Technology Trends

Potensi dan Dampak Open Finance bagi Bisnis

Potensi dan Dampak Open Finance bagi Bisnis
Peluncuran laporan open finance

Katadata Insight Center bekerja sama dengan platform teknologi keuangan terbuka (open finance) Finantier meluncurkan laporan ‘Open Finance Deep Dive Report: Unlocking the Potential of Open Finance in Indonesia‘. Laporan ini memotret lanskap open finance di Indonesia, estimasi potensi pasar, hambatan yang dihadapi, serta rekomendasi kepada regulator dan pelaku industri agar open finance dapat diterapkan sepenuhnya di Indonesia.

Dalam laporan disebutkan bahwa open finance adalah tahap lanjutan dari open banking, semua lembaga keuangan yang terlibat dalam ekosistem dapat berbagi data melalui application programming interface (API) terbuka untuk membuka akses ke layanan keuangan. Proses ini tentunya membutuhkan persetujuan dari konsumen sebagai pemilik data.

Pada open finance, pertukaran data tidak terbatas antara bank atau lembaga keuangan. Open finance sebagai pengembangan dari open banking mencakup lebih banyak data, produk, dan layanan. Pemanfaatan data ini meluas di luar data perbankan.

Apalagi dengan perkembangan ekonomi digital, terutama dengan e-commerce sebagai tulang punggung sehingga menciptakan berbagai data baru yang dapat dimanfaatkan. Data transaksi e-commerce misalnya, dapat digunakan dalam implementasi open finance. Data lain dari lembaga non-keuangan yang dapat digunakan, seperti pembayaran pajak, kepemilikan tanah, hingga data pembayaran telko.

Co-founder & Chief Operating Officer Finantier Edwin Kusuma menyampaikan bahwa open finance adalah salah satu cara paling efektif untuk mencapai financial inclusion. Implementasi open finance menguntungkan konsumen karena mereka memiliki dan mengelola akses terhadap data keuangannya. “Di sisi lain, perusahaan dapat meminimalkan risiko dan biaya operasional dengan meningkatkan kualitas data konsumennya,” ujar Edwin dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (16/11/2022).

Tren pertukaran data melalui open API antar institusi keuangan di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak akhir 2015 lalu, ketika Bank Mandiri menerapkan open API untuk produk e-money mereka. Pertengahan 2016, Bank Mandiri melalui kolaborasi dengan Mandiri Capital, Indigo Incubator by Telkom, dan konsultan pengembangan bisnis ActionCoach, meluncurkan inkubator digital untuk mendorong hadirnya startup di bidang teknologi finansial.

Pada 2016, BCA juga mulai menerapkan open API untuk mempercepat inovasi digital di bidang fintech. Hal ini disusul oleh bank-bank lainnya yang menerapkan open API untuk menyasar pelaku keuangan digital (fintech) dan e-commerce.

Kolaborasi berbagi data pada open finance mendorong timbulnya peluang bisnis baru bagi perbankan. Laporan menyebut, kerja sama pada produk yang ditawarkan provider open finance berpotensi menjadi sumber pemasukan baru melalui sharing fee-based income.

Aliran pendapatan baru ini dapat menjadi peluang bagi perbankan, terutama ketika sumber utama fee-based income melalui transfer diperkirakan akan menurun semenjak diluncurkannya inisiatif BIFAST.

Luasnya cakupan penerapan tersebut menjadikan pasar open finance potensial untuk dikembangkan. Katadata Insight Center memperkirakan total available market (TAM) open finance di Indonesia sekitar US$ 2 miliar. Adanya potensi yang besar ini menggerakan semakin banyak platform open finance yang tumbuh, dengan berbagai inovasi pengembangan produk jasa keuangan.

Namun, dalam implementasinya open finance masih menghadapi berbagai tantangan. Mulai dari hambatan regulasi, bisnis, teknis, hingga tantangan sosial budaya seperti rendahnya literasi keuangan di Indonesia.

Platform open finance belum diatur dalam banyak regulasi, terutama ketika menggunakan model Business-to-Business (B2B). Akibatnya, platform open finance masih menyesuaikan dengan hukum yang ada terkait dengan lembaga keuangan dari klien atau mitra datanya.

Kemudian tidak semua pelaku industri memiliki pemahaman yang sama tentang inisiatif open finance, terutama kesediaan untuk berbagi data. Pasalnya, inisiatif open finance sebagai model bisnis tunggal belum diatur secara resmi oleh regulator terkait sehingga ada beberapa keengganan di antara para pelaku industri untuk bekerja sama dengan platform open finance yang ada.

Direktur Utama Pefindo, Yohanes Arts Abimanyu dalam laporan mengatakan, tidak adanya regulasi yang jelas membuat keputusan untuk berkolaborasi dalam Open Finance Ecosystem bergantung pada risk appetite masing-masing lembaga keuangan.

Lembaga yang menghindari risiko, seperti bank milik negara, cenderung menghindari bidang yang tidak diatur. Sementara P2P lending yang lebih risk taker sehingga memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk masuk ke open finance.

Menurut Edwin, untuk memperkuat infrastruktur digital dan ekosistem open finance di Indonesia, harus ada konsensus dan aksi bersama dari seluruh pemangku kepentingan open finance. Hal ini diperlukan untuk memenuhi janji open finance yang memberikan dampak positif dan mendorong pada inklusi digital di Indonesia.

Salah satu penyebab utama eksklusi keuangan (financial exclusion), kata dia, adalah sulitnya lembaga keuangan untuk memperoleh data dan informasi dari calon nasabah untuk melakukan analisis kelayakan kredit atau verifikasi identitas. “Dengan demikian, kami membutuhkan skema yang memungkinkan lembaga keuangan mengakses informasi pengguna dengan aman dan transparan sekaligus melindungi hak konsumen,” tutur Edwin.

Adapun laporan ini disusun dari Juli hingga September 2022 dengan menggunakan metode penelitian studi kepustakaan, pengolahan data sekunder, dan wawancara mendalam terhadap Otoritas Jasa Keuangan (OJK), para lembaga keuangan, platform keuangan digital, operator penyedia layanan telekomunikasi, e-commerce, dan pengelola data layanan penggajian.

Editor : Eva Martha Rahayu

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved