Trends Economic Issues

Kearney Ungkap Data Defisit Perdagangan Indonesia Capai US$3,6 Miliar

Kearney Ungkap Data Defisit Perdagangan Indonesia Capai US$3,6 Miliar
Sepanjang tahun 2015 – 2019, net export di Indonesia justru menurun hingga US$11,1 miliar

Menghadapi Revolusi Industri 4.0 yang kian cepat dan masif, setiap pelaku industri dituntut untuk dapat melakukan adaptasi dan transformasi di berbagai sektor manufaktur. Mengutip dari laporan studi terbarunya ‘Transformasi Menuju Manufaktur Digital Indonesia yang Produktif dan Kompetitif’, Shaun Djuhari, Senior Management Consultant di Kearney, menjelaskan lebih dalam terkait isu dan strategi berbasis transformasi digital di sektor perindustrian.

Shaun mengatakan, sektor manufaktur telah berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (GDP) Indonesia dengan pencapaian angka tertinggi pada 2020 sebesar 20 persen. Namun jika dilihat sepanjang tahun 2015 – 2019, net export di Indonesia justru menurun hingga US$11,1 miliar dari trade surplus sebesar US$7,7 miliar tahun 2015, menjadi defisit perdagangaan minus US$3,6 miliar tahun 2019.

Menurut studinya, Shaun menganalisa bahwa faktor perkembangan industri di segmen manufaktur berbasis kompleks turut memengaruhi terjadinya defisit perdagangan yang paling signifikan di Indonesia. Beberapa industri yang telah diperhitungkan oleh dunia sebagai manufaktur berbasis kompleks, di antaranya; bahan kimia dan turunannya, elektronik, besi dan baja, mesin dan mekanis, alat medis, instrumen ilmu pengetahuan, serta transportasi.

Tingkat daya saing Indonesia dalam lingkup perindustrian mulai dirampas akibat adanya unsur produktivitas yang stagnan, serta minimnya adopsi teknologi berbasis inovasi digital. Shaun lalu memaparkan bahwa ekspor Indonesia masih didominasi oleh faktor komoditas dan manufaktur berbasis dasar, contoh industri tekstil dan pakaian. Sebaliknya, negara-negara tetangga di Asia telah mulai menjadi pemain ekspor di bidang manufaktur berbasis kompleks.

Indonesia juga sudah mulai menurunkan posisinya sebagai negara perindustrian berbiaya rendah, karena berhasil melampaui Thailand dan Vietnam hingga dua kali lipat biaya tenaga kerja yang dicapai selama 15 tahun terakhir. Sekarang, Indonesia menempati posisi tenaga kerja paling mahal dengan kisaran angka mencapai US$280 per bulan dibandingkan Thailand dan Vietnam secara berurutan sebesar US$255 per bulan dan US$180 per bulan.

Shaun pun menganalisa bahwa ada empat faktor kesuksesan yang dimiliki negara perindustrian terdepan di dunia, di antaranya China, Jerman, Korea Selatan, dan Vietnam. “Semua negara percontohan yang telah kami tinjau mempunyai Service Model, Digital Industry Foundation, Digital Ecosystem, dan sistem pemerintahan yang sangat canggih. Dengan melihat dan meniru tentang bagaimana negara tetangga telah melakukannya, kami yakin Indonesia bisa menjadi manufacturing powerhouse lagi,” Shaun mengungkapkan.

Sepanjang periode 15 tahun yang signifikan dalam ekonomi negara mereka, China (Chinese Economic Reform, 1985-2000), Korea Selatan (Heavy Chemical Industry Drive, 1965-1980), Vietnam (Post-Joining World Trade Organization, 2005-2020) telah mentransformasikan portofolio industri mereka menuju manufaktur berbasis kompleks secara mayoritas.

Transformasi bahan ekspor tertinggi yang didominasi oleh minyak, pakaian, hingga tekstil kini meningkat menjadi produsen elektronik, mesin dan mekanis, serta otomotif. Setelah menganalisis aspek tersebut, dapat dilihat pada tahun 2020, setiap negara percontohan telah memiliki portofolio industri lebih dari 55 persen di segmen manufaktur berbasis kompleks. Sedangkan, Indonesia masih berada di kisaran angka 30 persen untuk kategori manufaktur berbasis kompleks dengan dua bahan ekspor tertinggi yaitu minyak sawit dan batu bara.

Negara maju lainnya juga mengadopsi teknologi Revolusi Industri 4.0 secara ekstensif dengan memanfaatkan sensor Internet of Things (IoT), Artifical Intelligence (AI), dan menerapkan robot industri di pabrik-pabrik mereka. Contohnya, perusahaan Fujitsu yang menggunakan sensor IoT di pabriknya, mampu meminimalisir beban waktu produksi sebesar 80 persen.

Tidak hanya itu, pemain besar di industri otomotif, BMW, mengadopsi teknologi Supply Chain Management berbasis AI untuk memprediksi permintaan inventori, sehingga mampu mengurangi biaya logistik ke pabrik mereka di China sebesar 70 persen, dan Volkswagen yang sukses menerapkan robotik terkini di pabriknya, juga berhasil mencapai efektivitas pemotongan biaya hingga 87 persen.

Mengintip kesuksesan China dan Vietnam di segmen manufaktur kompleks, negara-negara tersebut juga mempunyai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang sangat maju sehingga mampu menarik pemain-pemain global seperti Samsung, Intel, Lenovo, Toyota, Volkswagen, dan lainnya. Tidak ketinggalan, Indonesia juga telah mengaktifkan sembilan KEK Industri pada tahun 2021. Shenzhen adalah KEK sukses yang paling sering disebutkan, karena bermula sebagai desa nelayan dan telah mampu menggandakan hingga 10 ribu kali lipat GDP menjadi 415 miliar US$ tahun 2020.

Kearney mengajak pemain-pemain industri untuk bergabung bersama dengan melaksanakan dua program utama, yaitu restrukturisasi portofolio manufaktur berbasis high-tech dan akselerasi 4IR (Revolusi Industri 4.0). Indonesia dapat membuat produk bernilai tinggi seperti alat ICT, kendaraan elektrik (EV), industrialisasi baterai, energi terbarukan, chip komputer, bioteknologi, serta alat medis.

Lebih jauh, penggunaan teknologi 4IR seperti IoT, AI, robotik dan alat serupa juga harus diimplementasikan di pabrik-pabrik lokal. Dalam penutup studinya, Shaun menjelaskan pentingnya berkolaborasi dengan beberapa perusahaan terbuka seperti Pertamina, Hyundai, Telkom Indonesia, IBM, Kawasaki, dan lainnya.

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved