Prinsip Fashion Lokal Ini Lestarikan Budaya dan Lingkungan
Di balik glamornya industri fashion, menyimpan jejak emisi terbesar kedua di dunia. Industri fashion menjadi salah satu industri yang berpolusi dalam proses produksinya mulai dari limbah pewarna, jahit, hingga limbah sisa produksi itu sendiri.
Hal tersebut disampaikan pendiri brand fashion lokal KaIND asal Purwosari, Kabupaten Pasuruan, Melie Indarto, dalam acara peluncuran Tokopedia Hijau, Kamis (15/12/2022). Menurut data dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), industri fashion bertanggung jawab atas 10% emisi karbon global tahunan, melebihi karbon yang dihasilkan penerbangan internasional dan pengiriman laut. Emisi gas rumah kaca industri fashion diprediksi akan melonjak lebih dari 50% pada tahun 2030.
Selain dampak lingkungan, Melie juga mencemaskan jumlah penenun dan pembatik muda di wilayah Pasuruan dalam 20 tahun terakhir menurun drastis, hanya tersisa 10 persen. Menurutnya mencari anak muda yang mau menenun dan membatik tahun 2015 enggak ada.
“Desa tenun desa batik itu bisa dibilang mati. Tersisa senior-senior yang tidak tahu mau mengajarkan dan meneruskan budaya membatik dan menenun ke siapa, jadi tidak ada regenerasi,” ujar Melie.
Kecemasan ketiga Melie adalah Indonesia belum bisa menjadi negara penghasil sutra. Komunitas sutra di Indonesia dipenuhi dengan import, 95 % kain sutra dan benang sutra di Indonesia masih impor yang berasal dari negara lain.
“Jadi dari tiga keresahan inilah saya mencoba membuat solusi dengan membuat brand fashion yang menerapkan prinsip sustainable fashion. Bicara sustainable fashion itu luas, disederhanakan menjadi langkah konkret dengan empower village. Jadi kita rekrut pemuda di Pasuruan yang tadinya sopir truk, kuli bangunan, pengangguran, untuk diberikan training menjadi penenun dan pembatik,” ujar Melie.
Selain mengajak pemuda untuk menenun dan membatik, Melie juga mengajak petani untuk membudidayakan ulat sutra eri di Pasuruan. Karena produk KaIND menggunakan benang sutra. Budidaya dilakukan secara etis, artinya tidak membunuh pupa yang ada di dalam kepompong.
“Jadi kepompongnya kami gunting satu-satu, dikeluarkan pupanya dalam keadaan sudah matures sehingga dia masih bisa evolusi menjadi kupu-kupu sutra. Life cycle-nya enggak dipotong, masih bisa menjalani life cycle secara alami,” kata Melie.
Setelah itu, lanjut Melie, kepompong kosong diolah menjadi serat, kemudian diproses menjadi benang pabrikasi. Prosesnya dilakukan di perusahaan pemintal benang di Tegal dan ini adalah satu-satunya benang sutra eri pabrikasi di Indonesia yang 100 % organik dan 100 % lokal. Hingga saat ini, sudah ada 200 petani membudidayakan ulat sutra eri.
Proses membatik pun dilakukan secara ramah lingkungan. Air dalam proses membatik berasal dari air hujan yang ditampung dalam sebuah bak. Lalu pewarna kain menggunakan pewarna alami seperti daun mangga dan secang.
Dalam industri fashion, lanjut Melie, seminimal mungkin dirinya mengurangi penggunaan plastik. Seluruh kemasan yang dipakai pun ramah lingkungan, seperti label baju tidak ada plastik atau yang mengandung micro plastik, brand tag dipasang menggunakan benang. Meski lebih rumit dan ada langkah tambahan, tapi itu lebih ramah lingkungan.
“KaIND menerapkan prinsip zero waste. Limbah kain sisa potongan dimanfaatkan menjadi produk turunan, kita upcycling bukan recycling. Kami meningkatkan nilai jual dari limbah itu, jadi kita buat produk fashion seperti scarf atau sepatu dengan harga yang tidak jauh sama dengan produk utama yang kami jual,” ujarnya.
Editor : Eva Martha Rahayu
Swa.co.id