Digital Banking: Dilema Regulator
Oleh N. Rengka Johanes, Direktur Lesca Dana, Jakarta
Digital Banking atau perbankan digital sesungguhnya bukan isu baru di Indonesia. Sejak berkembang pesatnya internet pada tahun 2007 – 2009 secara perlahan transaksi perbankan pun mulai beralih ke basis digital. Sehingga tidak heran secara perlahan-lahan ada habitus baru dari nasabah dalam berinteraksi dengan bank. Orang semakin jarang datang ke kantor bank atau mampir ke ATM untuk melakukan transaksi keuangan, sehingga dari tahun ke tahun jumlah ATM dan kantor cabang bank pun terus berkurang. Harian Kompas misalnya menulis jumlah mesin ATM per akhir triwulan ketiga 2021 di seluruh Indonesia sebanyak 98.188 unit, padahal pada tahun 2020 sebanyak 101.284 unit dan tahun 2019 103.639 unit ( Kompas, 22 April 2022 ).
Ini selaras dengan data OJK ( Otoritas Jasa Keuangan ) pada bulan April 2022 di mana jumlah kantor cabang bank berkurang sebanyak 1.232 unit. Namun angka-angka ini samasekali bukan menunjukkan keberhasilan digital banking dalam menciptakan keuntungan. Sebab jika dilihat dari laba atau keuntungan maka digital banking belum benar-benar memberikan keberhasilan yang optimal. Ambil contoh, riset yang dilakukan oleh Boston Consulting Group menyebutkan bahwa dari 249 bank digital di dunia, hanya 13 bank yang menguntungkan. Di Korea Selatan, dari 3 bank digital hanya 1 yang menguntungkan. Sedangkan di Tiongkok dari 16 bank digital hanya 4 bank yang meraih keuntungan ( Info Bank, Maret 2022 ).
Pertanyaannya kemudian adalah mengapa harus memilih perbankan digital? Lalu,bagaimana memitigasi resikonya? Kemudian seperti apa peran regulator menghadapi hal ini? Pertanyaan-pertanyaan ini sering muncul dan menjadi tema diskusi yang menarik dalam berbagai pertemuan kalangan perbankan.
Digital Banking dan Mitigasi Risiko
Ketika membahas mengapa digital banking, mari kita lihat lagi tiga fungsi dasar dari lembaga perbankan. Pertama yaitu sebagai a value store, yaitu tempat menyimpan uang dengan aman, termasuk di dalamnya investasi. Hingga sekarang orang masih percaya bank adalah tempat yang paling aman untuk menyimpan uang. Kedua, sebagai money movement, yaitu tempat alur lalu lintas uang yang relatif aman. Sebagian besar masyarakat masih lebih percaya suatu transaksi dilakukan melalui perbankan dibandingkan melalui media lainnya. Ketiga, Access to Credit, tempat masyarakat bisa meminjam uang ( bila diperlukan ). Ketiga fungsi ini tetap yang utama, tidak dapat dihilangkan.
Kehadiran digital banking, sesungguhnya lebih kepada pembaharuan proses atau interaksi nasabah dengan kantor bank atau mesin ATM, bukan menghilangkan tiga fungsi utama di atas. Jadi salah satu keunggulan digital banking adalah mengukur seberapa sering nasabah berinteraksi dengan bank. Sekedar gambaran mari kita lihat berapa kali seorang nasabah berhubungan dengan bank. Retail Banking di Amerika pada tahun 2016 mencatat sebagai berikut : Melalui gawai ( telpon genggam ) sebanyak 20 – 30 kali per bulan; melalui ATM 3 – 5 kali per bulan; melalui Call Center, 5 – 10 kali per bulan. Sedangkan ke kantor cabang bank hanya 1 – 2 kali per tahun ( Brett King, Banking 3.0 ). Melihat data ini jelas sekali bahwa digital banking bukanlah menghilangkan fungsi utama bank, tetapi mengurangi interaksi fisik secara langsung dengan bank sehingga bisa menjadi lebih efisien dan menekan biaya baik bagi nasabah maupun bank itu sendiri.
Isu utama dalam digital banking sebetulnya bukan pada penggunaan teknologi, tetapi bagaimana bank bisa memitigasi resiko dari setiap transaksi. Resiko yang paling umum adalah bagaimana mencegah praktek pencucian uang ( Anti Money Laundering ) yang sekarang kian marak. Pencucian uang mengandung beberapa aspek penting antara lain otentikasi data diri nasabah yang dikenal dengan istilah Know Your Customer ( KYC ). Namun KYC bukan sekedar selembar kertas identitas, tetapi siapa sesungguhnya orang di balik data identitas itu. Ada sebagian orang mengatakan bahwa dengan teknologi semua data bisa ditelusuri, tetapi pada sisi lain, dengan teknologi pula orang bisa memanipulasi data seorang nasabah.
Dilema Regulator
Kompleksitas transaksi melalui digital banking ini, tentu bukan perkara mudah bagi regulator untuk membuat regulasi. Regulasi yang sudah ada lebih kepada mengatur produk perbankan, bukan mengatur jenis teknologi yang dipakai. Oleh karena itu penulis mencoba mengajukan beberapa usulan kecil sebagai berikut:
Pertama, regulator hendaknya sudah mulai memikirkaan semacam alat uji coba sebagai laboratorium pembelajaran skala kecil di mana dapat mengembangkan bukti empiris bahwa suatu perubahan penting, dalam hal ini tentang digital banking akan menghasilkan manfaat dengan risiko yang terukur. Bukti empiris ini nantinya akan dapat membantu membangun reformasi digital banking yang diperlukan. Tentu ini dapat dilakukan melalui data dengan menggunakan Artificial Intelligence yang akurat sehingga mampu mengurangi berbagai resiko termasuk resiko pencucian uang seperti disebutkan di atas.
Kedua, berdasarkan hasil laboratorium kecil di atas, bank diiberi pilihan, terus menggunakan praktek tradisional atau segera beralih memilih digital banking dengan berbasis data baru. Karena pada umumnya bank akan menghadapi ketakutan akan risiko yang ditetapkan dan ada kekhawatiran bahwa manfaat transformasi yang diperoleh tidak akan lebih besar daripada biaya transisi untuk mengadopsinya. Untuk menghilangkan rasa takut itu maka laboratorium mini yang disiapkan oleh regulator akan sangat membantu, sehingga secara bertahap bank belajar dan menyempurnakan dalam skala kecil sebelum meningkatkan proses digitalisasi.
Ketiga, regulator perlu mendorong para pemimpin lembaga perbankan untuk fokus pada pengawasan berbasis teknologi atau digital-native, daripada kebijakan dan regulasi berbasis proses. Suka atau tidak suka, 10 atau 15 tahun ke depan, yang dibutuhkan oleh regulator bukanlah kepiawaian dalam pembuatan kebijakan dan kepatuhan berbasis pemeriksa, tetapi hampir seluruhnya berbasis teknologi, dan kemampuan untuk merespons dan memperbaiki pasar dalam kemampuan real-time yang sangat dinamis.
Tentu semua harapan ini merupakan tantangan dan sekaligus dilema bagi regulator karena membutuhkan sumber daya yang cukup dan menelan biaya yang tidak kecil.