Trends Economic Issues

Perlunya Standarisasi Pengelolaan Tambak Udang untuk Dorong Produktivitas

Tambak udang di Kabupaten Pasangkayu. (dok. Kementerian Kelautan dan Perikanan)

Sektor budidaya udang dinilai masih menghadapi sejumlah tantangan produktivitas selama satu tahun terakhir meski didukung ketersediaan lahan dan iklim yang sesuai. Guna memberi acuan perencanaan yang lebih matang, Jala sebagai startup penyedia solusi end-to-end budidaya udang memberikan informasi dan data terkait perkembangan budidaya udang dalam ‘Shrimp Outlook 2023: Kondisi Industri Udang Indonesia di Tahun 2022 dan Solusi untuk Tahun 2023’.

Dari temuan Jala, terdapat penurunan produktivitas udang dari yang sebelumnya mencapai 11,97 ton/hektare pada 2019 menjadi 10,5 ton/hektare pada 2022. Hal ini juga tercermin dari performa survival rate (SR) yang juga mengalami penurunan, yang mana pada 2021 nilai rata-rata mencapai 68,64% sedangkan pada 2022 hanya di angka 55,83%. Meski demikian, terdapat kenaikan angka ekspor udang dari 187.726 menjadi 200.975 ton tahun ini. Lewat temuan tersebut, Jala memprediksi adanya peningkatan produksi dengan terus mendampingi petambak udang Indonesia.

Liris Maduningtyas selaku CEO Jala menjelaskan berbagai faktor yang memengaruhi budidaya untuk bisa diimprovisasi. Pihaknya melihat berbagai kendala terjadi pada 2022 seperti menurunnya harga yang diakibatkan penurunan permintaan hingga tingkat produktivitasnya itu sendiri. Menanggapi adanya fluktuasi harga tersebut, penting bagi para petambak untuk fokus mempertahankan produktivitas budidaya agar tetap maksimal dan mengamankan margin keuntungan dengan memperhatikan berbagai komponen, seperti waktu dan durasi panen hingga upaya konversi pakan udang.

“Lewat penyediaan ekosistem digital yang disediakan Jala di sepanjang rantai industri, kami dapat mendapatkan informasi penting untuk pengembangan udang dari mulai pra-produksi hingga pasca-panen. Karena itu, kami berharap bisa terus bangun ekosistem terintegrasi dalam penyediaan solusi untuk seluruh pihak yang terlibat dalam industri udang yang pada akhirnya dapat memajukan industri udang di Indonesia,” ujar Liris.

Dari tren tahun sebelumnya, terdapat indikasi penurunan durasi budidaya sejak pertengahan tahun akibat harga udang yang anjlok, yakni memasuki April dan pertengahan September. Hal ini disebabkan karena adanya faktor cuaca dalam memulai budidaya.

Jika tanpa memperhatikan waktu mulai budidaya, produktivitas terbaik diperoleh dari panen yang disebar dari dimulai pada Januari dan Februari. Dari situ, umur budidaya relatif bisa lebih panjang dan capaian parameter produktivitas seperti SR, feed conversion ratio (FCR), dan ukuran panen lebih baik dibandingkan budidaya yang dimulai bulan-bulan lain termasuk pada bulan dengan curah hujan rendah.

“Menanggapi adanya anjlok dalam harga udang, petambak sebaiknya tenang dan fokus mempertahankan produktivitas budidaya agar tetap maksimal. Efisiensi budidaya pun harus tetap dijaga supaya dapat mengamankan margin keuntungan. Strategi untuk panen di size panen dengan harga yang relatif stabil dapat diterapkan agar tidak membebani ongkos produksi,” tambah Liris.

Pada kesempatan yang sama, Haris Muhtadi, Ketua Umum Shrimp Club Indonesia mengatakan, posisi Indonesia saat ini menurun menjadi produsen ke-5 tertinggi di dunia, yang mana posisi pertama diduduki oleh Ekuador. Jika berkaca pada tantangan secara global, kini banyak bermunculan para pemain baru di Amerika Latin hingga rendahnya daya beli yang disebabkan krisis energi hingga menekan harga udang global.

“Di negara sendiri pun, beberapa kendala yang sering dialami adalah terkait penyediaan benih berkualitas dan juga tingginya biaya produksi. Guna menghadapi industri dinamika udang tersebut, kami di SCI terus menghadirkan berbagai program, salah satunya terus berbagi ilmu dan teknologi pada anggota. Adanya digitalisasi senantiasa menjadi future promise di industri ini demi memberikan data yang reliable dan akurat. Pada akhirnya, hal ini dapat memudahkan kerja para petambak,” tuturnya.

Sebagai tambahan, Jala yang berdiri sejak 2018, kini sudah ada 16 ribu petambak yang terdaftar dan lebih dari 27 ribu kolam terdaftar. Adapun saat ini lebih dari 500 kolam dengan pengelolaan berkelanjutan melalui program Tebar by Jala dan kegiatan ShrimpHub dan 5.500 ton udang terjual melalui layanan panen Jala Harvest.

Editor : Eva Martha Rahayu

Swa.co id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved