandemi.
Adapun pada isu produktivitas, menyadari pandemi membawa perubahan besar pada pola bekerja, BTN pun membuat kebijakan yang adaptif. Dalam urusan pekerjaan, misalnya, dibuat aturan pola kerja yang sesuai dengan keadaan, yakni work from home dan work from office (WFH-WFO).
Menurut Eko, perbankan termasuk sektor industri yang diperbolehkan beroperasi atau tetap melayani. Saat di awal pandemi, ketika perusahaan lain bisa 100% WFH, BTN tidak bisa melakukannya.
“Jadi, yang dilakukan kala itu unit kerjanya diklasifikasikan ada yang critical (harus hadir dalam melayani atau menjalankan operasional bank) dan ada juga yang non-critical. WFH juga dilakukan dengan berdasarkan tingkat PPKM yang berlaku saat itu. Ketika kasus sedang tinggi, perusahaan pernah memberlakukan 75% WFH dan 25% WFO,” katanya.
Di samping mengatur jam kerja (WFH dan WFO), mereka juga beradaptasi dalam hal monitoring pegawai, komunikasi, serta distribusi pekerjaan. “Selain itu, untuk learning juga berubah. Untuk membuat mereka tetap mendapatkan pendidikan, perusahaan membuat digital learning,” dia menambahkan.
Bukan hanya pola kerja yang berubah. Selama pandemi, proses bisnis pun berubah, demikian pula cara nasabah berinteraksi dengan bank. Salah satu contohnya, dulu orang yang akan melakukan transaksi keuangan biasanya harus datang ke bank, termasuk yang akan serah-terima rumah, mesti hadir untuk melakukan akad kredit.
BTN berinovasi dengan cara membuat akad kredit drive thru. “Ini bukan hanya perubahan dalam transaksi, tetapi juga bagaimana pegawai harus beradaptasi sehingga tetap bisa memberikan pelayanan kepada nasabah,” kata Eko.
Selain dituntut berinovasi, karyawan pun mesti beradaptasi dengan perubahan pola interaksi antara nasabah dan bank. Dalam hal pelayanan terkait collection, umpamanya. Sesuai dengan kebijakan pemerintah, dilakukan restrukturisasi kredit. Ini berdampak besar: yang awalnya hanya 1-2 orang melakukan restrukturisasi, saat pandemi, angkanya bisa jutaan orang.
“Anak milenial ini touch-nya beda. Oleh karena itu, pemberdayaannya dilakukan secara unik. Pemberdayaan artinya bagaimana mereka lebih produktif.” Eko Waluyo, Direktur Compliance and Legal PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk.
Kondisi ini berefek ke pegawai. Pekerjaan mereka jadi bertambah. Menyiasatinya, BTN melakukan shifting karyawan. Mereka yang beban pekerjaannya berkurang karena pandemi, dijadikan tim khusus untuk membantu mengatasi hal ini.
Yang menjadi berkah tersembunyi dari pandemi, kata Eko, adalah percepatan transformasi digital di tubuh BTN. Kini, jika dilihat data transaksi loket, nasabah yang datang ke teller porsinya 20%-30%, sementara sisanya melakukan transaksi di media digital. Melihat tren perubahan perilaku ini, tak lama lagi BTN akan meluncurkan super app untuk menyempurnakan mobile banking-nya.
Ke depan, dengan kekuatan teknologi digital, BTN bahkan merasa perlu membangun bisnis yang terhubung secara kuat dengan value chain dan ekosistemnya. Mereka meyakini teknologi digital bisa menghubungkan semua elemen pelaku bisnis yang ada di sekitar bisnis yang dijalankan.
“Yang terkait sektor perumahan lebih dari 170 jenis industri. Untuk membangun satu unit rumah, dibutuhkan lima tenaga kerja. Jika pemerintah mencanangkan satu juta rumah/tahun, ini akan menciptakan 5 juta lapangan pekerjaan. Maka, konsep ke depan harus bisa memanfaatkan platform yang mampu mengakomodasi seluruh pelaku properti,” Eko menjelaskan peluang yang terbuka.
Dengan dinamika yang telah berlangsung selama pandemi, BTN berupaya keras menyesuaikan diri agar tetap menjadi korporasi yang nyaman buat bekerja. Di luar perhatian pada aspek kesehatan, mereka terus memonitor faktor-faktor yang memengaruhi engagement karyawan. Terkait hal ini, ada tiga tahap yang dilakukannya.
Pertama, membangun employee value proposition. Dalam hal ini, unsur learn, growth, dan contribute terus ditingkatkan sehingga karyawan merasa belajar, tumbuh, dan berkontribusi positif. Bank ini ingin karyawannya merasa bahagia ketika melihat masyarakat memiliki rumah yang sehat dan layak. Itu artinya mereka telah berkontribusi positif.
“Perusahaan ingin karyawan tidak hanya menikmati benefit yang diberikan BTN, tetapi ada impact social yang dibangun,” Eko menandaskan.
Yang kedua, dalam meningkatkan level engagement karyawan, perusahaan juga menanamkan prospek sebagai bank yang fokus pada pembiayaan perumahaan dan ingin menjadi yang terbesar di Asia Tenggara pada 2025. Adapun yang ketiga, memberikan recognition yang baik. “Bukan hanya mengenai gaji, tetapi memiliki arti bekerja di BTN. Perusahaan membuatkan berbagai macam program, seperti pemilihan best employee dan best sales,” ungkapnya.
Yang menarik, dari 11 ribu karyawan, jumlah generasi milenial semakin membesar, mencapai 78%. Lantas, bagaimana mereka membangun enablement di kalangan milenial?
“Anak milenial ini touch-nya beda. Oleh karena itu, pemberdayaannya dilakukan secara unik. Pemberdayaan artinya bagaimana mereka lebih produktif,” Eko menjawab. Di sini, dia menambahkan, ditempuh dua cara. Pertama, dari cara kerja. Perusahaan melakukan pendekatan yang membuat anak-anak milenial selalu berkolaborasi dengan tim. Kedua, materi komunikasi dan pembelajaran yang diberikan lebih banyak dalam bentuk visual.
“Dalam bekerja, mereka lebih suka gaming sehingga saat ini bekerja di lapangan modelnya seperti kompetisi. Jadi, ada dashboard untuk melihat pencapaian atau performance-nya, misalnya top sales dalam minggu tersebut,” katanya.
Mengelola karyawan agar engaged dan produktif memang membutuhkan metode tersendiri. Sejauh ini, manajemen BTN mampu membuat karyawannya produktif terlihat dari kinerja yang solid.
Menutup tahun 2021, BTN membukukan laba bersih Rp 2,37 triliun sepanjang 2021, melonjak 48,3% dibandingkan tahun sebelumnya. Kemudian, untuk kuartal I/2022, bank ini sukses meraup laba bersih Rp 774 miliar, melonjak 23,89% dibandingkan periode yang sama tahun 2021. (*)
Teguh S. Pambudi & Sri Niken Handayani