Kunci Masalah Corporate Finance: Pertumbuhan Perusahaan
Permasalahan corporate finance yang paling sering dihadapi Kurniadi Atmosasmito adalah manajemen investasi sebagai upaya pertumbuhan perusahaan. Sepanjang bergelut dengan dunia keuangan di berbagai perusahaan, Kurniadi senantiasa dihadapkan pada pertumbuhan perusahaan. “Kuncinya pertumbuhan perusahaan,” tegas Direktur Keuangan PT KAI tersebut. Kunci itu pula yang senantiasa diterapkan ketika ia menangani perusahaan berbeda.
Seperti kala mengurusi dapur keuangan PT Antam (Persero). Sepanjang menjabat Direktur Keuangan (2003-2008) BUMN tersebut, Kurniadi berhasil menaikkan profit puluhan kali lipat. Pertama kali masuk Antam, profit hanya Rp 200 miliar. Namun, setelah 5 tahun profit melesat menjadi Rp 5,2 triliun. Kuncinya adalah pertumbuhan perusahaan. Tanpa adanya investasi (dana) tidak ada pertumbuhan. Dana dicarikan dengan skema yang paling optimal untuk perusahaan. Sayangnya, Kurniadi enggan membeberkan strategi pendanaannya.
Yang pasti, dia mengoptimalkan aset cadangan milik perusahaan. Misalnya, perusahaan punya cadangan banyak seperti nikel dan emas. Saat itu nikel dikembangkan dengan membuat pabrik tambahan dengan investasi US$ 300 juta. Dengan prediksi dan kalkulasi akan harga nikel dan emas, maka saat proyek selesai, harga komoditas tambang tersebut naik. “Kebetulan naiknya cukup signifikan, sehingga terasa sekali bagi perusahaan,” kata dia.
Keberhasilan tersebut mengantarkan Kurniadi ke posisi Direktur utama PT KAI Commuter Jabodetabek tahun 2008, yaitu perusahaan yang baru didirikan pemerintah sesuai UU No 23 Tahun 2007. Kala itu sudah punya rencana bahwa kereta api merupakan tulang punggung transportrasi di Jabodetabek. Makanya jumlah penumpang yang hanya 350 ribu, kala dia masuk coba ditingkatkan hingga 1,2 juta penumpang per hari. Alasannya, pergerakan manusia di DKI mencapai 10 juta/hari. Peluang harus diambil. Namun, Commuter Jabodetabek tidak bisa sendirian, karena harus bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk pembuatan lintasan sebidang. Sebab, jarak waktu antar kereta dari semula 10 menit menjadi 4 menit.
Target 1,2 juta penumpang per hari baru bisa dicapai pada akhir 2018. Kenapa? Karena Pemda DKI hanya bisa membuat lintasan sebidang (terowongan) sebanyak 3 buah/tahun. “Sehingga kita perlu waktu 5 tahun,” ujarnya. Tetapi khusus Bandara Soekarno-Hatta ditargetkan selesai tahun 2013.
Ke depan, KAI akan melakukan investasi yang cukup besar. Selain melaksanakan Perpres 83 Tahun 2011, di dalam KAI sendiri juga menetapkan harus menginvestasikan sebesar Rp 13-15 triliun dalam waktu 25 tahun ke depan. Investasi ini karena KAI akan meningkatkan daya angkut penumpang dan barang, semisal di Sumatera. Kapasitas angkutan barang akan ditingkatkan hingga 20 juta ton dari semula hanya 10 ton khusus untuk coal.
KAI juga akan mengubah komposisi angkutan dari mayoritas penumpang ke dominasi barang. Saat ini penumpang masih mendominasi sebanyak 60% sementara barang hanya 40%. “Ke depan akan kita balik. Tapi bukan berarti penumpang turun,” katanya. Untuk menunjang itu, KAI akan membeli 44 loko dan wegen serta 1.200 gerbong angkutan barang khusus untuk jaringan Sumatera. Sementara, untuk jaringan Jawa akan ditambah sebanyak 100 loko dan wegen dengan 1200 gerbong.
Untuk belanja loko dan gerbong tersebut memakan investasi sebanyak Rp 7,5 triliun (periode 2010-2014). Kurniadi mengaku pendanaan diperoleh dari sindikasi perbankan sebanyak 85% dan sisanya dibiayai oleh perseroan. Bulan April lalu, KAI mendapat pinjaman Rp 4,025 triliun untuk pembelian loko dan wagen. Pendanaan bank tersebut diambil lantaran untuk loko masih milik pemerintah. Sementara untuk infrastruktur (rel dan stasiun) dimiliki oleh KAI. “Untuk aset-aset pemerintah istilahnya kita mortage-lah selama 20 tahunan,” kata dia. Sementara itu, pendanaan dari internal KAI sebesar Rp 1,5 triliun dikonsentrasikan untuk pembangunan rel dan stasiun.
Aneka investasi tersebut perlahan mulai menuai hasil. Pertumbuhan KAI cukup signifikan. Bahkan hingga Juni 2012 profitnya mencapai Rp 155 miliar (unaudited). “Ini merupakan prestasi bagus. Dari semula perusahaan rugi menjadi profit,” katanya. Memang, KAI pernah merugi hingga Rp 83 miliar pada tahun 2008. Posisi keuangan berbalik pada tahun 2009 dengan mencatat profit Rp 150 miliar. Profit terus meningkat hingga Rp 216 miliar tahun 2010. Tahun berikutnya (2011) profit agak menurun dititik Rp 201,9 miliar. “Saya yakin tahun 2014 profit KAI bisa mencapai Rp 1 triliun,” ujarnya.
Kurniadi tidak sepakat bila disebutkan laba tersebut diperoleh dari penjualan beberapa aset KAI. “Tidak benar itu. Kami melakukan efisiensi di mana-mana,” tegasnya. Selain itu, perbaikan mental kerja sumber daya manusia KAI juga diperbaiki. Hasilnya, profit KAI meningkat signifikan. “Dulu manajemen berpikiran, kerja keras dulu baru gaji naik atau sebaliknya? Kami ambil yang kedua. Gaji dinaikkan sehingga kinerja karyawan bagus,” ujarnya. Kala itu, manajemen menaikkan gaji karyawan hingga 100% (periode 2008-2011) untuk take home pay. (EVA)