Asa Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia
Oleh: Dewa Gde Satrya, Dosen Hotel & Tourism Business, School of Tourism, Universitas Ciputra Surabaya
“Rethinking tourism” memiliki esensi pada menempatkan manusia dan alam sebagai subyek yang harus diprioritaskan dan diperhitungkan dalam industri pariwisata pasca pandemi. Momentum ini merefleksikan sejauhmana kontribusi pariwisata pada kesejahteraan masyarakat – terutama masyarakat di sekitar destinasi wisata – kelestarian alam dan pemuliaan budaya lokal.
Perihal terakhir, penelitian Yesaya Sandang dan Stroma Cole (theconversation.com, 11/10/2022), menginformasikan, di Yogyakarta, penggunaan air tanah oleh hotel/kondotel memicu protes dari warga sekitar. Warga setempat juga telah membentuk koalisi untuk menuntut keadilan dalam pengelolaan air. Salah satu pedoman untuk menerapkan praktik pengelolaan air berbasis hak asasi manusia yang inovatif adalah Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UNGP).
Merujuk pada laporan Komisi Kebudayaan Komisi Ilmu Pengetahuan Dasar, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (Januari 2022), paradigma pembangunan ego-centric yang cenderung sektoral perlu diubah menjadi eco-centric berbasis ilmu yang transdisiplin. Hal itu akan mendorong pelaksanaan ekonomi sirkuler berbasis sumber daya alam yang tangguh dan berkelanjutan untuk memecahkan masalah terkait kepentingan ekonomi dan ekologi yang menghormati hak setiap warga negara.
Sejumlah permasalahan masyarakat lokal muncul sebagai dampak pembangunan yang tidak eco-centric, pertama, Orang Rimba kehilangan ruang hidup, penghidupan, dan tradisi budayanya karena pengalihan wilayah hutan komunal ke perkebunan kelapa sawit di Jambi (Prasetijo 2016). Kedua, masyarakat lokal di Kalimatan, Sulawesi, dan Papua tergusur oleh perkebunan monokultur kelapa sawit, pertambangan, dan program transmigrasi (Siscawati dkk. in press). Ketiga, terjadinya penolakan oleh masyarakat terhadap industri ekstraktif, seperti: industri geotermal di Gunung Talang, Sumatera Barat, tambang batu bara di Kalimantan Tengah, pabrik semen di Rembang dan Pati, Jawa Tengah dan tambang pasir laut di Sulawesi Selatan (Hidayati 2021).
Peraturan Presiden Nomer 111 tahun 2022 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan menyatakan, tujuan pembangunan berkelanjutan 2024 untuk menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang inklusif, dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dalam rangka mencapai salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, kesempatan kerja yang produktif dan menyeluruh, serta pekerjaan yang layak untuk semua, maka sasaran global pembangunan berkelanjutan pada tahun 2030 menyusun dan melaksanakan kebijakan untuk mempromosikan pariwisata berkelanjutan yang menciptakan lapangan kerja serta mempromosikan budaya dan produk lokal, ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia dengan tujuan pembangunan berkelanjutan 2024 sebagai berikui; pertama, meningkatnya kontribusi pariwisata menjadi 4,5% terhadap PDB dari tahun dasar 2020 sebesar 4%. Kedua, meningkatnya jumlah wisatawan mancanegara menjadi l6-17 juta. Tahun dasar 2020 sebesar 4,05 juta. Ketiga, meningkatnya jumlah perjalanan wisatawan nusantara menjadi 320-335 juta perjalanan. Tahun dasar 2020 sebesar 198,24 juta. Keempat, meningkatnya devisa pariwisata menjadi USD 21,5-22,9 Miliar. Tahun dasar 2020 sebesar USD 3,46 Miliar.
Kelestarian Alam dan Budaya Lokal
Tujuan pembangunan berkelanjutan harus menyentuh aspek mendasar terkait dengan unsur-unsur alam dan penghormatan budaya lokal. Air misalnya, di Indonesia eksistensi air sangat penting. Manajemen sumber daya air terkait erat dengan integrated landscape management agar tidak menimbulkan banjir dan persoalan perairan lainnya. Banjir yang melanda di area Seminyak, Bali, pada akhir pekan lalu, memutus akses jalan, merusak pemukiman dan hotel. Sejumlah wisatawan asing dilaporkan terjebak banjir di dalam villa yang mereka tinggali. Hal tersebut menunjukkan belum terintegrasinya manajemen landskap dalam perencanaan pembangunan di wilayah tersebut.
Untuk membangun ketahanan pangan, misalnya, pemerintah memastikan ketersediaan air (water sustainability) di masa mendatang dengan membangun waduk dan irigasi. Air berjasa bagi kehidupan di hulu atau di area sumber mata air, yakni bertumbuhnya desa-desa mandiri dan maju dalam wajah baru desa wisata, yang merupakan produk nyata dana desa selama tujuh tahun terakhir.
Di bidang perhotelan, kebijakan pro-environment tampak melalui standar pengelolaan air, limbah dan aktivitas industri yang ramah lingkungan, khususnya yang selama ini ditampilkan dalam operasional hotel berbintang. Properti dan brand hotel berbintang telah mengelola limbahnya dengan baik, yang berdampak pada competitive advantage, menjaga star rating, juga terkait dengan strategi memenangkan persaingan agar menjadi pilihan utama di benak konsumen.
Hotel melibatkan konsumen untuk mencintai alam sembari menginap dengan cara meniadakan menu restoran yang menggunakan ikan yang terancam punah, mengedukasi bahwa setiap satu kamar hotel yang disewakan dilakukan penanaman 20 pohon, menggunakan lampu penerang low watt, menghimbau tamu manakala mengingingkan handuk yang habis dipakai untuk dicuci maka diletakkan di lantai. Jika tidak, maka handuk tidak dicuci.
Seiring dengan perubahan tren wisatawan dunia, kepariwisataan semakin menuju kepada quality tourism, di mana adat-istiadat lokal dan lingkungan hidup harus dihargai. Kontras dengan quality tourism, pariwisata di kawasan Canggu, Bali, yang akhir-akhir ini semakin mengundang keresahan karena ulah wisatawan asing yang kerap menimbulkan suara bising hingga dini hari dan di beberapa kasus wisatawan asing di Bali yang tidak menghargai adat serta nilai religi lokal. Bahkan ada dugaan merasa diri superior sebagai warga asing ketimbang warga lokal.
Dalam konteks permasalahan di Canggu yang telah ditangani bersama antara pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat ini, perlu komitmen yang kuat untuk penataan tata ruang atau zoning. Di sinilah relevansi rethinking tourism relevan bagi kemajuan pariwisata di Indonesia. Kiranya pariwisata berkelanjutan hadir secara merata di Indonesia, menjadikan warga sebagai tuan dan nyonya di negeri sendiri, memuliakan lingkungan sebagai rumah kita bersama, serta memeratakan kesejahteraan.