Konsumsi Domestik Ditopang Belanja Pemerintah Terkait Pemilu 2024
PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menyampaikan bahwa Indonesia memiliki daya saing yang menarik di tengah proyeksi perlambatan ekonomi global tahun ini. Tekanan terhadap Rupiah diprediksi akan mereda dan inflasi diperkirakan akan lebih terkendali.
Pandangan tim investasi MAMI ini disampaikan secara daring pada Selasa (17/1) dalam acara Indonesia Market Outlook 2023: Seeds of Opportunity dengan narasumber Ezra Nazula, Director & Chief Investment Officer Fixed Income MAMI; Katarina Setiawan, Chief Economist & Investment Strategist MAMI dan Samuel Kesuma, Senior Portfolio Manager Equity MAMI.
Katarina mengatakan, outlook pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan melemah dan ada risiko resesi ekonomi di kawasan negara maju. Inflasi yang berkepanjangan dan sektor tenaga kerja yang masih kuat mendorong The Fed untuk mengindikasikan bahwa pengetatan moneter belum akan dikendurkan dalam waktu dekat. Pertumbuhan ekonomi global dapat terdampak. Arah kebijakan The Fed masih tetap menjadi perhatian pasar dan dapat menyebabkan volatilitas dalam jangka pendek.
Lebih lanjut Katarina menjelaskan bahwa kondisi di pasar Asia berbeda dengan pasar global. Di kawasan Asia justru terjadi perbaikan sentimen. Risiko resesi negara-negara di kawasan Asia juga lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh relatif rendahnya kenaikan suku bunga di kawasan pada tahun lalu dan inflasi pun relatif lebih terkendali. Selain itu, relaksasi kebijakan Zero Covid di China membawa dampak positif yang berantai bagi ekonomi Asia. Nilai tukar mata uang negara-negara di Asia pun mulai tertopang dengan meredanya penguatan US$.
“Perbaikan sentimen di kawasan Asia justru mendorong terjadinya perpindahan investor dari kawasan yang sudah berkinerja unggul menuju kawasan yang dianggap telah jenuh jual (oversold). Efeknya dirasakan di pasar saham Indonesia. Arus dana asing yang masuk ke pasar saham Indonesia di sepanjang tahun 2022 tercatat sebesar US$4,4 miliar. Namun di akhir tahun lalu, dana asing terlihat bergerak keluar dari pasar saham Indonesia sebesar US$0,4 miliar (Q4 2022),” ujar Katarina. Secara umum, pembukaan kembali perekonomian China dapat berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia karena China merupakan mitra dagang utama dari Indonesia.
Pasar domestik
Berbicara mengenai pasar domestik, Katarina menjelaskan, proyeksi perlambatan ekonomi global dan berkurangnya besaran kenaikan Fed Rate akan mengurangi tekanan terhadap Rupiah pada tahun ini. Meningkatnya likuiditas valas pada perbankan dalam negeri, seiring dengan naiknya tingkat suku bunga deposito valas, terutama untuk eksportir, turut menopang kenaikan cadangan devisa di bulan November 2022 dan pada akhirnya ikut menopang stabilitas Rupiah. Selain itu, pada tahun ini inflasi diperkirakan akan lebih terkendali seiring dengan normalisasi harga komoditas dan semakin meredanya lonjakan kenaikan harga akibat kenaikan harga BBM di 2022. Dengan fundamental makro ekonomi Indonesia yang kuat dan imbal hasil obligasi Indonesia yang menarik, tentunya kedua hal ini akan ikut mendorong kuatnya arus masuk dana asing ke pasar obligasi Indonesia.
Lebih lanjut Katarina mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan masih relatif stabil dan cukup jauh dari kemungkinan resesi yang mengancam kawasan negara maju. Ekonomi Indonesia masih ditopang oleh konsumsi domestik yang terjaga. Konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kenaikan UMR yang tinggi untuk tahun 2023 juga menjadi salah satu faktor yang dapat mendukung daya beli konsumen di tahun depan.
Selain itu, inflasi di Indonesia juga terjaga dengan relatif baik. Di sepanjang tahun 2022, inflasi umum tercatat sebesar 5,51% YoY sedangkan inflasi inti stabil di kisaran 3,36% YoY. Penyebab utama tren penurunan inflasi di Indonesia yaitu stabilitas harga pangan dan berkurangnya second round effect dari kenaikan harga BBM.
Dalam jangka panjang, stabilitas eksternal Indonesia didukung oleh meningkatnya ekspor logam dasar dan maraknya penanaman modal pada sektor logam dasar serta pertambangan, yang sudah mulai terlihat sejak 2022. Hal tersebut akan menopang neraca transaksi berjalan serta nilai tukar Rupiah lebih lagi ke depannya.
