Technology Trends

Ini Perbandingan Tarif Internet di Indonesia dengan Negara Lainnya

Ini Perbandingan Tarif Internet di Indonesia dengan Negara Lainnya

Belakangan ramai diperbincangkan tentang tarif internet di Indonesia yang dinilai kemahalan. Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) merasa perlu memberikan pencerahan kepada publik mengenai ini.

“Tarif internet broadband akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat, dari perbandingan yang dilakukan Mastel, tarif internet di Indonesia termasuk dalam kategori terjangkau,” ujar Sarwoto Atmosutarno, Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia yang disampaikan dalam acara diskusi santai yang digelar oleh Selular.id di Kembang Goela Resto, Jakarta (25/010/2022).

Dalam duskusi yang dimoderatori Uday Rayana, CEO Selular, dijelaskan Sarwoto, di tengah stagnasi pertumbuhan pendapatan yang dihadapi oleh penyedia, Indonesia memiliki tarif rata-rata terendah untuk MBB (mobile broadband) berbasis volume sebesar USD 0,31/GB pada tahun 2020 (lebih mahal dari India US$ 0,11, tetapi lebih murah dari Malaysia US$ 0,56 dan Brasil US$1,16). Dia menambahkan bahkan tarif MBB Indonesia ini mengalami penurunan dari US$0,43/GB pada data tahun 2019 dari McKinsey.

Untuk FBB (fixed broadband) yang didominasi Indihome, diungkap Sarwoto, bisa menggunakan dua acuan ukuran. Pertama, jika menggunakan data CupoNation, Indonesia menempati posisi termahal di ASEAN dengan tarif per Mbps antara Rp 14.895 – 43.500 pada 2019. Kedua, namun jika menggunakan disurvei oleh cable.co.uk, dengan tarif bulanan sebesar US$29,01 untuk tarif FBB, Indonesia sudah menempati peringkat 53 termurah dari 211 negara.

“Setiap perspektif dapat dipergunakan tergantung pada kepentingan analisis masing-masing konsumen. Namun, MASTEL melihat telah ada upaya yang telah dilakukan oleh para penyelenggara, yang sebagian besar merupakan anggota Mastel, untuk terus menurunkan tarif sesuai tingkat perekonomian,” terang Sarwoto.

Dia menambahkan, prestasi kompetisi tarif Indonesia ini dicapai, selain tantangan kondisi geografis yang berat dan dalam environment perhitungan EBITDA bisnis infrastructure bandwidth yang stagnan, persaingan tarif Indonesia dicapai.

Menurutnya bahkan pertumbuhan pendapatan bisnis infrastruktur telekomunikasi mengalami penurunan sebesar 2-3% selama tigatahun terakhir, kecenderungan selisih Return on Investment Capital (ROIC) dengan Weighted Average Cost of Capital (WACC) menurun dan tinggal sebesar 1-2%.

Dalam padangan Sarwoto, sudah saatnya Pemerintah mendorong peningkatan kesehatan dan kesinambungan industri bagi para operator internet dengan mempercepat regulasi konsolidasi operator telekomunikasi, infrastructure sharing, area kolaborasidi antara operator jaringan dan provider OTT (Over the Top), serta mengurangi beban retribusi untuk penyelenggaraan dan penggelaran jaringan (biaya regulasi).

“Kita semakin bergantung pada layanan internet yang diserahkan kepada mekanisme pasar di mana pilihannya bergantung pada kebutuhan konsumen,” tutur Sarwoto.

Dia mengapresiasi kehadiran negara untuk percepatan internet di pedesaan dan terpencil serta Sistem Pemerintahan berbasis Elektronik (SPBE) yang sangat membutuhkan bandwidth internet tanpa gangguan dan aman. Disamping itu, internet juga diperlukan untuk pelayanan penanggulangan bencana dan pertahanan dan keamanan nasional.

“Kami berharap kedepan, pemerintah mendukung kesehatan industri ini melalui regulasi yang mengatur keseimbangan tingkat pengembalian investasi, kualitas layanan dan perlindungan konsumen. Investasi pada penyelenggaraan jasa dan jaringan internet di Indonesia relatif lebih mahal untuk sifat teknologi yang cepat usang (obsolete),” tandasnya.

Editor : Eva Martha Rahayu

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved