Tower Bersama Infrastructure, Menunggangi Momentum Tahun Pertumbuhan
Tahun rekor pertumbuhan. Begitulah Helmy Yusman Santoso, Direktur Keuangan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. (TBIG), menyebut kinerja tahun 2021 untuk Tower Bersama Group. Langkah mereka memang mantap tahun lalu: menambahkan total 3.205 penyewaan kotor secara organik, yang terdiri atas 1.348 site telekomunikasi dan 1.857 kolokasi. Mereka juga menyelesaikan akuisisi 3.000 menara dari PT Inti Bangun Sejahtera Tbk. pada awal April 2021.
Akuisisi ini melengkapi langkah yang telah diayun sebelumnya. Pada triwulan IV/2018, TBIG mengambilalih dua perusahaan menara yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, PT Gihon Telekomunikasi Indonesia Tbk. dan PT Visi Telekomunikasi Infrastruktur Tbk. Kedua akuisisi ini menambah 1.120 penyewaan dan 859 site telekomunikasi ke portofolio TBIG.
Akuisisi pada April 2021 ini juga merespons perkembangan bisnis yang ada. “Di tahun 2021, kami terus menerima pesanan yang kuat untuk pembangunan baru serta kolokasi karena operator telekomunikasi melanjutkan investasi infrastruktur mereka untuk memenuhi permintaan data yang melonjak dari masyarakat,” ungkap Helmy tentang kunci pertumbuhan perusahaannya.
Dua tahun pandemi memang menjadi momentum pertumbuhan. Pandemi mendongkrak jumlah pengguna internet yang kebanyakan membutuhkannya untuk mengakses data selama work from home. Survei terbaru yang digelar Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia pada 2022 mengungkap pengguna internet di Indonesia naik menjadi 220 juta orang selama dua tahun pandemi. Jumlah sebelumnya 175 juta orang.
Tentu saja, ini mendatangkan panen bagi penyelenggara internet, dan pada gilirannya juga memberikan cuan bagi para pemain menara sebagai pendukung kelancaran aksesibilitas internet. Tak terkecuali TBIG yang berhasil menunggangi momentum. Tahun lalu mereka membukukan pendapatan Rp 6,18 triliun, naik 15,99% dibandingkan realisasi 2020 (Rp 5,33 triliun). Sejalan dengan itu, laba bersih mencapai Rp 1,6 triliun, naik 50,14% dibandingkan 2020 (Rp 1,06 triliun).
Di bursa, investor pun mengapresiasi kinerja TBIG yang agresif. Akhir 2020, harga saham perseroan di kisaran Rp 1.700-an per lembar. Setahun kemudian, akhir 2021 di posisi Rp 3.000 per lembar. Nilai ini jauh melonjak dibandingkan akhir 2018 (Rp 700 per lembar) dan 2019 (Rp1.230 per lembar).
Tentu saja, tak ada makan siang gratis dalam bisnis. Untuk menggelar akuisisi dan pertumbuhan organik yang masif, TBIG membutuhkan dukungan finansial dari pihak eksternal.
Menariknya, di tengah pandemi Covid-19 yang terus menciptakan ketidakpastian ekonomi global dan domestik, serta volatilitas yang signifikan di pasar keuangan global, perusahaan yang berdiri pada 8 November 2004 ini dipercaya kalangan kreditor. Pada November 2020, Fitch International meningkatkan Peringkat Jangka Panjang Mata Uang Asing dan Lokal Issuer Default Rating TBIG menjadi “BBB-” / “AA+ (idn)” dengan Outlook Stabil. Ini artinya perseroan dianggap tangguh di tengah pandemi.
Kenyataannya, TBIG memang tangguh. Mereka berhasil membiayai kembali fasilitas pinjaman bank US$ yang ada serta mengakses pasar obligasi US$ dan IDR pada tahun 2021. “Januari 2021, kami menerbitkan obligasi lima tahun tanpa jaminan yang didahulukan sebesar US$ 300 juta dengan tingkat bunga 2,75% dengan paket perjanjian untuk emisi layak investasi dengan harga di dalam kurva sekunder obligasi US$ kami sendiri,” katanya
Berikutnya, akhir Oktober 2021, TBIG menerbitkan obligasi 5,5 tahun tanpa jaminan yang didahulukan sebesar US$ 400 juta dengan tingkat bunga 2,80%, yang merupakan spread terketat dari obligasi korporasi non-BUMN Indonesia. Tahun lalu secara rutin mereka memang mengakses pasar obligasi IDR. “Akhir 2021, 30% dari total utang perseroan berada dalam obligasi rupiah, dan kami akan terus mengakses pasar obligasi lokal melalui Program Obligasi Berkelanjutan V kami.”
Ke depan, Helmy berharap bisa menjaga momentum tahun pertumbuhan ini. Bicara penggunaan data internet, dia mengakui penggunaan data seluler di Indonesia terus tumbuh secara eksplosif. “Namun, terlepas dari pertumbuhan yang signifikan, penggunaan data per pelanggan di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, sehingga masih memberikan ruang untuk pertumbuhan tambahan dan investasi infrastruktur terkait,” katanya.
Ini artinya peluang pertumbuhan TBIG masih berlanjut. Helmy juga mengungkap pihaknya melihat operator telekomunikasi terus memperkuat jaringan di Jawa dan berinvestasi untuk luar Jawa. “Dengan pendapatan kontraktual jangka panjang yang terjamin dari operator telekomunikasi berperingkat tinggi, kami memiliki kemampuan untuk terus tumbuh secara organik, membiayai akuisisi, dan menerapkan inisiatif pengembalian untuk pemegang saham.”
Faktanya, sejauh ini sinyal tersebut sudah terlihat. Pada kuartal I/2022, pendapatan TBIG naik 15,43% secara tahunan (YoY), dari Rp 1,42 triliun menjadi Rp 1,64 triliun. Adapun laba bersih melonjak 56,17%, dari Rp 265,9 miliar menjadi Rp 415,2 miliar. (*)
Teguh S. Pambudi dan Anastasia AS