Untuk pasar obligasi, Ezra mengatakan, aIndonesia mencatatkan kinerja positif 3,5% di tahun 2022. Kinerja pasar obligasi Indonesia lebih baik dibandingkan pasar lainnya di kawasan Asia, seperti Hong Kong (-8,6%), Filipina (-6,0), Singapura (-5,1%), dan Thailand (-4,0%).”
Ezra menjelaskan bahwa selama tahun 2022, kurva imbal hasil pasar obligasi menunjukkan pola bearish flattening, dimana obligasi dengan tenor paling pendek (2 tahun) mengalami kenaikan imbal hasil paling signifikan (181 bps), sedangkan obligasi dengan tenor paling panjang (30 tahun) mengalami kenaikan imbal hasil paling kecil (46 bps). Jika dilihat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2012 – 2022), pasar obligasi Indonesia mencatatkan kinerja kumulatif sebesar 8,03% per tahun.
Kepemilikan asing di pasar obligasi terlihat telah menyusut, dari semula 19,05% (Rp 891,3 triliun) pada akhir 2021 menjadi 14,36% (Rp 762,2 triliun) di akhir 2022. Rendahnya kepemilikan asing di pasar obligasi diharapkan dapat mengurangi volatilitas akibat aksi jual investor asing. Selain itu, ekspektasi berkurangnya agresivitas kenaikan Fed Funds Rate, seiring dengan inflasi Amerika Serikat yang terus mengalami moderasi, akan mengangkat sentimen global dan membawa kembali arus masuk dana asing. Di dalam negeri, diversifikasi investor domestik menjadi penopang utama, khususnya di perbankan, asuransi dan dana pensiun, serta investor ritel.
Lebih lanjut Ezra memaparkan tiga katalis pasar obligasi di tahun 2023. Pertama, perbaikan fundamental makro. Indikator makro ekonomi yang membaik, seperti defisit fiskal di bawah target pemerintah, dapat mendukung kenaikan rating Indonesia. Kedua, kuatnya permintaan domestik. Permintaan dari investor perbankan, asuransi, dana pensiun, dan investor ritel diperkirakan masih kuat untuk menopang pasar. Ketiga, skenario pembukaan kembali China. Skenario dibukanya perekonomian China diperkirakan akan membantu meningkatkan sentimen positif ke pasar global. Selain itu, risiko yang perlu diwaspadai yaitu ketidakpastian yang masih terus ada dari pasar global, seperti perang Rusia dan Ukraina, kebijakan bank sentral Amerika dan dunia yang berpotensi kembali menjadi hawkish jika data ekonomi masih kuat di atas konsensus, dan tekanan politik yang berpotensi timbul jelang Pemilu 2024. Kami memperkirakan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun bisa kembali ke kisaran 6,50 – 6,75%.
Sementara du pasara saham, menurut Samuel, telah terjadi perubahan selera investasi yang lebih positif terhadap pasar saham negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini akibat The Fed mengurangi agresivitasnya, didukung oleh pembukaan kembali ekonomi China. Dampaknya, di bulan November 2022, negara berkembang membukukan rekor tertinggi arus masuk dana asing.
Berbicara mengenai dampak nilai tukar Rupiah terhadap pasar saham, Samuel mengatakan, “Risiko nilai tukar yang selama ini menjadi ‘penghalang’ diharapkan akan membaik ketika penguatan US$ mulai mereda.”
Pergerakan investor yang melakukan diversifikasi investasi keluar dari pasar China (pemegang bobot terbesar dalam MSCI) berpotensi meningkatkan aliran dana masuk ke negara berkembang lainnya seperti Indonesia. Hal ini dapat mengimbangi kekhawatiran terjadinya fenomena bottom fishing, yaitu aktivitas yang dilakukan oleh investor pada saham-saham di beberapa negara dengan kinerja yang tertekan pada 2022 lalu.
Samuel mengungkap sektor-sektor pilihan tim investasi MAMI di 2023. “Kami merekomendasikan sektor yang terkait dengan green economy,” ujarnya. Investasi di industri terkait electronic vehicle secara organik akan meningkatkan permintaan bahan mineral. Dalam jangka pendek, harga spot akan mendapat manfaat dari sinyal perlambatan kenaikan Fed Funds Rate dan pembukaan kembali China. Selain itu, sektor finansial juga akan diuntungkan oleh ekonomi Indonesia yang kuat dan likuiditas yang masih cukup tinggi. Hal ini memungkinkan perbankan untuk meningkatkan marjin sambil menjaga kualitas kredit. Sektor lainnya yaitu consumer discretionary. Konsumsi domestik diperkirakan akan meningkat di tahun ini, ditopang oleh belanja pemerintah terkait Pemilu 2024.
Editor : Eva Martha Rahayu
Swa.co.id