Column

I Love Monday

I Love Monday

Seorang ibu menulis surat dalam rubrik konsultasi sebuah media. Ia bilang ia selalu merasa galau setiap Senin pagi. Tekanan darahnya meningkat, perut mual, kepala pusing, dan penglihatan berkunang-kunang. Bahkan, untuk masuk ruang kerjanya saja ia harus minta bantuan anaknya untuk mengantarkan sampai ke tempat duduknya. Di hari Senin ia bekerja dengan lambat dan hasilnya sering kurang akurat. Anehnya, setelah Senin berlalu kondisi ibu ini kembali normal.

Arvan Pradiansyah

Arvan Pradiansyah

Apakah Anda punya pengalaman seperti ini di hari Senin? Bila iya, Anda sesungguhnya tidak sendiri. Sebuah survey di Amerika Serikat bahkan menunjukkan 1 dari 3 orang membenci hari Senin lebih dari hari apapun. Survey ini juga menunjukkan bahwa rata-rata orang mengeluh selama 34 menit di hari Senin dibandingkan dengan keluhan di hari kerja lain yang rata-rata “hanya” mencapai 22 menit.

Yang menarik dari survey diatas adalah bahwa ternyata orang tidak hanya mengeluh pada hari Senin tetapi setiap hari. Hari Senin menjadi sedikit lebih istimewa karena itulah hari pertama bekerja di setiap minggu.

Karena itu Monday Morning Blues sesungguhnya hanyalah sebuah gejala, dan sebuah sinyal yang sangat kuat bahwa kita tidak menikmati pekerjaan kita. Akar dari masalah ini adalah cara pandang yang salah mengenai bekerja. Bekerja sering dilihat sebagai sebuah “Job” yaitu setumpuk tugas, tuntutan dan kewajiban yang harus segera diselesaikan. Karena paradigma seperti itu maka tidak aneh kalau orang merasa berat dan malas datang ke tempat kerja. Mereka bekerja hanya untuk uang dan demi uang mereka rela menjalankan sesuatu yang bukan rencana, bukan skenario, dan bukan mimpi mereka. Mereka rela “menggadaikan” hidupnya untuk menjalankan skenario orang lain demi sesuap nasi.

Konsep I Love Monday

Konsep I Love Monday

Inilah paradigma pertama dalam melihat pekerjaan (lihat tabel diatas). Paradigma inilah yang sering membuat kita galau menghadapi hari Senin. Paradigma kedua mengubah cara pandang ini dengan melihat pekerjaan sebagai sebuah karir. Disini Andalah sutradaranya. Andalah yang memegang kendali dan skenario. Anda mempunyai mimpi untuk diwujudkan. Anda “mengejar” sesuatu, bukan “dikejar” oleh sesuatu seperti paradigma pertama. Inilah yang membuat Anda berangkat kerja dengan penuh semangat.

Namun melihat pekerjaan sebagai karir hanyalah akan menghasilkan kesuksesan, bukan kebahagiaan. Kalau ingin bahagia Anda harus melihat pekerjaan sebagai sebuah panggilan (calling). Disini Anda sedang menjalankan skenario alam semesta, atau lebih tepatnya: Skenario Tuhan.

Mengapa saya bisa menafsirkan sejauh itu? Tentu saja. Bukankah segala sesuatu di alam semesta ini sesungguhnya berjalan sesuai dengan skenario Tuhan? Keberadaan kita di dunia ini bukanlah kebetulan dan tidak terjadi begitu saja tanpa sebuah rencana besar. Kita semua adalah “utusan” Tuhan. Kita diutus Tuhan ke dunia ini dengan sebuah misi suci yaitu untuk melayani sesama manusia.

Disini saya ingin menyampaikan sebuah “pemahaman baru” bahwa sesungguhnya yang diutus Tuhan ke dunia ini bukanlah hanya Nabi dan Rasul, tetapi setiap kita. Bedanya dengan Nabi dan Rasul hanya satu: Kita tidak menerima wahyu secara langsung.

Ketika kita lahir ke dunia Tuhan sesungguhnya sudah menyiapkan bingkisan yang begitu indah yang disebut dengan calling (panggilan). Kita dikirim ke dunia ini dengan satu maksud, namun berbeda dengan Nabi dan Rasul, Tuhan meminta kita sendiri untuk menemukan apa misi suci itu dan mewujudkannya dalam pekerjaan kita. Sayangnya ada banyak orang yang tidak pernah membuka hadiah terindah ini sampai akhir hayatnya. Mereka bahkan tidak pernah tahu akan keberadaan karunia Tuhan yang sungguh indah dan menakjubkan ini.

Padahal hanya dengan menyadari hal inilah kita akan memiliki semangat yang tak pernah padam di tempat kerja. Bekerja sejatinya adalah alasan kita berada di dunia ini. Kesadaran ini akan membuat hidup kita bahagia dan bermakna. Kesadaran seperti ini akan melahirkan spiritualitas dan militansi di tempat kerja. Ini akan membuat kita berangkat kerja dengan gembira dan bekerja dengan penuh cinta. Orang yang seperti ini tak akan sabar menunggu hari Senin datang karena ia ingin segera bekerja untuk mengisi jiwanya yang haus akan makna dan kontribusi. Lebih jauh lagi, mereka sadar bahwa bekerja sesungguhnya adalah jalan terindah menuju Tuhan.

Arvan Pradiansyah Happiness Inspirer Managing Director Institute for Leadership and Life Management (www.ilm.co.id) Follow @arvanpra www.arvanpradiansyah.com


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved